www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

16-07-2020

Pada kondisi ada masalah di otak, terutama area otak depan sekitar di atas rongga mata, kadang fungsi filtering atau penyaringan terkait dengan ingatan (yang ter-aktivasi) bisa terganggu. Karena fungsi filtering ini terganggu maka sering antara realitas dan fantasi ia menjadi tidak bisa membedakannya lagi. Ingatan yang semestinya adalah masa lalu kemudian dirasakan sebagai deja vu yang terus menerus dan bahkan kemudian diyakini sebagai realita itu sendiri. Ia bahkan bisa menceritakan ‘realitas’ itu dengan sangat meyakinkan. Konfabulasi, demikian salah satu gejala disebut oleh ahli jiwa. Dekat-dekat dengan ngibul, bahasa keren-nya. Dan jangan terus dibuat kesimpulan bahwa yang jidatnya lebar dan ‘nonong’ ke depan itu terus mengindikasikan ada gangguan area otak depan di atas rongga mata, maka jadinya ngibul-an. Jangan-lah, masih perlu pemeriksaan lain yang lebih teliti.

Inflitrasi-filtrasi adalah sebuah dinamika yang seakan terus berjalan. Dunia-realitas sekitar kita seakan terus meng-‘infiltrasi’ kesadaran kita. Tetapi ‘untung’-lah kita tidak semata ‘gudang kosong’ sehingga semua infiltrasi itu ditampung dan kemudian serta-merta menentukan kesadaran kita. Kita punya juga kemampuan ‘filtrasi’, kesadaran kita juga punya sisi aktifnya. “Kesadaran akan selalu kesadaran tentang sesuatu,” demikian Husserl di awal abad 20. Bahkan jika sesuatu itu adalah sebuah ingatan, atau bahkan fiksi. Kita bahkan kemudian bisa memperbincangkan dalam obrolan dengan yang lain. Dan bisa seru obrolannya, misal bagaimana pertandingan bola nanti malam. Belum terjadi tapi sudah seru dalam obrolan.

Pada awalnya adalah infiltrasi, demikian obrolan soal ‘Perang Modern’. Infiltrasi yang menembus bermacam ‘filtrasi’ dengan bermacam caranya. Infiltrasi yang kemudian melanjut dengan bermacam ‘eksploitasi’, terutama eksploitasi soal isu. Bisa satu-dua tahun dieksploitasi soal term tertentu, dan kemudian satu-dua tahun term tertentu pula. Yang sebenarnya dapat dengan mudah diraba ujungnya: adu domba. Ketika situasi menjadi panas-dingin, maka ada kesempatan untuk melakukan ‘cuci otak’. Sedikit banyak ulasan Naomi Klein dalam The Shock Doctrine mendukung adanya kesempatan untuk melakukan ‘cuci otak’ itu. Dan akhir cerita adalah penguasaan. Bisa juga invasi, intinya: pencapaian sasaran.

Di banyak komunitas, fokus intelijen adalah soal ‘filtrasi’ terkait dengan kepentingan luar yang membahayakan komunitasnya. Bukan justru meng-infiltrasi komunitasnya sendiri sehingga kepentingan luar itu dapat dengan mudah masuk. Atau paling tidak: tak terpantau. Jika itu terjadi maka tarikan situasi clientelism-lah yang sebenarnya dominan. Si-patron ada di luar sana, entah dimana. Jika justru komunitas-komunitas sendiri yang di-infiltrasi, dan kemudian eksplotasi isu seakan tiada henti maka dibalik itu akan segera nampak bahwa bagaimana kekuatan-kekuatan produksi itu baik secara langsung atau tidak langsung, justru dikuasai oleh pihak luar. Tentu pihak dalam-pun akan banyak yang terlibat, tetapi bagaimanapun juga harus dilihat bahwa sangat mungkin mereka ini hanya pemegang ‘pakta dominasi sekunder’. Tetapi meski sebagai yang-‘sekunder’ justru malah bisa menjadi kunci dari pemecahan banyak masalah. Paling tidak sebenarnya yang ‘sekunder’ ini lebih ada dalam jangkauan kendali.

Jika isu-isu itu adalah isu yang dilahirkan tidak dari dinamika relasi kekuatan-kekuatan produksi maka bisa dikatakan bahwa apa yang terjadi dalam hubungan kekuatan-kekuatan produksi-lah yang sebenarnya ingin disembunyikan. Kekuatan-kekuatan produksi yang banyak dikuasai oleh kaum oligark sebagai ‘pakta dominasi sekunder’ dan kekuatan-kekuatan keuangan internasional sebagai ‘pakta dominasi primer’-nya. Maka bertebaranlah para ‘pangeran-pangeran’ isu itu. Atau bahkan juga ‘kroco-kroco’-nya. Terus tiada henti membuat ‘keributan’ sehingga kemampuan ‘filtrasi’, kemampuan ‘filtering’ otak kita semakin menurun, dan melanjut pada kemampuan membedakan antara realitas dan fantasi menjadi tipis. Apalagi jika ‘keributan’ itu perlahan semakin mendekatkan pada potensi untuk saling bunuh. Jika terjadi tidak hanya eskalasi, tetapi sudah sampai pada titik kritisnya, siapa yang harus bertanggung jawab? *** (16-07-2020)

Pada Awalnya Adalah Infiltrasi