www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

06-07-2020

Green Wave adalah naiknya popularitas Partai Hijau di Perancis dalam pemilihan bulan Juni/Juli ini. Tidak hanya soal Partai Hijau, tetapi soal perubahan iklim-pun dalam survei area trans-atlantik baru-baru ini naik menjadi perhatian utama dari khalayak yang disurvei. Lalu apa persamaan antara Arab Springs dan Green Wave? Nampaknya sama-sama sangat terpengaruh dengan ‘semangat jaman’ yang berkembang.

Tenggelamnya kapal perang USS Indianapolis 30 Juli 1945 di tengah kecamuk Perang Dunia II meninggalkan kontroversi panjang. Charles B. McVay yang menjadi kapten saat itu bahkan kemudian harus menghadapi pengadilan militer. Di tahun 2000 setelah melalui beberapa dengar pendapat, McVay dibebaskan dari segala vonis bersalahnya sebagai kapten saat USS Indianapolis tenggelam. Tenggelam karena torpedo kapal selam Jepang. Dari hampir 1200 awak kapal, korban begitu banyak, termasuk yang selamat tetapi kemudian diterkam secara brutal oleh hiu. Dan setelah itu kita tahu bersama sepekan kemudian, 6 dan 9 Agustus 1945 bom atom dijatuhkan ke Jepang. Mengerikan. Sangat mengerikan.

Ketika Perang Dunia I pecah, rakyat Amerika yang jauh dari episentrum perang di Eropa itu, tenang-tenang saja. Woodrow Wilson presiden AS saat itu ingin terlibat dalam perang tersebut, tetapi ia membutuhkan dukungan rakyatnya. Maka dibentuklah apa yang kemudian dikenal sebagai Creel Commision, karena diketuai oleh George Creel. Dan kurang dari dua tahun melancarkan bermacam propagandanya, Creel Commission berhasil mengubah rakyat Amerika dari apatis menjadi yang menggebu-gebu untuk terlibat perang. Akhirnya memang Amerika terlibat di perang tersebut, dan berperan besar dalam mengakhiri perang dengan kemenangan di pihak sekutu. Salah satu anggotanya, Edward L. Bernays kemudian menjadi salah satu pionir dalam public relations. Di tahun 1923 Bernays menerbitkan bukunya, Crystallizing Public Opinion. Selain disebut sebagai ‘the father of public relations’, ada juga yang menyebutnya sebagai ‘the father of spin’.

Dari akhir abad 19 sampai awal abad 21 kita bisa melihat paling tidak ada 3 terkait dengan dinamika pengembangan ekonomi dalam suatu negara-bangsa, [centrally] planned economy (ekonomi terpimpin), dan di ujung lainnya: bebas ‘tanpa’ perencanaan –market economy, serta diantaranya. Apapun ‘semangat jaman’ berkembang, nampaknya yang mendasar adalah apa yang pernah dikatakan oleh Deng Xiaoping, entah itu kucing hitam atau putih yang penting bisa menangkap tikus. Masalahnya adalah, siapa-siapa yang bisa-mampu menangkap tikusnya dan kemudian menikmatinya. Berkembangnya konsep kedaulatan nasional tidak bisa lepas dari soal kucing dan tikus dalam metafora di atas. Dan itulah sebenarnya ‘semangat nasional’ yang mesti tidak boleh dilupakan. ‘Volksgeist’ yang selalu dalam hubungan dialektik dengan ‘zeitgeist’. ‘Volksgeist’ juga dalam dialektikanya dengan kelangsungan hidup orang-orang yang hidup di dalamnya dan sekaligus yang menghidupinya.

Masalahnya kemudian tidak sekedar, katakanlah: Trotski vs Stalin, atau ‘think globally act locally’, tetapi adalah soal kapasitas manusiawi. Kapasitas manusiawi tidak hanya dalam memilih, tetapi juga dalam membuat pilihan-pilihan lain. Kapasitas manusiawi untuk belajar dari masa lalu ataupun membuat antisipasi terhadap hal-hal yang berkembang. Atau potensial berkembang. Di kuartal pertama abad 21 ini sudah banyak tersedia bahan pelajaran dari abad 19 dan 20. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Dengan segala janji dan pemenuhan atau keingkarannya. Dengan segala kemegahan dan kekelamannya. Dengan segala kemajuan dan pembunuhan-pembunuhannya. Yang mengerikan itu. Tetapi dari sekian kapasitas manusiawi, dalam konteks bahasan ini yang paling penting adalah kapasitas manusia dalam mengelola kuasa. Mangunwijaya dalam “Kini Kita Semua Perantau” (1989) menulis hal menarik: “Sifat, watak, wajah, dan suasana suatu bangsa ditentukan langsung oleh derajat kemampuan, seni, dan efektivitas bangsa itu dalam mengendalikan kekuasaan.[1]

Apa yang disampaikan Mangun itu semakin jelas jika kita tidak melepas kekuasaan dari gejolak hasrat. Maka bagaimana sifat, watak, wajah, dan suasana suatu bangsa kemudian bisa dikatakan langsung terkait dengan derajat kemampuan, seni, dan efektivitas dalam mengendalikan hasrat. Paling tidak ada dua jalan pengendalian hasrat yang melekat pada kekuasaan, pertama mengandalkan kualitas diri. Lainnya adalah bagaimana hasrat itu dilawan dengan hasrat lainnya, agere contra. Dua hal sebenarnya terkait erat, karena konsep hasrat vs hasrat ini dikembangkan tidak hanya dalam konteks kualitas diri saja, tetapi juga dalam sebuah relasi oposisi. Sebuah relasi check and balances yang dinamis. Ketika soal check and balances ini meredup maka bukannya tidak mungkin sifat, watak, wajahnya adalah sifat, watak, wajah ‘komplotan’. Bukan wajah ‘gotong-royong’, misalnya.

Dari praktek kekuasaan yang pernah terjadi di berbagai tempat, bisa dilihat bahwa kekuasaan ternyata juga tidak bisa lepas dari ‘semangat jaman’-nya. Atau sebenarnya beda-beda tipis dengan apa yang disebut Cardoso sebagai ‘pakta dominasi’? Kita sedang ‘berhadapan’ dengan ‘semangat jaman’ atau ‘pakta dominasi’? Maka sekali lagi, kapasitas manusiawi kita diuji, bahkan diuji nyali juga. Karena jika itu adalah lebih pada denyut ‘pakta dominasi’, tanpa nyali maka kapasitas lainnya akan meredup. Terlebih sekarang ini ada 8 milyar orang di sekitar kita. Jadi ..., masih tetap memberikan tepuk tangan pada yang baru nyalon walikota saja sudah sudah enteng-enteng saja pakai masker berkarakter mèlèt itu? Kapasitas belum teruji maunya lucu saja. Atau tepuk tangan pada yang sedang pegang kuasa tapi banyak lagak itu? Yang seakan begitu menghayati ‘semangat jaman’ post-truth itu dengan di sana ngibul, di sini ngibul. Di mana-mana selalu ngibul. Tanpa beban. Post-truth kok dihayati sebagai ‘semangat jaman’, pecas ndahé, dab ... *** (06-07-2020)

 

[1] Y.B. Mangunwijaya, Pasca-Indonesia Pasca Einstein, Kanisius, 1999, hlm. 302

Dari 'Arab Springs' ke 'Green Wave'