www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

10-07-2020

The concept of the ‘floating mass’ was introduced in the early New Order period. It proposed that the mass of the people should express their political preferences only in general elections held every five years, so that their daily activities could be fully dedicated to economic development. The major advocate of this theory was May. Gen. Ali Moertopo,” demikian Jun Honna dalam tulisan Military Ideology in Response to Democratic Pressure During the Late Suharto Era: Political and Institutional Contexts (2001).[1] Maka untuk mencapai supaya ‘their daily activities could be fully dedicated to economic development’ partai dicerabut dari akar rumputnya. Cabang partai politik tidak boleh lebih rendah dari level kecamatan. Tidak usah aèng-aèng, katanya dulu.

Lalu bagaimana dengan demokrasi, dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat itu? Dalam praktek kemudian: ‘dari rakyat’, oleh kaum teknokrat, dan ‘untuk rakyat’. Teknokrasilah yang kemudian berkembang, atau paling tidak ingin dikembangkan. Layaknya Tuhan yang dibantu oleh para malaikat utama dengan tugas-tugas khususnya. Bagaimana supaya peran kaum teknokrat ini diterima sebagai pengganti ‘oleh rakyat’? Maka perlulah ‘partai pelopor’ yang menjelaskan sampai ke akar rumput. PDI dan PPP saat itu adalah partai politik yang sudah dicerabut dari akar-rumputnya dengan kebijakan floating mass, sedang satunya dikatakan bukan partai politik, tapi ‘golongan’ sehingga boleh beraktifitas sampai ke akar rumput. Urik memang, tetapi begitulah selama 32 tahun. Sedang kaum teknokrat dengan back-up lembaga studi dan riset katakanlah sebagai ‘polit-biro’nya. Tentu di dalamnya ada juga yang ahli perang.

Mengapa perlu ‘partai pelopor’ semacam itu? Karena sangat mungkin ada gap antara ‘dunia obyektif’ yang dihayati para ilmuwan dengan klaim-klaim bobot rasional-evidencenya dangan ‘dunia-kehidupan’ (life-world) yang dihayati sehari-hari oleh kebanyakan orang. Masalahnya adalah klaim-klaim serba rasional dan dengan evidence teruji itu kemudian tidak hanya menjadi produk saintifik saja yang tentu akan sangat berguna bagi hidup bersama, tetapi kemudian di-klaim bahwa dunia ya semestinya seperti itu. Di luar itu: non-sense. Padahal jika bicara soal evidence, dalam life-world khalayakpun evidence bahkan terjadi secara terus-menerus. Tidak pasti ‘terpenuhi’ memang, tetapi sebagian besar tetaplah ‘intuisi’ yang terpenuhi (fulfillment intuitions). Meningkatnya intersubyektifitas khalayak dalam life-world bisa berujung meningkatnya kesadaran akan adanya gap itu. Itulah mengapa bermacam bentuk ‘pembatasan’ kemudian mengiringi kerja-kerja ‘partai pelopor’ itu. Persis seperti dikatakan Noam Chomsky, jika tidak ada kesempatan untuk saling mengetahui sentimen satu sama lain maka keadaan tidak akan berubah. Apalagi kemudian dilakukan ‘regimentation’ di tengah-tengah khalayak dimana khalayak dikotak-kotakkan dalam group-group fungsional, dan dari situ juga salah satunya kendali negara diefektifkan.

Tentu hadirnya yang ahli di bidangnya sangatlah diperlukan bagi hidup bersama. Apalagi yang ahlinya itu mempunyai integritas yang teruji. Masalahnya adalah, sekali lagi, klaim-klaim dalam bangunan ‘objective world’ yang didasari oleh klaim-klaim rasional-matematis-evidence tidak diimbangi dengan hadirnya denyut ‘life-world’ khalayak yang semestinya disampaikan oleh ‘partai pelopor’ kepada pimpinan politik. Salah satu-nya karena justru berkembang secara masif: ABS, asal bapak senang, ‘atas petunjuk bapak’, dan sekitarnya.

Cerita di atas bisa digambarkan situasi sebagai sebuah ‘otoritarianisme oleh elit nasional’ yang dalam gelombang globalisasi-neoliberalisme kemudian digeser menjadi ‘otoritarianisme oleh elit global’ dalam hal ini international finance, termasuk di dalamnya adalah korporasi global. Demikian menurut Stiglitz dalam Globalization and Its Discontents (2002, hlm. 247). Cerita sebenarnya tidak jauh berbeda, bukan ‘massa mengambang’ tetapi ‘bangsa mengambang’ yang kemudian dimaui untuk berkembang. Persis seperti dikatakan David Harvey dalam A Brief History of Neoliberalism (2005, hlm. 84): “The umbilical cord that tied together state and nation under embedded liberalism had to be cut if neoliberalism was to flourish.” Kalau dalam ‘massa mengambang’ hubungan antara partai politik dan pendukungnya dipotong, sedang dalam dis-embedded liberalism neoliberalisme, hubungan antara bangsa dan negaranyalah yang dipotong. Dan bangsa lebih diharapkan supaya their daily activities could be fully dedicated to free market development.

Jika kita mengikuti Empire-nya Negri dan Hardt (2000), maka kaum teknokrat itu seakan kemudian ditarik ke tingkat global. Melekat atau mengikuti ‘sang-imperial’, yang disebut Stiglitz sebagai new dictatorships of international finance. Bagaimana dengan yang di tingkat negara? Bukan ahli di bidang tertentu dan berintegritas yang disebar, tetapi kita bisa merasakan: para economic hit man/woman itu. Gap antara ‘dunia-obyektif’ para teknokrat dan ‘dunia-kehidupan’ khalayak akan menemui ‘batas-lebar-jurangnya’ pada waktu tertentu, dan itu bisa cukup lama, tetapi gap antara ‘dunia-obyektif’ yang dititipkan teknokrat global pada para economic hit man/woman ini dengan ‘dunia-kehidupan’ khalayak bisa-bisa ‘batas-lebar-jurangnya’ begitu pendek. Untuk itu yang ahli di bidang ‘keamanan dan ketertiban’ perlu dikerahkan sejak dini.

Post-truth menjadi ‘word of the year’ di tahun 2016. Kalau dirasa-rasakan, dalam praktek vulgar, kadang ‘post-truth’ itu sering serasa sedang menghina khalayak. Dimana eksploitasi ‘perasaan’ yang terbingkai dalam minimnya berpikir itu seakan menjadi ‘senjata utama’ meraup dukungan. Ditambah dengan dukungan masifnya media massa mainstream menjadikan memang ruang berpikir menjadi menyempit. Ditambah lagi di satu sisi ‘pembunuhan karakter’ terhadap media sosial dengan term hoax, tetapi sekaligus juga ada kesempatan melalui media sosial membangun fanatisme tertentu yang juga akan menyempitkan keberpikiran. Yang itu akan ‘bersaing’ dimana sosial media akan meningkatkan juga intersubyektifitas.

Jika ada nada 1-2-3, dan kita sekarang (now) mendengar nada 2, nada 1 tidaklah hilang sama sekali, ia mengalami ‘retensi’ dan nada 3, meski belum terdengar, kita seakan sudah meng-‘antisipasi’nya. Ketika kita melihat bangunan dengan pintu dan jendela (now), maka segala ingatan (nada 1) seakan mengalami retensi dan tidak hilang sama sekali, dan nada (3) antisipasi kita adalah, itu rumah. Bisa salah, bisa benar, memang. Salah, kalau itu ternyata properti pembuatan film yang hanya nampak depannya saja. Benar (terbukti-terpenuhi) kalau memang setelah kita mendekat, bahkan masuk, memang itu rumah. Post-truth dalam praktek politik lebih pada otak-atik nada 1. Kalau yang didengar nada 2 dan 3, nah itu baru mendengar aspirasi khalayak. Dan itu juga ‘saintifik’ karena mereka juga berurusan dengan evidence juga.

Jika dalam cerita ‘massa mengambang’ kita sudah merasakan hasilnya, bagaimana dengan ‘bangsa mengambang’? Dalam era ‘massa mengambang’ kita masih ‘beruntung’ adanya para ahli dibidangnya –kaum teknokrat, lha dalam era ‘bangsa mengambang’ ini yang hadir di depan mata para economic hit man/woman. Bisa kurus kering kita ...., lung-lit: balung-kulit. *** (10-07-2020)

 

[1] Dalam: Ben Anderson (ed), Violence and the State in Suharto’s Indonesia,  Cornell University, 2001, hlm. 57 (catatan kaki)

Bangsa Mengambang