www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

06-08-2020

Konon, ketika Archimedes masuk bak mandi tiba-tiba saja ia memperoleh ‘wangsit’ dan kemudian berlari telanjang saking senangnya, sambil berseru, eureka, eureka! Saya menemukan, saya menemukan! Kemungkinan soal lari telanjang itu dramatisasi dari pencerita, tetapi soal apa yang ditemukan Archimedes saat itu bukanlah ngibul saja. Ia menemukan cara untuk mengetahui apakah mahkota raja saat itu dicampur logam lain selain emas, tanpa merusak mahkota. Dengan menghitung air yang dipindahkan, jika logam emas dimasukkan, atau jika perak misalnya, yang dimasukkan. Dan terbukti bahwa si-pembuat mahkota berbuat curang, mahkota tidak murni dari emas, tetapi dicampur dengan perak.

Isaac Newton-pun ketika ia menemukan hukum gravitasi dipicu oleh jatuhnya apel saat ia duduk-duduk di bawah pohon apel. Soal apakah apel itu jatuh tepat di atas kepalanya, itu juga adalah cerita. Tetapi penyelidikan akan aslinya cerita itu menunjukkan bahwa memang betul dari jatuhnya apel Newton mendapat insight soal hukum gravitasinya. Tetapi jatuhnya tidak di atas kepala. Pertanyaan Newton, mengapa apel selalu jatuh ke bawah dan tidak ke atas? Adakah hukum yang berlaku dimana saja dan mengatur hingga jatuhnya selalu ke bawah?

Archimedes, Newton, dan banyak penemu lainnya, baik yang tercatat ataupun tidak, baik dirayakan atau tidak, bahkan mungkin banyak yang tidak diingat lagi, apa persamaan dari mereka-mereka itu? Nampaknya adalah soal passion, soal krenteg (Jw.) yang berkesinambungan. Soal penasaran yang terus-terus menghinggapi. Dan tiba-tiba saja insight datang mendekat. ‘Pencerahan’ yang seakan apa-apa yang digeluti selama ini mendapat jalan-terobosannya, seakan menembus sebuah jalan buntu. Dalam film-film kartun itu kadang digambarkan sebagai bola lampu yang tiba-tiba saja hadir dan menyala di samping.

Greget yang terus menerus tentu tidak harus dihubungkan dengan sebuah penemuan. Syukur-syukur itu mendorong sebuah kreatifitas yang berujung pada penemuan baru, adalah baik. Intinya adalah soal self-improvement. Suatu greget dalam diri untuk selalu menapak jalan menuju yang terbaik bagi diri. Ini tentu akan terkait erat dengan potensi diri yang melekat dalam keunikannya sebagai seorang individu. Jika memakai pemikiran Adam Smith tentang the wealth of nations, yang akan tercapai sebagai ‘konsekuensi dari yang tidak dimaksud sejak awal’, yaitu ketika kesejahteraan individu-individu itu meningkat, maka kita boleh juga membayangkan bahwa hidup bersama akan semakin ‘berkualitas’ ketika masing-masing potensi diri dari individu-individu mempunyai kesempatan untuk berkembang. Ketika sebuah passion akan sesuatu dan itu didorong oleh potensi yang ada dalam diri, hidup bersama mampu memberikan daya dukungnya. Tentu dalam realitas tidak sedikit yang akan menjalani hidup, terlebih demi untuk mempertahankan hidup, harus hidup dalam segala caranya yang bahkan potensi besar dalam diri harus dilupakan. Banyak yang seakan jauh dari ‘kemewahan’ yang mestinya bisa dirasakan, ‘kemewahan’ untuk menjalani hidup sesuai dengan passion dan potensinya.

Tidak mudah untuk menemukan potensi-potensi di bidang olah raga misalnya. Lebih tidak mudah lagi bagaimana potensi-potensi yang sudah ditemukan itu kemudian dikembangkan secara serius. Tidak mudah lagi jika kemudian timbul pertanyaan, bisakah saya hidup dari olah raga itu? Meski ada potensi besar dan passion dalam diri untuk mencapai yang terbaik? Sebagian besar ini adalah pertanyaan bagi satu hidup bersama. Bagaimana hidup bersama memberikan ‘penghormatan’ bagi bermacam keringat yang keluar dari tubuh. Singkatnya, meritokrasi yang tidak hanya ada di ruang-ruang motivasi, atau di atas kerta kerja, tetapi hidup dalam keseharian. ‘Penghormatan’ yang berdampak pada sejahteranya hidup.

Ada yang kemudian membayangkan pendekatan kultural dan struktural, atau apalah mau disebut. Tetapi jika kita melihat apa kata Koentjaraningrat di awal dekade 1970, atau hampir 50 tahun lalu, dan merasakan masih banyak relevansinya, adakah yang kurang tepat dalam hidup bersama? Koentjaraningrat saat itu bicara soal mentalitas suka menerabas, meremehkan mutu, dan tidak mempunyai tanggung jawab yang kokoh. Tentu disana-sini banyak kemajuannya. Atau lihat petani-petani kita di satu sisi, bukankah mereka pekerja-pekerja keras yang ulet? Tetapi mengapa nilai tukar petani tidak terus menampakkan kesejahteraannya? Maka jika ada yang kemudian memunculkan soal ‘keprimeran politikal’ itu bukannya tanpa alasan.

Soal pendidikan misalnya, bukankah itu sangat lekat dengan keputusan-kebijakan politik? Soal alokasi sumber daya juga. Soal perlindungan nasib petani-petani kita, sangat telanjang itu adalah soal keputusan politik. Justru karena ‘keprimeran’-nya itulah politik kemudian menjadi kunci untuk banyak hal. Tidak semua hal tentunya, tetapi pengaruhnya akan sangat luas. Eureka! Dan semestinya yang mempunyai passion terhadap dinamika politik pada titik tertentu akan menemukan satu-dua-tiga hal berdaya-ungkit tinggi bagi peningkatan kualitas hidup bersama. Tentu ini akan juga sangat terkait dengan potensi diri. Potensi diri yang terbatas, diasah begitu lama-pun ujungnya ya bisanya hanya akan teriak: pro ruakyat itu, misalnya. Atau ada yang asal njeplak ngibul sana ngibul sini sesuai dengan potensinya, sebagai boneka. Tidak lebih dari itu.

Politik akan selalu terkait dengan sang-Leviathan. Dan dibalik Leviathan sebenarnya adalah keinginan untuk dapat mengembangkan diri. Mengembangkan potensi-potensi diri, dan tidak justru masuk dalam kegelapan state of nature. Dengan menyepakati satu hal maka terbayangkanlah ada kesempatan untuk mengembangkan diri. Maka ‘keprimeran politikal’ adalah jalan politik untuk membuat ruang bagi pengembangan potensi diri. Atau yang mempunyai passion dan potensi dalam dinamika politik praktis, ia harus mempunyai ‘moral politik’ untuk memberikan ruang seluas-luasnya bagi berkembangnya orang-orang yang sebagian besar mempunyai passion dan potensi di luar politik praktis itu. Dengan apa? Pertama-tama adalah dengan menghargai kesepakatan-kesepakatan yang sudah disepakati itu. Di dalam dunia yang semakin sulit untuk diprediksi, sebuah kesepakatan adalah satu hal yang sebenarnya ada di jalur prediksi. Dan itu juga bisa merupakan titik berangkat untuk hadirnya ruang-ruang bagi pengembangan bermacam potensi diri.

Pengingkaran dari sebuah kesepakatan akan menimbulkan ‘reaksi berantai’ yang semakin merusak. Orang bilang, kebohongan akan memperanak kebohongan lagi. Dan seterusnya. Ketika kebohongan yang begitu vulgarnya itu adalah sebagai modal utama yang dilempar pada ‘pasar saham’ politik, maka bermacam ‘derivatif’-nyapun menggelinding tanpa sungkan lagi. Rusak-rusakan. *** (06-08-2020)

Eureka!