www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

29-05-2020

“What Descartes did was a good step. You have added much several ways, and especially in taking the colours of thin plates into philosophical consideration. If I have seen a little further it is by standing on the shoulders of Giants”

(Issac Newton, 1675)

Apa yang dikatakan Newton hampir 450 tahun lalu itu kira-kira tidak jauh dari apa yang dikatakan Bung Karno soal jasmerah, jangan sekali-kali melupakan sejarah.Standing on the shoulders of Giants’ adalah berdiri di atas pundak ‘raksasa-raksasa’ pemikir terdahulu. Bagi si-Bung, apa yang dimaksud oleh para pemikir itu adalah juga hasil dari pergulatan (yang sekarang katakanlah menjadi ‘sejarah’) keseharian yang panjang. Tidak hanya pemikiran saja, tetapi sebenarnya juga bermacam events dan bahkan juga longue durée, meminjam istilah Braudel.

Lihatlah ‘raksasa’ SARS yang mengamuk di 2003 lalu. Beberapa negara yang mau bersusah-payah ‘naik ke-pundak’-nya, maka ia kemudian mampu ‘have seen a little further’ ketika ‘raksasa’ lain mengamuk di awal tahun 2020, coronavirus. Dan responnyapun kemudian memberikan hasil yang jauh lebih baik dibanding yang tidak mau bersusah-payah ‘naik ke-pundak raksasa’ SARS di 2003 itu.

Atau coba kita lihat seorang pelaut yang naik ke puncak tiang layar, dan kemudian melihat sekeliling. Dengan bantuan tiang itu ia seakan meluaskan ‘jarak-pandang’ dan itu juga bisa disebut sebagai ‘meluaskan horison’. Atau seorang pilot, horison tidak hanya mengandalkan yang bisa ditangkap oleh mata, tetapi juga ‘horison artifisial’ dengan bantuan peralatan canggihnya. Dengan bantuan satelit, radar, dan lain-lainnya. Apa yang ada antara pelaut yang naik ke puncak tiang layar atau pilot dengan ‘batas’ horisonnya? Di situlah ia akan menemukan bermacam kemungkinan, dan kemudian bisa saja mengambil keputusan. Atau ada sesuatu yang baru, sebuah pulau atau ancaman badai berkilometer di depan. Dengan meluasnya horison maka meluas juga bermacam kemungkinan yang dihadirkan. Bahkan hal yang sama bisa jadi kemudian dilihat sebagai kemungkinan lain.

Bayangkan kita membaca buku A itu lagi lima tahun kemudian. Lima tahun lalu banyak yang kita stabilo untuk menandakan bahwa itu penting. Lima tahun berjalan dengan sudah bertemu-ngobrol-diskusi dengan banyak orang, banyak peristiwa dan berita menghampiri, banyak buku yang juga dibaca, banyak pengalaman yang kita libati, atau mungkin saat ini sudah bisa menghasilkan uang sendiri, dst, dan kita buka lagi buku itu. Mungkin tidak hanya menambahkan yang kita stabilo, tetapi kita juga bisa bertanya-tanya, mengapa yang ini dan itu dulu saya stabilo. Horison kita meluas dan penghayatan akan buku itupun meluas juga. Dan tiba-tiba saja mungkin ada bagian yang dulu tidak di stabilo tetapi sekarang justru seakan memberikan ‘pencerahan’ ketika berhadapan dengan sesuatu.

Ketika membaca kutipan dari Newton di atas, timbul imajinasi lain, mengapa hanya berdiri di pundak para raksasa? Mengapa tidak di pundaknya raksasanya-para-raksasa? Tuhan, misalnya. Siapa tahu tidak hanya ‘little further’ yang bisa kita lihat?

Rene Decartes (1596-1650) yang ikut disebut dalam kutipan Newton (1642-1726) di atas adalah salah satu pendorong modernitas. Kemampuan berpikir manusia yang kemudian mendapat tempat terhormat. Terjadi semacam pergeseran (di Eropa), dari kosmosentris, kemudian ke teosentris, dan akhirnya antroposentris. Ketika terjadi pergeseran ke antroposentris, manusia kemudian seakan dibebaskan untuk memakai horisonnya sendiri. Atau memakai horisonnya manusia-manusia terdahulu, atau bahkan ‘raksasa-raksasa’ terdahulu. Meski manusia dihadapkan pada hal yang tak terbatas, horisonnya sebenarnya adalah ‘membatasi’. Dan justru karena kemudian ada batas itulah bermacam kemungkinan menjadi lebih jelas. Bermacam temuan menjadi lebih dimungkinkan. Bermacam pemahaman-pemahaman lebih mudah untuk dicapai. Dan dengan itulah sedikit-demi sedikit horison akan meluas. Batas-batas juga digeser. Dan dalam ‘keterbatasan’ ternyata horison juga menyimpan potensi yang ‘tidak terbatas’.

Jadi, bukan lagi ‘horison’-nya para dewa atau sebenarnya semesta nan luas di era kosmosentris, atau Tuhan di era teosentris, yang kedua-duanya jika toh punya ‘horison’, ia seakan tidak ada batas. Yang serba ‘maha’ itu. Padahal di satu sisi, manusia sendiri serba terbatas, bahkan termasuk horisonnya. Akhirnya ‘ketertenggelamannya’ dalam ketidakterbatasan itu justru kemudian ‘melumpuhkan’. Pergeseran ke antroposentris sebenarnya bisa juga kita hayati sebagai ‘wis njowo’ (Jw), sudah di jawi, sudah di luar, sudah cukup dewasa untuk hidup sendiri di luar. Itulah sebenarnya, katakanlah bagaimana jiwa sekuler itu kemudian berkembang.[1] Mangunwijaya dalam Daya Cipta dan Teknologi dalam Pertumbuhan Kebudayaan (1991) pada sub-bagian Iklim dan Tanah-Tumbuh Dunia Sains dan Teknologi menyebut beberapa catatan supaya iklim dan tanah-tumbuh dunia sains dan teknologi itu dapat semakin mekar. Salah satunya adalah jiwa yang sekuler.[2]

Tentu jiwa sekuler ini tidak terus kemudian otomatis menjadi sekulerisme –dan sebaiknya jangan, meski banyak juga yang kemudian ‘kebablasan’. Dan ‘kebablasan’-nya itu bukanlah ada di ruang kosong. Newton hidup di era berkembangnya apa yang kemudian disebut sebagai deisme menjadi ‘seksi’. Yang ‘pengikut’nya bukannya tidak percaya pada Tuhan dengan segala kebesaranNya, tetapi Tuhan kemudian dihayati layaknya seperti pembuat jam (otomatis, saat itu). Begitu selesai jam-nya dibuat, Ia kemudian tidak campur tangan lagi. Seakan Tuhan kemudian masuk dalam ranah ‘ceteris paribus’. Dan lagi-lagi, deisme ini juga berkembang tidaklah di ruang-kosong. Bermacam pernak-pernik dinamika ratusan tahun sebelumnya ikut juga mendorong kenapa bandul itu kemudian berayun bahkan sampai ke ujung ekstrimnya. Dengan segala konsekuensinya.

Jika kemudian kita mendampingkan pergeseran di atas dengan cara manusia berkomunikasi, mungkinkah perkembangan komunikasi juga berpengaruh? Alvin Toffler membedakan cara komunikasi menjadi man-to-man, man-to-mass, dan mass-to-mass. Dengan dikembangkannya mesin cetak massal Gutenberg di akhir abad 15, sudah hampir 200 juta buku yang dicetak di abad ketika Descartes lahir, atau di abad sebelum abad di mana Newton lahir. Yang dari segi jumlah, itu tidak akan bisa dibayangkan di era manuskrip.

Jumlah buku yang semakin banyak itu memungkinkan yang mampu duduk di pundak ‘para raksasa’ bukan hanya ‘raksasa’ lain, tetapi juga yang bukan ‘raksasa’-pun dan berjumlah banyak itu juga ikut naik, mungkin tidak sampai pundak. Ada yang sampai lutut, dada, dan seterusnya. Dalam hidup bersama, para ‘raksasa’ itupun kemudian berkembang menjadi ‘raksasa’ yang terdukung. Maka tidak mengherankan pula kemudian terjadilah peningkatan ‘kompetisi’ antar para ‘raksasa’ itu. Terlebih ketika soal buku yang tercetak itu tidak hanya soal menyebarnya pengetahuan, tetapi juga mendorong munculnya ‘print capitalism’, demikian menurut Ben Anderson.

Revolusi Industri dengan ‘produk-produk massal’-nya semakin mendorong modus komunikasi man-to-mass ini, dan memuncak pada penemuan televisi. Apa yang disebut sebagai Kebangkitan Nasional yang kita peringati 20 Mei lalu itu adalah juga ketika tiba-tiba saja horison meluas karena juga bersentuhan dengan bermacam bentuk atau modus komunikasi man-to-mass ini. Mulai banyak yang menjadi mampu untuk merangkak-naik dan berdiri di atas pundak para ‘raksasa’ dalam berbagai bentuknya, dan itu jelas mendorong meluasnya horison. Dengan meluasnya horison bermacam kemungkinan-pun tiba-tiba menjadi lebih banyak bertebaran di depan mata. Dan mungkin saja beberapa diantaranya memberikan insight yang ujungnya membawa kita menjadi bangsa yang berhak mengerek benderanya sendiri seperti sekarang ini, bertahun kemudian.

Masalahnya adalah, janji-janji modernitas ternyata tidak hanya melahirkan ‘raksasa-raksasa putih’, tetapi ternyata juga banyak sekali muncul ‘raksasa-raksasa hitam’ yang serba kelam. Ambil saja di abad kemarin, abad 20. Berapa nyawa melayang karena dua Perang Dunia? Karena bom atom? Berapa saja nyawa yang harus meregang untuk memuaskan nafsu konsumsi yang seakan sudah menjadi tanpa batas itu. Imperialisme, penjajahan, dan sejenisnya. Atau juga, berapa ratus ribu nyawa melayang karena Nazi, atau juga karena: (Marxisme-Leninisme-Stalinisme) itu? Berapa yang harus masuk penjara di ganasnya alam Siberia? Dan juga keganasan ‘peniru-peniru’-nya di tempat lain? Atas nama ini, atas nama itu. Apakah suara kencang soal etika yang sudah menguat di bagian akhir abad 20 lalu akan semakin menguat di abad 21 ini? Atau muncul dan semakin merebaknya modus komunikasi mass-to-mass di era serba digital ini justru ada yang sedang bersiap untuk berkelahi? Demi masa depan, katanya. Atau juga atas nama masa lalu.

Sebagai catatan akhir, baik berdiri di pundak ‘raksasa putih’ atau ‘raksasa hitam’ sama-sama akan meluaskan horison kita, dan itu akan sangat berguna saat kita mengambil sikap. Lihat, bagaimana 'raksasa hitam' kekejaman Nazi-pun akan meluaskan horison kita. Tetapi tidak pada yang hitam kemudian bersolek putih, atau sebaliknya. *** (27-05-2020)

 

[1] https://www.pergerakankebangsaan.

com/352-Pembangunanisme-Investasi-isme-Sekulerisme/

[2] Ibid

Patok Duga