www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

15-07-2020

Abad 20 ternyata juga melahirkan istilah yang ‘menggemaskan’, benevolent dictatorship. Entah kita setuju atau tidak. Kediktatoran yang baik hati. Baik hati disini tentu bukanlah soal urusan privat, tetapi adalah urusan publik, tidak lepas dari perilaku-perilaku lembaga negara. Lebih pada soal dampak-dampak publik terkait dengan keputusan dan perilakunya. Kalau kita bayangkan, benevolent dictatorship ini adalah ketika dengan ketat dan tegas melaksanakan lock-down selama pandemi tetapi hasilnya nyata, wabah terkendali dan kebutuhan dasar warga selama wabah terpenuhi. Maka segera aktifitas normal-pun perlahan dapat dimulai.

Ada ancaman yang mengerikan saudara-saudara, yaitu wabah virus,” demikian mungkin pidato pengantar lock-down dari pimpinan. Maka semua harus stay at home, work from home, dan ojo cedhak-cedhak dhisik. Yang nekad keluyuran akan ditangkap! Masuk penjara dan bahkan didenda. Bahan makanan akan dijamin, bisa beli di toko terdekat dengan ijin khusus, atau dibagikan bagi yang tidak punya uang. Sekali lagi: di rumah saja! Patroli-pun diaktifkan bahkan dengan bantuan drone berkamera. Dan dengan itu kemudian para ‘diktator wabah’ dan aparatnya kemudian bekerja, melakukan screening, tracking, dan treatment yang diperlukan. Ternyata dengan usaha keras, penyebaran virus mulai dapat dikendalikan, 2-3 bulan kemudian. Kemudian ia berpidato lagi: “Saudara-saudara, sekarang anda bisa keluar rumah, tetapi tetap jaga jarak, tetap ojo cedhak-cedhak dan selalu pakai masker!” Dan masker-pun dibagikan gratis bagi warga yang keluar rumah. Utopia? Tidak-lah, ada yang mampu begitu tuh.

Jika kita amati semua diktator akan memulai dengan pidato seperti di atas, entah itu pidato soal ancaman di depan mata atau pidato soal masa depan yang gilang-gemilang. Entah gambaran ‘negatif’ atau ‘positif’ atau bahkan ‘kombinasi’. Apapun itu, intinya kadang sulit dibedakan apakah ia sedang bohong atau tidak. Yang penting adalah pidatonya itu akan menjadi pembenar terhadap keputusan dan perilaku represifnya. Bagi rakyat kebanyakan, entah tersihir oleh gerlap pidato itu atau tidak, pada akhirnya realitas kongkret yang berdampak pada kelangsungan hidupnya-lah yang akan memberikan masukan besar apakah dia sedang berhadapan dengan diktator jahat atau baik hati.

Manusia adalah kera yang tidak jujur, demikian kata sebagian orang. Bukan berarti dunia binatang tidak mengenal tipu-tipu, itu hanya menandaskan bahwa manusia tidak bisa lepas dari potensi berbohong. Bahkan sebagian besar akan menjadi fakta faktual. Yang membedakan adalah skalanya saja. Bahkan Plato-pun sempat membahas tentang white lie atau noble lie, ‘kebohongan putih’. Kebohongan katakanlah misalnya demi tertibnya situasi. Demi terjaganya harmoni. Demi terus semangat, tidak patah arang. Tetapi bagaimanapun juga Plato tetap menolak genuine lie. Kebohongan ‘pokrol bambu’.

Maka sebenarnya antara diktator dan tukang tipu itu beda-beda tipis, sama-sama memulainya berhimpit erat dengan ranah kebohongan. Dan meski peluangnya sama kecilnya, masihlah ada kemungkinan mereka mewujud sebagai ‘yang baik hati’. Syarat mutlaknya, meski belum mencukupi, adalah soal kedaulatan. Kedaulatan yang sebenarnya sangat mungkin ‘bermuka dua’. Di satu sisi justru akan memperbesar kegelapan, tetapi di sisi lain menjadi memungkinkan untuk berkembang menjadi yang ‘baik hati’. Tetapi jika tanpa kedaulatan, ia sama sekali tidak akan pernah menjadi baik hati. Analisis ‘pakta dominasi’ dari Cardoso akan memperjelas soal ini. ‘Pakta dominasi’ yang membuat seakan kekuasaan bisa lebih sewenang-wenang karena wajah tipisnya. Atau bahkan ‘tanpa wajah’ lagi. Semata bergerak atas perintah yang duduk di atas singgasana ‘pakta dominasi’.

Dalam praktek politik berdasar pembedaan lawan-kawan Schmittian, sering kemudian mewujud pada kemampuan meng-gertak. Jika kemampuan menggertak ini begitu lemahnya –gertak kelas medioker, maka benar-benar yang duduk di singgasana ‘pakta dominasi’ itu akan tidak pernah sungkan lagi memaksimalkan kepentingannya. Seorang diktator yang mempunyai kemampuan gertak (terhadap ‘pakta dominasi’), ia mempunyai ‘kesempatan sempit’ untuk menjadi ‘baik hati’ pada rakyatnya. Putin pada awal pemerintahannya mempunyai kemampuan untuk menggertak para oligarki yang sudah begitu ugal-ugalan semasa Yeltsin. Dibungkus oleh pidato ‘the dictatorship of law’-nya.

Tipu-tipu dalam ‘tukang-tipu’ adalah genuine lie, tipu pokrol bambu. Itupun bagi khalayak masih banyak yang akan ‘memaafkan’ jika katakanlah misalnya, wabah benar-benar dapat dikendalikan jika mengambil contoh di awal tulisan. Masalahnya adalah jika ternyata ia sama sekali tidak berdaulat, sama sekali tidak mampu melakukan gertak yang berisi dan bermartabat. Maka hilanglah kesempatan untuk menjadi ‘tukang-tipu-yang-baik-hati’. Hilang hampir 100%. Apalagi ketidak-berdaulatannya itu karena adanya ‘pakta dominasi’ yang begitu mencengkeram bersama dengan para pemboncengnya, para oligarki. ‘Pakta dominasi’ global yang menjadikan para oligarki itu sebagai bangsawan-bangsawan sekutu kesayangan mereka. Maka pada akhirnya khalayakpun akan tidak ‘memaafkan’ tipu-tipunya. Bahkan pompaan terhadap ke-‘baik-hati’-annyapun akan dihayati sebagai tipu-tipu belaka juga. Tipu-tipu pokrol bambu, tipu-tipu yang sungguh brutal dalam satu hidup bersama. Tidak tahu malu, tanpa beban, rai gedhèg. Sayangnya, ketika batas itu sudah sampai ujung hidung, maka kekerasanlah yang akan dimajukan. Tidak jauh dari seorang diktator yang ‘genuine’. *** (15-07-2020)

Tukang Tipu Yang Baik Hati