www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

22-07-2020

Sovereign is he who decides on the exception,” demikian ditegaskan Carl Schmitt dalam Political Theology, hampir 100 tahun lalu. Timbul pertanyaan, apakah benar sovereign itu hanya bisa dihayati saat exception saja? Sebab exception yang digambarkan Schmitt di atas adalah benar-benar nyaris ‘kegelapan-total’. Jika kita lihat lagi pendapat Schmitt di atas, paling tidak ada dua hal menarik. Pertama soal exception sebagai fakta. Kedua, dalam proses pengambilan decides, ia men-suspend banyak hal, baik itu peraturan, kepantasan, atau apapun itu, yang ada sebelumnya.

Dari ‘karakteristik’ exception itu maka tidak berlebihlah jika dikatakan bahwa situasinya itu memang sungguh ‘menyedot’ perhatian. Kesadaran kita adalah selalu kesadaran tentang sesuatu. Melibatkan intensionalitas kita, keterarahan kesadaran. Dan sayangnya, sesuatu itu adalah situasi exception. Situasi yang tidak bisa lagi dihadapi dengan sikap taken for granted. Tetapi kita musti ‘berhenti sejenak’, dan ‘menunda’, men-suspend segala pra-anggapan, konsep-mental yang ada sebelumnya. Di-bracketing dulu. Diberi ‘tanda kurung’ dulu. Kemudian kita menghadapi situasi exception itu sebagai ‘pemula’, kita lihat dari bermacam sudutnya, dari berbagai aspek-profilnya. Kalau perlu imajinasi-imajinasi yang berkembang kita diskusikan dengan pihak lain.

Bagi orang-per-orang, exception paling ‘puncak’ adalah kematian. Kematian yang selalu harus dihadapi langsung dan tidak bisa diwakilkan pada siapapun. Yang memaksa ia untuk menghadapi tidak semata taken for granted, tetapi harus berpikir. Entah ‘berpikir’ dengan mata iman, atau dengan rasionya, fides et ratio. Dalam hidup keseharian-pun sering kita harus juga ‘berhenti’ sejenak. Mengambil waktu untuk menimbang-nimbang. Kadang kita juga meminta pendapat atau saran dari sahabat. Atau buka internet, siapa tahu ada pengalaman sejenis. Kita menjadi ‘tidak-berdaulat’ ketika dalam situasi yang mestinya dihadapi dengan tidak taken for granted itu, kita tidak mampu memutuskan yang terbaik. Bahkan jika itu saran dari orang tua atau sahabat mau diikuti atau tidak, semestinya adalah keputusan sadar yang dibuat.

Maka dibalik kedaulatan itu sebenarnya adalah ke-berpikir-an. Karena exception di depan mata itu tidak bisa dihadapi hanya dengan natural attitude lagi, dengan taken for granted lagi.

Jika ada yang ingin merebut kedaulatan maka salah satunya adalah tebarlah ke-tidak- berpikir-an itu. Caranya bisa macam-macam, bisa dengan ‘membunuh karakter’ berpikir dengan dihadapkan pada aksi atau kerja-kerja-kerja, misalnya. Hanya kelas medioker saja yang terlalu sibuk menyoal antara berpikir-berkata dan kerja-kerja-kerja. Dan sebenarnya berpikir dalam konteks bahasan ini-pun tidak pernah lepas dari realitas yang dihayati. Maka dalam soal ‘perebutan kedaulatan’, kerja-kerja-kerja itu bisa-bisa adalah sebuah propaganda untuk menyingkirkan ‘benteng utama’ kedaulatan: berpikir. Tentu kita harus hati-hati dalam hal ini sebab bagaimanapun pengalaman, katakanlah, ‘pintu masuk’ dari proses berpikir itu. Bahkan pengalaman-pengalaman sehari-hari kita.

Orang berpikir dulu baru berbahasa. Tetapi juga kemudian bisa dikatakan, dengan bahasa maka berpikir dapat mengalami percepatan dan perluasannya. Makanya bahasa berkembang, bahkan kalau perlu kata-kata asing diserap atau dilahirkan kata-kata baru dalam tata-bahasa sehingga berpikir bisa lebih berproses. Supaya tidak jatuh dalam situasi ‘hipokognitif’. Jadi bisa juga dikatakan, sering dari bahasanya kita bisa meraba ke-berpikiran-nya. Tidak selalu memang karena dalam hidup sehari-hari kitapun butuh guyonan, glècénan, ngobrol tanpa ujung, atau melaksanakan perintah atau kebiasaan. Atau lainnya. Tetapi tidak bagi yang sedang memimpin, terlebih dalam situasi exception seperti wabah sekarang ini. “Clear masseges,” demikian di-deskripsi-kan oleh sementara orang bahasa yang digunakan oleh Angela Merkel dalam keberhasilannya mengendalikan wabah di Jerman. Masseges yang mungkin juga kemudian di-internalisasi dan berkontribusi dalam merubah perilaku warga saat menghadapi pandemi.

Pra-anggapan, konsep-mental yang sudah ada di-suspend bukan berarti ‘diragukan’ atau bahkan di-delete. Seperti Taiwan misalnya, endapan pengetahuan saat wabah SARS bertahun lalu justru mendapat penguatannya ketika realitas wabah ‘terkini’ dilihat mirip-mirip dengan wabah terdahulu. Suspend, bracketing dibuka lagi dan dihayati secara baru terkait dengan realitas di depan mata. Dan itu kemudian digunakan untuk membuat keputusan. *** (22-07-2020)

Di Balik Kedaulatan