www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

09-04-2020

Tidak semua asal-usul krisis ada di luar jangkauan kendali manusia. Ada yang sebenarnya ada dalam kendali manusia, di tangan-tangan si-pencipta krisis. Dan sebagian besar itu ada dalam ranah sovereignity, soal keberdaulatan, soal ‘hak berkuasa’. Kata Carl Schmitt dalam Political Theology, sovereign is he who decides on the exception.

Karena hampir bisa dikatakan erat terkait dengan kuasa, power, maka para pencipta krisis ini akan juga dekat atau mendekatkan diri dengan sumber-sumber power, yang menurut Toffler bisa dibedakan menjadi kekuatan pengetahuan, kekuatan kekerasan, dan kekuatan uang. John Perkins dalam Confessions of an Economic Hit Man (2004) memberikan sedikit gambaran bagaimana kekuatan uang bisa menginisiasi sebuah krisis. Tentu judul bisa juga kita maknai sebagai Economic Hit Woman dalam konteks republik.

Kekuatan kekerasan juga bisa menginisiasi sebuah krisis, yaitu ketika yang pegang senjata itu sudah mulai disusupi kepentingan-kepentingan di luar pertahanan. Atau di luar soal keamanan. Atau dalam konteks republik, ketika Sapta Marga dan Tribrata sudah mulai ada yang mau menelikung demi ambisi-ambisi pribadinya atau juga kelompoknya.

Kekuatan pengetahuan juga bisa membuka sebuah krisis. Coba lihat bagaimana pengetahuan itu bisa mendorong terciptanya mesin pembunuh massal, dari bom nuklir sampai dengan senjata biologi. Atau dalam ruang yang lebih sempit, sebagian surveyor bangsat itu. Atau sebaliknya, ketika lemahnya pengetahuan dari si-pemimpin yang bahkan mendekati tingkat plonga-plongo itu, bisa saja ia menjadi sumber munculnya sebuah krisis. Sadar atau tidak, pemimpin yang semacam itu adalah juga si-pencipta krisis.

So that in the first place, I put for general inclination of all mankind a perpetual and restless desire of power after power, that ceaseth only in death. ...but because he cannot assure the power and means to live well, which he hath present, without the acquisition more,” demikian Thomas Hobbes dalam Leviathan berabad lalu. Demokrasi selain ingin memberikan batas-batas pada penggunaan power melalui mekanisme check and balances, juga ingin meyakinkan bahwa keterjaminan itu tidaklah hanya bersandar pada power semata, tetapi juga pada hukum. Bahkan terlebih pada hukum. Masalahnya adalah memang masih banyak yang mudah tergoda bahwa hukum adalah soal siapa yang berkuasa. Jalan pintas, jalan mudah. Demokrasi juga ingin bahwa soal kuasa itu tidaklah dalam ranah at all cost. Makanya ada check and balances. Ketika check and balances ini kemudian dibuat meredup dengan bermacam cara maka sebenarnya kita sudah bisa meraba bahwa nuansa at all cost itu yang sedang berjalan. Mempertahankan kekuasaan akan ditempuh dalam paradigma at all cost. Jika ini terus membesar maka pada titik tertentu akan sampai pada dua jalur kematian cepat, mati karena virus corona atau mati karena membela demokrasi -melawan para pengkhianat nan serakah beserta boneka plonga-plongonya. Tinggal pilih. *** (09-04-2020)

Para Pencipta Krisis