www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

21-03-2020

Di balik wabah jika kita meminjam hirarki kebutuhannya Maslow, maka ‘serangan’nya adalah pada kebutuhan dasar, yaitu soal kebutuhan fisik dan rasa aman. Di balik wabah adalah juga soal ruang dan waktu. Soal rasa aman adalah juga soal bagaimana ruang dan waktu terhayati secara subyektif oleh masing-masing individu. Soal kebutuhan fisik adalah juga soal ruang dan waktu secara obyektif. Dan baik soal ruang-waktu obyektif dan subyektif ini akan berkelindan saling mempengaruhi, karena manusia tidaklah sebuah robot. Dan tidak hanya itu, baik subyektifitas maupun obyektifitas mempunyai batas-batasnya sendiri.

Di balik wabah sebenarnya juga menggendong potensi apa yang disebut oleh Thomas Hobbes sebagai state of nature. Yang jika tidak hati-hati atau sigap dalam menghadapinya maka kekelaman hidup bersamapun akan merangkak menuju fakta faktualnya. Di balik wabah adalah juga hadirnya sebuah tantangan bagi hidup bersama. Bagi Toynbee, hidup bersama akan berkembang perdabannya karena soal tantangan ini. Antara tantangan dan responnya. Dan pada responlah potensi berkembangnya peradaban itu tersimpan. Dalam membangun respon, Toynbee melihat peran penting dari apa yang disebutnya minoritas kreatif. Sebagian besar khalayak akan menjalani rute meniru dalam menghadapi tantangan itu. Meniru respon yang dibuat oleh si-minoritas kreatif.

Respon dari minoritas kreatif terhadap tantangan wabah yang di depan mata, pertama-tama adalah soal ruang dan waktu obyektif. Pada titik inilah pertama-tama adalah soal kecepatan dan pembatasan meluasnya wabah. Tidak yang lain. Karena wabah disebut wabah pertama-tama adalah soal luas cakupannya. Dan kecepatan penyebarannya. Maka pengetahuan akan karakter wabah akan sangat menentukan tindakan dalam pembatasan meluasnya wabah ini. Ketetapan hati dan luasnya pengetahuan dari si-minoritas kreatif ini akan menentukan bagaimana penghayatan akan wabah bagi khalayak, karena seperti sudah disinggung di depan, sebagian besar khalayak akan mengambil rute meniru dari si-minoritas kreatif. Di tengah-tengah wabah yang merebak, si-minoritas kreatif bisa-bisa akan terhayati sebagai ‘axis mundi’ di tengah-tengah nuansa kekacauan atau chaos.

Apalagi dalam sejarah menunjukkan bahwa di tengah-tengah kekacauan, di tengah-tengah wabah, selalu saja ada orang yang akan mengambil kesempatan. Dari novel Sampar karya Albert Camus kita bisa juga melihatnya. Atau juga yang terjadi di republik, tidak sedikit dari berita kita bisa melihat dengan telanjang bagaimana ada saja yang ingin mengambil kesempatan memperkaya diri di tengah wabah. Memperkaya diri dalam situasi normal adalah hal biasa, tetapi dalam situasi di tengah wabah? Itulah mengapa ujian kepemimpinan si-minoritas kreatif adalah bukan di situasi yang normal-normal saja. Ujian sesungguhnya dalam soal kepemimpinan adalah ditengah-tengah abnormalitas.

Dengan dikumpulnya pajak dari segala penjuru oleh pengelola negara, maka adalah wajar jika warga negara akan menuntut soal kebutuhan dasar-nya pada negara. Belum lagi dengan bermacam kekayaan alam yang dikandung Ibu Pertiwi. Maka tidak heran di banyak negara, soal upaya pembatasan perluasan wabah ini, tindakan-tindakannya selalu akan mempertimbangkan soal rasa aman dan kebutuhan fisik warganya. Lihat saja bagaimana soal rebutan bahan makanan di supermarket atau tempat lainnya. Atau di AS sana malah ada antrian untuk beli senjata. Atau langkanya masker. Maka adalah benar yang dikatakan Rizal Ramli, tunda dulu proyek-proyek besar itu, artinya: konsentrasi pada kebutuhan-kebutuhan dasar warga negara dulu! *** (21-03-2020)

Di Balik Wabah