www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

18-06-2020

Tak jauh dari Platon yang berpen-dapat bahwa kuda hitam[1] itu (hasrat-nafsu ‘perut ke bawah’, terutama akan uang) mempunyai karakter meluncur ke bawah, Karl Polanyi dalam The Great Transformation menandaskan bahwa: ‘To allow the market mechanism to be the sole director of the fate of human beings and their natural environment, indeed, even of the amount and use of purchasing power, would result in the demolition of society’.[2]

Pada bagian lain Karl Polanyi menyinggung soal “double movement” yang dijelaskan sebagai berikut: “The one was the principle of economic liberalism, aiming at the establishment of a self-regulating market, relying on the support of trading classes, and using largely laissez-faire and free trade as the methods, the other was the principle of social protection aiming at the conservation of man and nature as well as productive organization ...... and using protective legislation, restrictive assosiation, and other instrument of intervention as its methods.”[3] [4]  The Great Transformation terbit pertamakali di tahun 1944. Harold J. Laski hampir sepuluh tahun sebelumnya juga menyinggung hal yang mirip: “The profit-making motive demanded lower wages, inferior general condition of industry, a diminution of the charges imposed upon capital by taxation, a consequent contraction of the social services. But democracy has led the masses to expect the reverse of all this.[5] Dan menurut Laski, ‘jalan gampang’ untuk menyelesaikan dilema di atas adalah: fasisme.

Kalau dari kacamata Karl Polanyi di atas, inti dari fasisme adalah pengendalian dari gerakan ‘the other’ (lihat atas), atau kalau mengikuti Laski, demokrasi di-represi biar profit-making-nya bisa ugal-ugalan. Bagaimana jika demokrasi harus ada? Pertama, ya demokrasi ala Orde Baru-lah, kalau bisa. Tetapi jika tidak bisa? Curang abis! Toh esensi dari demokrasi ala Orde Baru juga soal curang, sejak input-nya, terutama. Curang abis: curangnya komplit dari input, proses, maupun output-nya. Jika belum cukup? Inilah yang menjadi judul tulisan ini, permanent exception. Jika masih belum cukup? Ya kembali ke fasisme, mau apa lagi? Kalau ingin yang pasti-pasti 100%? Bisa-bisa semua akan dicoba.

So that in the first place, I put for a general inclination to all mankind a perpetual and restless desire of power after power, that ceaseth only in death. [...] because he cannot assure the power and means to live well, which he hath present, without the acquisition of more,” demikian Thomas Hobbes dalam Leviathan (1651).[6] Maka sebenarnya adalah sangat penting yang masuk ke Fakultas Hukum adalah juga siswa-siswa terbaik. Dan yang direkrut sebagai hakim dan jaksa misalnya, adalah juga lulusan-lulusan terbaik dari fakultas-fakultas hukum terbaik pula. Mengapa? Dengan adanya penegakan hukum yang baik paling tidak hasrat ‘melindungi diri dan apa-apa yang sudah diperoleh’ itu tidak hanya melulu pada power semata. Tetapi meski begitu tidak sedikit yang meyakini salah satu pendapat tentang keadilan (dari tiga) yang dikatakan oleh Thrasymachus , ditulis Platon dalam Republic lebih dari 2000 tahun lalu, “justice is nothing but the advantage of the stronger.[7] Jadi kembali lagi ke power.

Sovereign is he who decides on the exception,”[8] demikian Carl Schmitt dalam Political Theology, terbit pertama kali di tahun 1922. Apa yang terjadi saat ia memutuskan dalam situasi exception itu? Maka semua aturan akan di-suspend dulu, ditangguhkan dulu. Ancaman pidana ditunda dulu, misalnya. Nggak ada tuh yang namanya 'salah kebijakan'. Dan banyak lagi. Dan dari situlah secara tidak langsung akan nampak siapa yang berdaulat sesungguhnya. ‘Kedaulatan’ untuk memutuskan ‘apa saja’. Suatu ‘kenikmatan’ yang sungguh ‘menggiurkan’. Maka tidak mengherankan jika David Harvey menyebut salah satu bentuk dari accumulation by dispossession adalah ‘management and manipulation of crisis’.[9] The Schock Doctrine [10] dari Naomi Klein adalah salah satu dimensi dari ‘management and manipulation of crisis’ ini. Republik mempunyai pengalaman tidak sedikit bagaimana krisis bisa menjadi salah satu jalan mak-nyos accumulation by dispossession ini, mulai dari BLBI, Bank Century. Atau juga krisis akibat pandemi saat ini? Yang ratusan triliun itu? Minimal di rentang pandemi ini kita sudah bisa melihat bagaimana soal Kartu Pra-kerja yang mbèlgèdès itu. Bangsat-lah. Belum soal undang-undang mbèlgèdès yang lolos di masa pandemi ini. Belum termasuk accumulation by dispossession di ‘jalur’ privatisasi dan komodifikasi, finansialisasi (Jiwasraya, Asabri, doping-doping rupiah, rate bunga utang yang ketinggian, dan sejenis), dan soal state redistributions yang berujung salah satunya justru tersedotnya dana dari rakyat (dari bawah). Bangsat lagi-lah.

Karena ‘kenikmatan’ di masa krisis itulah maka apa yang disebut sebagai exception itu bisa-bisa menjadi seakan permanen. Bertubi-tubi. Ada-ada saja. Suasana kebatinan chaotic yang terus dibangun. Dari bacot-bacot BuzzerRp, atau soal kegemaran saling lapor, omongan yang asal njeplak, dijejerkannya para penjilat-penjilat yang membuat geram (dan terus-terus membuat muak) publik, sampai misalnya, sabotase. Atau bermacam ‘drama’ tidak mutu bisa-bisa juga muncul ke permukaan. Pura-pura berselisih, bahkan juga pura-pura ditusuk kalau perlu. Atau ketika si-pengecut itu nantang-nantang debat. Atau ketika ketua bidang ideologi itu tiba-tiba kumat asal njeplaknya. Macam-macam-lah. Soal reshuffle-pun bisa menjadi tontonan yang berlatar-belakang permanent exception itu. Sampai dengan krisis yang sungguh. Dan semua itu ujung akhirnya adalah dirampasnya republik habis-habisan. Mana tuh orang-orang ‘nasionalis’ pro-ruuakyaaat itu. Wanted. Tetap mau mengajukan calon walikota yang merasa perlu difoto saat néntèng és tèh dalam plastik? Big-entut-lah *** (18-06-2020)

 

[1] Dalam alegori kereta perang-nya Platon

[2] Karl Polanyi, The Great Transformation, Beacon Press, 2001, hlm. 76

[3] Ibid, hlm. 138-139

[4] Lihat juga: https://www.pergerakankebangsaan.

com/560-Kanan-kiri-dan-Retorikanya/

[5] Harold J. Laski, The State in Theory and Practice, George Allen and Unwin, 1951, hlm. 131

[6] Thomas Hobbes, Leviathan, 1651, Andrew Crooke, hlm. 61

[7] https://www.iep.utm.edu/thrasymachus/

[8] Carl Schmitt, Political Theology, The MIT Press, 1988, hlm. 5

[9] David Harvey, A Brief History of Neoliberalism, Oxford University Press, 2005, hlm. 162

[10] Naomi Klein, The Shock Doctrine,  The Rise of Disaster Capitalism, Metropolitan Book, 2007.

"Permanent     Exception"