www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

17-07-2020

Bayangkan warna merah, dengan karakteristik panjang gelombangnya X nm, atau hijau yang Y nm. Dan mungkin ada karakteristik lain. Kemudian karakteristik-karakteristik itu direkam dalam bentuk audio, dan murid tinggal pencet tombol dan diperdengarkanlah karakteristik warna merah itu. Apakah murid bisa menghayati secara langsung warna merah itu? Tentu setelah masuk kelas dan guru menerangkan soal warna merah itu, dan bisa kemudian ada tanya jawab. Meski warna merah masihlah dalam ranah abstrak, bisalah kemudian masuk dalam diskusi. Untuk menghayati warna merah in-concreta maka guru kemudian membawa cat warna merah, dan untuk lebih jelasnya dicat-kan di papan tulis. Sambil menunjuk di papan tulis guru kemudian mengatakan ke murid: “Ini warna merah.”

Pancasila adalah mirip dengan warna-warna itu, ia non-independent part. Kita bisa diskusi in-abstracta di ruang-ruang kelas, atau bisa juga ditempelkan di dinding-dinding ruang kelas sila-silanya. Setiap hari murid bisa membacanya dan kemudian menghafalkan. Tetapi dimana kita bisa menghayati Pancasila itu? Jika Pancasila itu adalah sebuah cat, maka ada yang kemudian berpendapat bahwa ‘cat’ Pancasila itu akan nampak dan bisa dihayati jika di-cat-kan di seluruh manusia Indonesia. Maka jaman old, ada Penataran P4. Negara melalui aparatnya membawa ‘kaleng cat’ Pancasila kemudian menghampiri setiap manusia di republik untuk di-cat seluruh badannya dengan ‘cat’ Pancasila itu.

Segala RUU HIP atau yang kemudian dirubah menjadi RUU BPIP itu bisa dilihat juga sebenarnya sebagai upaya membuat ‘kaleng cat’ Pancasila yang maunya akan di-cat-kan ke seluruh tubuh manusia di republik. Padahal dalam hidup sehari-hari, terlalu banyak nilai-nilai yang dihayati khlayak dalam hidup sehari-harinya. Maka jika imajinasi kita kembali ke jaman old, konsekuensinya adalah kemudian munculnya berpuluh butir-butir pengamalan Pancasila itu. Sebagai ‘legitimasi sekunder’-nya. “Legitimasi sekunder” yang maunya lebih terperinci sampai detail itu menjadikan ‘hal-ide’ itu semakin rigid, semakin kaku. Karena ‘keras’-nya maka tak heran pula kemudian bisa berfungsi sebagai ‘alat pukul’.

Dari sekian banyaknya nilai-nilai yang hidup di republik, mengapa hanya 5 sila atau lima nilai utama yang disepakati oleh founding fathers? Karena dalam imajinasi mereka, itu adalah jawaban atas pertanyaan: atas dasar apa negara yang akan diproklamasikan itu berjalan? Jadi lebih pada soal negara. Soal siapa-siapa yang nantinya mendapat tanggung jawab mengelola negara. Ia tidak bisa semau-maunya, tetapi kebijakan dan perilakunya tidak boleh menyimpang dari nilai-nilai yang sudah disepakati. Nilai-nilai yang ada di Pancasila, nilai-nilai yang ada di akhir Pembukaan UUD 1945. Coba kita bayangkan jika pertanyaannya: “atas dasar apa manusia-manusia di republik akan hidup di negara yang akan diproklamasikan itu?” Ada banyak agama saat itu. Ada banyak keyakinan saat itu. Ada banyak adat-istiadat, tradisi, kebiasaan, dan lain-lain. Ada banyak macam pekerjaan saat itu. Akankah ada kata sepakat?

Kata Platon, persahabatan otentik itu selalu akan melibatkan ‘hal-ketiga’ yang menjadi concern mendalam dari yang bersahabat. Persahabatan mendalam dari para pejuang, dari founding fathers yang muncul atas perasaan senasib-sepenanggungan itu menemukan ‘hal ketiga’ yang mempererat persahabatan, yaitu negara merdeka. ‘Hal ketiga’ membuat ada yang mau mengalah demi berkembangnya ‘persahabatan’ itu. Akhirnya Pancasila kemudian disepakati, dalam konteks ‘hal ketiga’ itu, negara yang diproklamasikan. Dari sekian banyaknya nilai-nilai di nusantara, nilai-nilai dalam ke-lima sila Pancasila itulah yang kemudian disepakati dalam hal bagaimana negara mesti dijalankan.

Maka jika kemudian dipaksakan Pancasila mengatur (langsung) hidup manusia-manusia di republik, itu justru ‘mempersempit’ ruang hidup. Bayangkan misalnya, ada (katakanlah) 30 nilai-nilai yang hidup saat founding fathers bertemu, dan kemudian disepakati hanya 5 nilai (pokok) yang mesti ditaati bagi siapa saja yang mengelola negara. Kemudian bertahun kemudian negara tiba-tiba saja ingin memaksa ke 5 nilai itu dijalankan oleh warganya, bagaimana dengan 25 nilai-nilai lainnnya yang nyata hidup dalam keseharian masyarakat? Warga negara sebenarnya sudah melaksanakan Pancasila ketika ia menjalankan peraturan dan perundangan yang ada, sebab itu semuanya dikeluarkan negara pastilah tidak bertentangan dengan Pancasila itu sendiri. Dan juga toh, bukankah 5 nilai dalam Pancasila itu juga sudah menjadi bagian dari 30 (misalnya) nilai-nilai yang ada dalam masyarakat? Mengapa harus dipaksa-paksakan?

Mengapa harus dipaksa-paksakan? Tahap ‘cuci-otak’-kah?[1] Setelah infiltrasi, kemudian eksploitasi, dan melanjut pada adu domba. Kemudian, cuci otak, dan akhirnya penguasaan? Penguasaan dalam hal apa? Sejarah membuktikan bahwa pertama-tama itu adalah penguasaan faktor-faktor produksi. Tidak yang lainnya. *** (17-07-2020)

 

[1] https://www.pergerakankebangsaan.

com/583-Pada-Awalnya-Adalah-Infiltrasi/

Kasihan Pancasila