www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

21-06-2020

Bulan Juni sudah beranjak menuju akhir bulannya, dan ‘bulan romantika’-pun segera berakhir. Dari asal katanya, ‘romantika’ di abad 13 kadang dihayati sebagai “a story, written or recited, of the adventures of a knight, hero, etc” yang seringnya “one designed principally for entertainment.”[1] Bagi sebagian khalayak, bulan Juni kadang ‘dirayakan’ sebagai bulan Pancasila. Sayangnya, seringnya kemudian menjadi sebatas ‘bulan romantika’ saja.

Jika Pancasila adalah O yang dimaui menjadi obyek hasrat di bulan Juni ini, maka supaya khalayak juga ikut menghasrati O ada yang merasa perlu dihadirkannya M (model), dan dalam hal ini Bung Karno. Dengan menghayati/meniru passion si-Bung soal Pancasila, diharapkan khalayak (S) juga ikut menghayati Pancasila. Meski bisa ‘dipermasalahkan’ tetapi karena si-Bung sudah lama ada di alam sana, tidak terlalu muncul ke permukaan. Konteksnya di sini adalah, si-Bung menjadi ‘model’ yang lebih bersifat ‘eksternal’. Masalahnya ketika si-Bung kemudian serasa ‘diklaim’ milik satu kelompok saja, dan seakan kelompok itu tanpa permisi merapat sebagai ‘model’ juga. Maka potensi munculnya ‘rivalitas’ antara S dan M-pun semakin membesar. Karena jarak antara S dan M menjadi dekat. M-nya seakan mendekat menjadi ‘model internal’. Apalagi kemudian tidak hanya ‘klaim serasa model’, tetapi juga klaim sebagai yang memonopoli tafsir O (obyek, Pancasila). Masalahnya tambah ruwet. Ditambah lagi ketika suasananya hanya berhenti pada romantika saja, maka muncullah ‘knight-knight, hero-hero’ lain yang memang dari fakta sejarah ikut terlibat dalam dinamika awal republik.

Jika mencermati Pembukaan UUD 1945 alinea ke-empat, sila-sila Pancasila yang ada di akhir alinea itu tidaklah dimaksud hanya berhenti pada gelora romantisme saja. Romantika yang memang akan kita rasakan jika kita membaca keseluruhan Pembukaan UUD 1945 itu. Tetapi Pancasila juga tidak terpisahkan dari dinamika dan dialektikanya perjuangan dalam (1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah, (2) memajukan kesejahteraan umum, (3) mencerdaskan kehidupan bangsa, dan (4) ikut melaksanakan tertib perdamaian dunia. Maka semestinya O (obyek) adalah ke-empat hal di atas, dan Pancasilalah yang sebagai M (model). Pancasila dalam romantika, dinamika, dan dialektika-nya orang-orang kongkret yang sedang mengelola negara melalui keputusan dan tindakan politiknya.

Maka memang akan muncul pada titik tertentu ‘rivalitas’ antara S (warga negara) dan M (orang-orang kongkret yang sedang mengelola negara yang mestinya berdasarkan Pancasila). Itulah mengapa Driyarkara menekankan soal [romantika-dinamika-dialektika] ‘menegara’, yang berlandaskan pada dialog. Sayangnya, pada masanya ada pengalaman ‘rivalitas’ (antara S dan M) itu tidak ditindak-lanjuti dengan dialog, tetapi dengan kekerasan. Dan jangan sampai itu terulang lagi! Tetapi menurut Rene Girard yang teori segitiga hasrat-nya menjadi dasar tulisan ini, perlulah apa yang disebut sebagai ‘kambing hitam’ demi tertibnya tatanan. Supaya rivalitas tidak kemudian menghancurkan tatanan. Itulah mengapa kadang ‘ancaman dari luar’ bisa kemudian berfungsi sebagai ‘kambing hitam’. Lihat negara-bangsa seperti Korea Selatan, Taiwan, Vietnam, atau bahkan Jepang. Juga banyak lainnya. Dan itu tidak ada urusannya dengan onta-anti-asing-ganyang-sana-ganyang-sini, itu dilinggis-ini disetrika, atau apalah namanya. Dengan 8 milyar populasi dunia dan yang semakin kompetitif, ancaman itu akan selalu ada, baik dari luar maupun dari dalam.

Masalah kambing hitam ini bisa dikatakan ‘ngeri-ngeri-sedap’. Spektrumnya bisa dari kengerian yang sulit kita bayangkan sampai dengan mulainya tertib tatanan yang dapat dibayangkan. Maka itu adalah ‘permainan’ yang penuh ‘resiko’. Resiko akan membesar ketika ‘permainan’ dipermainkan, meminjam istilah Driyarkara. Karena dibalik ‘mempermainkan permainan’ dalam politik di hidup bersama, itu sama saja dengan mempermainkan kepercayaan (trust). Dan ketika masalah kepercayaan mengalami defisit yang ugal-ugalan dan menuju titik terendahnya, akan banyak hasrat dari bermacam penjuru yang siap mengajukan bermacam kambing hitam untuk dibantai. Semau-maunya. State of nature, kata Thomas Hobbes.

Maka perlulah diingat kembali apa yang pernah ditulis si-Bung supaya bulan Juni tidak melulu menjadi ‘bulan romantika’ saja. Kata si-Bung: “Berideologi yang tidak ikut dengan tendenz-nya pergaulan hidup,[2] ia akan jatuh pada jurusan kenang-kenangan belaka. *** (21-06-2020)

 

[1] https://www.etymonline.com/word/romance?ref=etymonline_crossreference#etymonline_v_15175

[2] Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, hlm. 186

Di Tengah 'Bulan Romantika'