www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

15-06-2020

Sedang? Bukankah lolosnya bermacam plasma nutfah sudah berlangsung jauh sebelum reformasi, misalnya? Privatisasi benih. Bagaimana dengan privatisasi air? Atau juga jauh-jauh hari soal bermacam konsensi yang kemudian berkembang menjadi begitu ugal-ugalan. Privatisasi benih, air, tanah, dan banyak lagi (atau bahkan, 'privatisasi virus'?), adalah salah satu bentuk apa yang disebut oleh David Harvey sebagai accumulation by dispossession. Dan tak jarang back up dari negara dalam monopoli kekerasan dan kemampuan dalam pembuatan kebijakan-lah yang membuat hal-hal di atas menjadi ‘mulus’ terlaksana. Maka tergusurlah tanah-tanah adat, misalnya. Atau juga bagaimana petani dihukum di pengadilan terkait dengan pengembangan benih.

Bagaimana dengan hutang-hutang yang ditawarkan oleh ‘menkeu terbalik’ itu dengan bunga di atas negara-negara lain itu? Bukankah ini sungguh telanjang contoh dari accumulation by dispossession juga? Atau soal BLBI yang seakan tidak ada habisnya untuk dipersoalkan itu. Atau yang baru terjadi, sekitar kartu Pra Kerja itu. Beberapa waktu lalu TV DW (Jerman) menayangkan sekilas tentang program vokasi mereka di Jerman. Sangat-sangat serius dengan pendampingan ‘total’ baik di ruang kelas maupun di tempat kerja. Berapa triliun republik telah dirampas melalui program yang ugal-ugalan itu? Belum lagi, berapa biaya sosial dari tetap ‘terpeliharanya’ mentalitas suka menerabas dan meremehkan mutu itu? ‘Debt-trap’ adalah juga salah satu yang disebut Harvey sebagai accumulation by dispossession. Jadi lebih dari sekedar ‘kecanduan hutang’, tetapi sudah merupakan salah satu bentuk perampasan republik untuk akumulasi kapital. Rizal Ramli berkali-kali menunjukkan, dan juga Faisal Basri, besarnya porsi yang harus disiapkan negara untuk membayar cicilan dan bunga hutang itu.

In principle, neoliberal theory does not look with favour on the nation even as it supports the idea of a strong state. The umbilical cord that tied together state and nation under embedded liberalism had to be cut if neoliberalism was to flourish,” demikian David Harvey dalam A Brief History of Neoliberalsm (2005). (pp. 84) Negara yang dicabut dari akarnya, bangsa. Dan kemudian digunakan untuk mem-back-up laku accumulation by dispossession itu. Maka demi lancarnya agenda accumulatin by dispossession ini, bahkan ketika ada bencana-pun diupayakan jangan sampai itu menjadi ‘keprihatinan nasional’ yang merekatkan anak bangsa. Contoh bagaimana tenggelamnya kapal di Danau Toba beberapa waktu lalu dimana pemerintah seakan ingin cepat-cepat ‘tutup buku’.[1] Atau soal meninggalnya ratusan petugas pemilu tahun lalu. Atau bahkan bencana yang sering berulang-ulang jadi bahan selfa-selfi!

Maka dalam sebuah pesta ‘pembaharuan kontrak sosial’ pada pemilu sangat dimungkinkan akan ada dua ‘kontrak sosial’. Yang satu adalah ‘kontrak sosial’ dengan para pelaku accumulation by dispossession, dan kedua adalah ‘kontrak sosial abal-abal’ yang begitu keras dikampanyekan. Bahkan kalau perlu tanda tangan di atas materai. Dan di banyak tempat di planet ini hal itu bisa terjadi dengan begitu vulgarnya. Yang setelah terpilih ia seakan berkata pada pemilih dan rakyat yang dipimpinnya: “Kalau gué mau gini, lu terus mau apé?!” Atau “kalau gué tuntut si penyiram air keras itu hanya 1 tahun saja karena ketidak-sengajaan, terus lu mau apé?!” Atau, kalau kagak setuju, lu tunggu 5 tahun lagi deh ... Dst. Atau lihat lagi jejak digital ketika kebocoran anggaran yang bisa menjadi salah satu pintu masuk atau bahkan sebagai salah satu sumber yang menggiurkan dari praktek accumulation by dispossession: menjadi bahan olok-olok dari salah satu kontestan. Dan fans-nya pun menyambut gegap gempita olok-olok itu. Serunya: “Bocoor .... bocooor ..... bocoooor...,” diulang-ulang berkali-kali dengan nada semakin tinggi dan cepat. Dengan wajah puas. Memuakan? Jelas!! Lalu mereka-pun para pasukan horénya kemudian berdendang kencang: move-on-move-on ....ingat 2024 .... Dan terus saja republik habis-habisan dirampas?! Move-on ndas-mu! *** (15-06-2020)

 

[1] https://www.pergerakankebangsaan.com

/547-Bangsa-Sebagai-Fenomena/

Republik Yang Sedang Dirampas