www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

18-03-2020

When you think of the long and gloomy history of man, you will find more hideous crimes have been committed in the name of obedience than ever been committed in the name of rebellion,” demikian ditulis C.P. Snow di tahun 1961.[1] Dan segera saja bayang-bayang kekejaman Nazi dan perang-perang besar serta merangkaknya Perang Dingin terasa lekat pada pernyataan C.P. Snow itu. Dan di republik dapat dirasakan bahkan dengan tanpa beban lagi apa yang dikatakan oleh Snow, hampir 60 tahun lalu itu. Yaitu ketika bermacam kacung itu semakin bermacam pula lagaknya. Kacung bagaimanapun juga didominasi atau lekat oleh sebuah obedience, apapun penyebab pelekatannya.

Kutipan pernyataan C.P. Snow di atas diambil dari buku Stanley Milgram, Obedience to Authority (1974). Buku berdasarkan percobaan di akhir dekade 1960-an, yang sebenarnya juga menggambarkan bagaimana obedience itu jika ‘berkolaborasi’ dengan ketidak-berpikiran ia bisa ‘mengubah’ orang baik-baik menjadi seorang ‘monster’, atau juga seorang terpelajar dapat menjadi juga seorang ‘monster’. Nampaknya percobaan ini merupakan respon terhadap apa yang disebut Hannah Arendt sebagai banality of evil, di awal-awal dekade 1960-an.

Kacung berlagak? Tentu bisa, terlebih pada satu komunitas dengan power distance yang tinggi. Power distance menurut Geert Hofstede didefinisikan sebagai the extent to which the less powerful members of institutions and organizations within a country expect and accept that power is distributed unequally.[2] Jika suatu komunitas dikatakan power distance-nya tinggi, maka yang less powerful itu akan menerima ‘dengan lapang dada’ terhadap distribusi power yang tidak sama. Mereka tidak akan ‘rèsèh’ atau terlalu banyak tanya terhadap atasannya. Sebaliknya pada komunitas dengan power distance yang rendah, bertanya ini-itu terhadap putusan atasan adalah biasa.

Pada komunitas dengan power distance tinggi, bahkan siapapun yang ada di puncak power, atau di tempat yang lebih tinggi dari lainnya, ia akan mudah diterima. Bahkan jika itu adalah seorang kacung! Tentu tidak sesederhana ini, tetapi katakanlah ‘kode-kode kultural’ (penerimaan ketidak-samaan distribusi power) itu sudah ada dan dengan tipu-tipu sedikit saja maka, jadilah. Jadi meski sudah dikritik soal selfa-selfi, fota-foto di daerah bencana, tetap saja dilakukan berulang dan berulang. Dengan gaya yang sama. Yakin dengan power yang ada di tangan, dalam komunitas dengan power distance tinggi itu, ya cukup dengan itu saja. Cengèngèsan, glécénan, toh modal utamanya adalah power yang di tangan, dan di luar dirinya itu dia yakin akan menerimanya. Apapun yang dilakukannya. Mau jumpalitan, pethakilan, ngibul sana ngibul sini. Termasuk kesetiaannya, obedience-nya pada sang dalang. Pada si-majikan.

Dan obedience pada si-majikan serta ketidak-becusan dalam berpikir itulah yang akan membawa republik pada the long and gloomy history. Bangsat. *** (18-03-2020)

 

[1] Stanley Milgram, Obedience to Authority, Tavistock, 1974, hlm. 2

[2] Geert Hofstede dkk, Cultures and Organizations, Software of the Mind, McGraw Hill, 3rd ed, 2010, hlm. 61

Kacung dan Lagaknya