www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

08-03-2020

Ketika kapitalisme laissez-faire begitu merebaknya tanpa kendali lagi di dua ratus tahun lalu, bermacam respon mulai muncul. Kebebasan individu untuk mengejar kepentingan diri sebebas-bebasnya dalam pasar itu memunculkan bermacam repons, mulai dari sosialisme utopis sampai dengan yang ‘gigantis’, Marxisme-Leninisme-Stalinisme-Maoisme. Setelah dua Perang Dunia dan Depresi Besar, kapitalisme laissez-faire mengambil ‘jalan tengah’, welfare state. Dan bertahan sampai dengan hampir 40 tahun kemudian. Di akhir dekade 1970-an, neoliberalisme mulai merangkak. Kepentingan diri diletakkan lagi dalam pasar bebas yang sebebas-bebasnya. Ketika ‘rejim’ neoliberalisme ini mulai menampakkan ‘stabilisasi’-nya, di awal tahun 1990-an Samuel P. Huntington menerbitkan Clash of Civilizations, tiga tahun setelah Tembok Berlin runtuh.

Menurut Maslow, kebutuhan-kebutuhan dasar (basic needs) terdiri dari kebutuhan-kebutuhan fisik dan rasa aman. Ketika kebutuhan fisik harus diperjuangkan sendiri-sendiri atau ditegaskan Thatcher: there is no such thing as society, dalam ranah ‘pasar bebas semua lawan semua’, maka bagi sebagian besar akan dihadapkan pada rasa aman yang terusik. Menurut Sidney Hook, Marxisme dapat kuat dan hidup adalah bahwa dalam sekalian bentuk-bentuknya yang terselubung, dalam seluruh teori-teorinya, terkandung suatu ekspresi harapan.[1] Itu dikatakan Sidney Hook di tahun 1974, sekitar 15 tahun sebelum Tembok Berlin runtuh. Hal penting adalah soal: harapan. Salah satu sandaran dari rasa aman bagi manusia adalah harapan. Ditambah lagi soal ultra minimal state yang juga didengung-dengungkan oleh para pendukung neoliberalisme. Yang menurut Hobsbawn, ketika cangkang negara itu rapuh, maka bangsa segera akan nampak seperti moluska yang kehilangan cangkang pelindungnya. Dan rasa amanpun semakin terusik.

Peran negara dalam kemajuan, atau misalnya dalam konteks kemajuan tekhnologi mempunyai spektrumnya sendiri. Ketika daratan Eropa dalam Abad Kegelapan, China sudah maju dalam berbagai tekhnologi. Dan beberapa ahli melihat peran negara atau dalam hal ini kaisar China selama berabad-abad telah memberikan peluang untuk itu. Tetapi ketika menjelang akhir Abad Pertengahan, kaisar-kaisar China banyak yang meninggalkan peluang pengembangan tekhnologi itu dan beralih ke yang lain. Dan juga kekaisaran perlahan berkembang sedemikian birokratisnya. Sementara itu Eropa berkembang menjadi penuh dinamika dengan melepas hasrat atau kepentingan diri. Jepang setelah menutup diri lebih dari 200 tahun, melalui Restorasi Meiji negara memimpin perkembangan tekhnologi. Maka ‘cangkang negara’ itu jika terlalu ketat dan salah arah atau salah kepemimpinan, ia bisa saja justru melemahkan potensi untuk maju.

In a world of global flows of wealth, power, and images, the search for identity, collective or individual, ascribed or constructed, becomes the fundamental source of social meaning,” demikian Manuel Castells dalam The Rise of the Network Society, empat tahun sebelum abad 20 berakhir.[2] Castells melanjutkan: “People increasingly organize their meaning not around what they do but on the basis of what they are, or believe they are.[3] Dan Castells menegaskan: “Our societies are increasingly structured around a bipolar opposition between the Net and the Self,[4] Ketegangan antara the Net dan the Self ini juga bisa kita bayangkan dengan apa yang disebut Castells sebagai ‘space of flows’ dan ‘space of places’.

Ada satu foto yang menggelitik di akun Ariel Heryanto beberapa waktu lalu, yang menampilkan satu keluarga di restoran. Restoran itu memberikan discount 10% jika handphone dikandangin dan tidak dipakai. Orangtua senyum-senyum selain dapat discount juga nampaknya karena melihat bagaimana putri-putrinya itu merengut abis. Seakan dunia berhenti berputar hanya karena handphone tidak di tangan selama katakanlah setengah jam. Paling lama 1 jam. Atau yang dikatakan Raghuram Rajan dalam The Third Pillar: “Why do our neigbours matter when we can reach people across the world with a click?[5] Menurut Castells, space dalam teori sosial, “it cannot be defined without reference to social practices.[6] Space juga adalah the material support of time-sharing social practices.[7] Dalam space of places, place adalah ‘a locale whose form, function, and meaning are self-contained within the boundaries of physical contiguity’.[8] Bagi Castells, space of flows tidaklah akan menyerap seluruh pengalaman manusia dalam masyarakat jaringan. Bahkan sebagian besar, dalam masyarakat maju atau tradisionil, hidup dalam places, and so they perceive their space as place-based.[9]

Sedangkan yang dimaksud Castells tentang space of flows adalah the material organization of time-sharing social practices that work through flows.[10] Dan menurut Castells, ‘our society is constructed around flows: flows of capital, flows of information, flows of technology, flows of organizational interaction, flows of images, sounds, and symbols. Flows are not just one element of the social organization: they are the expression of processes dominating our economic, political, and symbolic life.’[11]

Alvin Toffler dalam trilogi sebelum trilogi-nya Castells memandang bahwa di abad 21 semestinya kekuatan pengetahuanlah yang memimpin. Memimpin kekuatan kekerasan dan kekuatan uang. Jika kita kembangkan pendapat Toffler tersebut, pengetahuan seperti apa yang akan memimpin? Pertama-tama adalah pengetahuan sebagai sumber utama dalam masalah etis. Jika mengikuti Sidney Hook, pilihan etis bukanlah pilihan antara baik dan buruk, bukan antara benar dan salah, melainkan sebagai pertentangan antara baik dan baik, antara benar dan benar, serta antara yang baik dan yang benar.[12] Kita memerlukan hadirnya pasar sebagai mekanisme pembagian kesejahteraan. Tetapi kita juga mau bagi saudara-saudara kita yang masih tertinggal jauh bisa ikut juga ‘menikmati’ apa yang ditawarkan dalam pasar itu. Misalnya juga, kita ingin memberikan kebebasan bagi warga, tetapi kita juga ingin rasa aman terus berkembang. Dan banyak lagi pertentangan-pertentangan antara yang baikk dengan yang baik, antara benar dan benar, serta yang baik dan yang benar, yang menunggu luasnya pengetahuan untuk membedahnya.

Judul tulisan ini, ‘Benturan Peradaban’ Sebagai Tantangan dimaksudkan bahwa potensi mewujudnya benturan peradaban itu kita tempatkan sebagai tantangan yang menunggu respon kita. Dari beberapa hal di atas, benturan peradaban yang diungkap oleh Huntington itu bukanlah isapan jempol belaka. Fakta potensialnya cukup kuat kecenderungannya. Terlebih jika kita lihat dari sudut pandang ‘rasa aman’ yang merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia itu. Dalam hidup bersama, respon terhadap tantangan menurut Toynbee, si-minoritas kreatif akan memegang peranan penting. Bahkan menentukan. Bagaimana jika si-minoritas kreatif itu justru melihat ‘benturan peradaban’ bukan sebagai potensi yang mesti direspon dengan segala sumber daya pengetahuan yang ada? Tetapi justru sebagai ‘peluang’? Peluang bagi dirinya dan komplotannya? Itulah salah satunya ketika mereka telah berubah menjadi apa yang disebut oleh Toynbee sebagai minoritas dominan. Dan harga yang harus dibayar adalah mundurnya peradaban. *** (08-03-2020)

 

[1] Harsja W. Bachtiar, Percakapan Dengan Sidney Hook, hlm. 111

[2] Manuel Castells, The Rise of the Network Society, Vol.I, hlm. 3

[3] Ibid

[4] Ibid

[5] Raguram Rajan, The Third Pillar, hlm. 1

[6] Manuel Castells, The Rise ..., hlm. 441

[7] Ibid

[8] Ibid, hlm. 453

[9] Ibid

[10] Ibid, hlm. 442

[11] Ibid

[12] Harsja W. Bachtiar, Percakapan ..., hlm. 9

'Benturan Peradaban' Sebagai 'Tantangan'