www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

31-05-2020

Just being a Negro doesn’t qualify you to understand the race situation any more than being sick makes you an expert on medicine.(Dick Gregory, 1964)

Human are tribal. We need to belong to group,” demikian Amy Chua membuka bukunya Political Tribes (2019). Di bagian akhir (Epilog) bukunya itu, Amy Chua menyitir pendapat Goldon W. Alport yang ada dalam The Nature of Prejudice (1954). Alport menemukan bahwa pertemuan face-to-face antara berbagai anggota dari bermacam kelompok masyarakat akan mengurangi bermacam prasangka. Selanjutnya Amy Chua juga mengutip pendapat Karl Marlantes, seorang veteran Perang Vietnam: “Not everything about the war was negative …. I saw it threw together young men from diverse racial and ethnic background and forced them to trust one another with their lives … If I was pinned down by enemy fire and I needed an M-79 man, I’d scream for Thompson, because he was the best. I didn’t even think about what color Thompson was.” (Political Tribes, hlm. 199-200)

Di dalam menghadapi pandemic COVID-19 ini, beruntunglah Afrika Selatan telah mengakhiri politik apartheidnya 30 tahun lalu. Coba bayangkan bagaimana jika apartheid itu masih berlangsung sekarang ini. Bisa-bisa misalnya, masker standar pertama-tama adalah untuk kulit putih dulu. Tes-tes untuk mendeteksi si-virus bisa-bisa untuk komunitas kulit putih dulu, sampai dengan perawatan-tercanggihnya. Bahkan bisa juga segala ‘dana-bailout’ atau apalah mau disebut, adalah untuk perusahaan-perusahaan kulit putih lebih dahulu. Tidak hanya itu, bisa-bisa justru wabah ini dijadikan kesempatan untuk menggolkan bermacam aturan atau undang-undang yang menguntungkan perusahaan-perusahaan kulit putih. Aji mumpung, mengambil kesempatan dalam kesempitan. Tetapi untunglah kebanyakan masalah apartheid dan turunannya adalah cerita abad XX dan sebelumnya. Apa yang diandaikan atau dibayangkan di atas tidaklah terjadi di Afrika Selatan sekarang ini. Semoga. Dan republik lebih beruntung lagi, telah ‘menyelesaikan’ itu 75 tahun lalu.

Social distancing, ‘ojo cedhak-cedhak’, di rumah saja, dan pemakaian masker secara massif terkait dengan pandemi COVID-19 sekarang ini seakan ‘menegasi’ apa yang diungkap oleh Gordon W. Alport di atas. Dan benar kata Amy Chua, ‘we need to belong to group’ minimal kemudian kita menjadi lebih akrab lagi dengan ‘group’ keluarga. Face-to-face selama sekitar 2-3 bulan hanya dengan anggota keluarga saja. Soal face-to-face ini, Emmanuel Levinas dapat membantu kita juga soal bagaimana pentingnya ini dalam hidup bersama, lepas dari masalah prasangka seperti disinggung oleh Alport. Intinya, ikut menegaskan peran penting face-to-face ini, tatap muka. Melihat, menatap, menghayati wajah ‘yang lain’ ternyata mengundang tanggung-jawab kita terhadap ‘yang lain’ itu. Lihat misalnya berita ketika lockdown mulai dilonggarkan di beberapa tempat. Atau lihat wajah-wajah riang di taman bermain ketika anak-anak ketemu dengan sebayanya.

Tentu yang dimaksud Alport dalam face-to-face itu tidak hanya berurusan dengan wajah saja, tetapi tatap muka dalam arti ‘tatap’ keseluruhan tubuh. Bukan tubuh telanjang. Tetapi kalau mengikuti Albert Mehrabian, ia juga melibatkan keseluruhan gerak tubuh/bahasa tubuh, dan juga intonasi-intonasi ketika berbicara selain bermacam ekspresi wajah tentunya. Dick Gregory yang salah satu pernyataannya dikutip di awal tulisan ini adalah seorang komedian AS seangkatan Bill Cosby. Kulit hitam dan aktivis anti-diskriminasi. Dick Gregory lebih menggunakan media stand up comedy. Ia sungguh mengeksplorasi segala potensi dari media face-to-face itu.

Jika mengikuti Alport, maka dalam pandemi ini dengan segala pemakaian masker, dan terlebih social distancing, di rumah saja, soal prasangka bisa-bisa akan meningkat –karena sangat berkurangnya kesempatan bertemu face-to-face dengan bermacam kelompok. Terlebih tentu masalah depresi-pun akan semakin meningkat berbanding lurus dengan waktu. Tetapi kita juga melihat data di Inggris misalnya, bagi mereka keturunan Afrika yang di Inggris ternyata menghadapi resiko 4 kali lebih besar dari warga kulit putih, dan ternyata itu tidak kemudian ‘meledak’ menjadi masalah rasial. Mungkin pendapat Karl Marlantes di atas bisa kita lihat kembali. Ketika kesungguhan pemerintah dalam perang melawan COVID-19 ini dirasakan denyut-penghayatannya ke warganya, maka fakta perbedaan resiko antar ras itu bisa kemudian lebih mudah untuk diangkat ke ranah yang lebih rasional –misal, bahwa bahu-membahu itu akan lebih berdampak positif dari pada egois masing-masing, dan bukan emosional saja yang kemudian berpotensi membentuk bola salju yang siap menggelinding.

Mungkin juga ini bisa diterangkan dengan ‘teori segitiga hasrat’-nya Rene Girard. Memang dengan segala menurunnya kesempatan face-to-face itu prasangka sebagai fakta potensial bisa-bisa akan akan meningkat, tetapi ‘hasrat berprasangka’ itu untuk kemudian mewujud sebagai fakta faktual sebagian besar masihlah memerlukan ‘model’ yang akan ditirunya.  Kasus di Inggris di atas, jika ada ‘perang model’, maka pemerintahannya bisa dikatakan ‘memenangkan’ perang model itu. Yaitu dengan kesungguhan all out-nya dalam menghadapi pandemi. Menjaga rakyat dari pandemi dengan kesungguhan all-out, rakyat yang telah membayar pajak dalam jumlah yang tidak sedikit.

Bandingkan dengan yang terjadi di AS, data-data di New York City menunjukkan, kematian per 100.000 populasi, Black/African: 92.3, Hispanic/Latino: 74,3, sedangkan kulit putih: 45.2 dan Asian: 34.5. Tentu angka-angka itu akan ada penjelasan rasionalnya, tetapi apapun itu, hal tersebut akan masuk ke bawah sadar khalayak. Jika tidak hati-hati, terlebih gaya Trump yang konservatif itu seakan sedang menggoreng survival of the fittest saat menghadapi merebaknya coronavirus, trigger sekecil apapun bisa memicu hal yang besar.[1]  Apalagi depresi di kalangan khalayak tentu sudah akan meningkat berbanding lurus dengan waktu merebaknya coronavirus ini dan kematian yang sudah mencapai 100.000 itu. Juga kesulitan-kesulitan pengikut lainnya, terutama masalah ekonomi. *** (16/30-05-2020)

 

[1] data-data lihat: https://www.cdc.gov/coronavirus/2019-ncov/need-extra-precautions/racial-ethnic-minorities.html, diunduh 30/5/2020

Wabah dan Rasisme