www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

25-07-2020

Banyak yang meraba bahwa utang ugal-ugalan di banyak BUMN ujungnya adalah dijualnya aset. Salah satu jalan atau rute untuk masuk ke ranah privatisasi. Apa yang kita bayangkan dari ugal-ugalannya biaya politik? Bukankah juga dijualnya ‘aset partai politik’ itu ke ranah ‘privat’ juga?

Di balik privatisasi ada asumsi ditebar: orang tidak akan sungguh-sungguh ‘ngurusin’ yang tidak punya-nya sendiri. Kepentingan dirinyalah satu-satunya alasan mengapa ia kemudian ‘mau urus’ dengan sungguh-sungguh. Di luar itu: tidak rasional.

Jika dalam satu periode utang digelembungkan sampai pada tingkat ada yang kemudian omong keras bahwa yang rasional itu ya dijual, maka periode berikutnya adalah, ya dijual-lah, mau apa lagi? Sudah ada yang ‘ndongeng’ dengan begitu meyakinkan. Tanpa beban, karena itu yang rasional, katanya. Untuk lebih meyakinkan, lihat bagaimana itu menjadi amuk-hasrat orang-orang sontoloyo itu sehingga orang tidak sungkan lagi ‘rayahan’ mau jadi komisaris. Ugal-ugalan karena itu ‘bukan milik pribadi’ sehingga kemudian tidak ada urusan mau efisien atau tidak. Maka semakin menguatkanlah bahwa paling mak-nyus adalah privatisasi, sehingga orang dipaksa untuk rasional-efisien.

Maka singkat cerita, ada satu kata yang menjadi momok: komitmen. Karena dalam komitmen itu ada celah soal kepentingan diri itu bisa minggir lebih dahulu demi kepentingan lain yang lebih luas. Komitmen yang dari asal katanya bisa juga dihayati sebagai sebuah ‘misi bersama’. Hantu gentayangan itu sudah tidak lagi komunisme, tetapi adalah komitmen. Sama-sama kom-nya, tetapi beda penghayatan dan prakteknya. Sama-sama head-to-head terhadap liarnya modal, tetapi beda ‘jaman’. Dulu dalam praktek, head-to-head-nya dengan ugal-ugalannya primitive-accumulation, sekarang (sebenarnya) head-to-head-nya dengan ugal-ugalannya accumulatin by dispossession, meminjam istilah David Harvey.

Maka, “Ditinggal PGRI, NU dan Muhammadiyah, Nadiem Makarim: Tidak Perlu Khawatir,[1] demikian salah satu judul berita. Karena isu utamanya bukanlah pendidikan, tetapi: privatisasi pendidikan. Model charters school ala pasca Badai Katrina[2] yang banyak di bagian lain planet ini sudah di’kèprèti’. Jadi memang tidak perlu 'yang ahli pendidikan', tetapi 'yang ahli privatisasi pendidikan'-lah yang diperlukan.

Akankah republik akan tidak jauh dari Rusia di bawah Yeltsin? Yang di ujung pemerintahannya, banyak warganya yang mulai bertanya-tanya, republik macam apa yang kami miliki? Pertanyaan yang muncul ketika komitmen ditinggalkan secara ugal-ugalan. Pertanyaan bagi Rusia hampir 25 tahun lalu! *** (25-07-2020)

 

[1] https://pojoksatu.id/news/berita-nasional/2020/07/25/ditinggal-pgri-nu-dan-muhammadiyah-nadiem-makarim-tidak-perlu-khawatir/

[2] https://www.pergerakankebangsaan.

com/563-Setelah-Katrina/

Privatisasi Tanpa Beban