www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

10-08-2020

Beberapa hari lalu televisi Australia, ABC, menayangkan berita dengan fokus: Victoria Outbreak. Victoria adalah salah satu negara bagian Australia. Kota Melbourne ada di negara bagian tersebut. Dan kasus baru saat itu adalah 471-an, dengan 8 kematian akibat pandemi setelah kurang lebih satu-dua bulan terkendali. Lockdown diberlakukan lagi, tes dan pencarian ‘pohon kontak’ diagresifkan. Dan seterusnya. Victoria Outbreak adalah satu dari sekian berita tentang pandemi. Masing-masing komunitas merespon pandemi dengan ‘gaya’-nya sendiri-sendiri.

Sering kita masuk dalam dinamika pendefinisian diri pada saat dalam situasi negatif. Bahkan Milton Friedman, salah satu guru neoliberalisme itu meyakini bahwa hanya melalui krisis perubahan nyata dapat dicapai. Yang juga kemudian disinyalir oleh David Harvey, salah satu feature dari accumulation by dispossession-nya kaum neolib itu adalah manipulasi krisis. Jika kita membayangkan ada dua arus pendapat tentang manusia, yang satu berpendapat bahwa manusia cenderung maunya memaksimalkan kesenangan, dan lainnya berpendapat sebenarnya manusia itu maunya adalah menghindari atau meminimalkan kesakitan, neoliberalisme merupakan salah satu ‘isme’ yang sangat lentur memainkan keduanya secara efektif.

Maka krisis bisa jadi bukan hanya sekedar ‘romantika’ yang mengharu-birukan rasa kemanusiaan -dan ini langkah pertama yang sangat penting, tetapi juga sebuah ‘dinamika’ dan ‘dialektika’ yang bisa-bisa akan mendorong satu nuansa hidup bersama tertentu. Atau bahkan menuju baru. Apa yang dilakukan oleh pimpinan di Taiwan, New Zealand, atau Vietnam, Kuba misalnya dalam menghadapi pandemi ini, pastilah akan masuk mengendap di bawah sadar warganya. Akan memberikan sesuatu yang akan sangat berpengaruh terhadap horison hidup bersama. Akan meluaskan horison dalam menghayati suatu hidup bersama diantara warganya. Tak berlebihan jika kemudian dikatakan bahwa respon terhadap krisis itu adalah juga bagian penting dalam nation building.

Atau kita bisa juga belajar dari Brazil dan AS dalam membangun respon terhadap pandemi. Contoh bagaimana sesuatu berkembang jika pimpinan ugal-ugalan. Tentu penghayatan ugal-ugalan dari perspektif tertentu. Dari perspektif lain mungkin akan mengatakan: itu yang betul, dan nggak ugal-ugalan tuh. Biasa saja. Maka kita tunda dulu perpektif ‘ideologis’ di belakang mereka-mereka itu –kalau ada, atau apapun kepentingan di belakang mereka yang ‘bermain’ –kalau ada. Kita mengambil ‘sikap pasif’ dan membiarkan apa yang terjadi di Brasil dan AS itu ‘menampakkan’ dirinya sebagaimana ‘adanya’. ‘Apa adanya’ melalui berita-berita TV atau lainnya. Kita coba lihat dari berbagai sisi dengan melihat penampakan yang terjadi melalui berbagai sumber. Kita coba juga lihat dari berbagai komentar melalui media sosial. Dan kita banding-bandingkan juga dengan penampakan-penampakan dari tempat-tempat lain. Yang paling baik adalah jika kita datang sendiri ke Brasil dan AS mengalami sendiri apa yang terjadi. Tetapi juga bukan berarti melalui berbagai informasi dari yang mengalami sendiri kemudian menjadi bukan pengalaman itu sendiri. Kita tetap mengalami hadirnya bermacam informasi itu. Cek-ricek juga mesti dilakukan, baik melalui komunikasi dengan yang lain atau dari sumber-sumber informasi lain. Dari bermacam hal tersebut mungkin kita bisa mulai meraba mengapa kematian akibat COVID-19 di kedua negara itu begitu tingginya. Juga tingginya kasus-kasusnya.

Kalau kita ‘buka’ lagi pra-konsep yang ada di kepala kita setelah mellihat dari bermacam sisi dan aspek sebagai ‘pemula’ itu dalam konteks back to the things themsleves, memang beragamnya respon terhadap pandemi itu-pun tidak lepas dari konteks. Yaitu cara-cara pandang tertentu dan realitas terutama sumber daya yang tersedia. Soal kualitas sumber daya (manusia) memang bisa berpengaruh, tetapi apapun itu tinggal mau belajar nggak secara cepat dari pengalaman-pengalaman komunitas lain. Dari bermacam ‘cara pandang’ jika memakai konsep tripartit jiwanya Platon maka bisa dibedakan menjadi tiga hal yang sangat mungkin tumpang tindih, pertama, dominannya nalar, kedua, dominannya kebanggaan diri, dan ketiga, dominannya hasrat ‘perut ke bawah’, terutama soal hasrat akan uang.

Dari pengalaman Taiwan dan New Zealand, dominannya nalar sangatlah nampak. Pengalaman masa lalu dalam menghadapi wabah benar-benar telah memperluas horison dan kemudian mampu mengendalikan soal kebanggaan diri dan hasrat. Kebanggaan diri ini bisa kita hayati sebagai ‘living-ideology’ yang jika mau kita ambil contoh, nampak dominan pada kasus Brazil dan AS: survival of the fittest sehingga langkah yang mirip dengan herd immunity-pun lebih diambil. Bahkan terasa ugal-ugalan. Bahkan jika tidak hati-hati masalah rasisme-pun bisa menjadi isu sensitif. Soal ‘living ideology’ ini mestilah tidak hanya diisi ‘survival of the fittest’. Kuba adalah contoh lain yang sangat layak dipelajari. Juga dalam hal ini, New Zealand jika dikaitkan dengan partai yang sedang berkuasa.

Dominannya hasrat ‘perut ke bawah’ terutama soal hasrat akan uang tidaklah berarti sebuah langkah yang menomer-satukan masalah ekonomi dan melupakan penanganan wabah. Tetapi adalah soal ‘ajaran’ kaum neolib, soal accumulation by dispossession terlebih rute ‘manipulasi krisis’ seperti disinggung oleh David Harvey dalam A Brief History of Neoliberalism (2005). Ketika wabah menghampiri, kesibukan utama 'mereka' adalah bagaimana memanipulasi krisis demi akumulasi pundi-pundi. Hasrat ngunthet-ngutil  yang seakan bergejolak ketika melihat peluang ratusan-ribuan triliun rupiah di depan mata. Terlebih ketika kesadaran kolektif sedang panas-dingin-was-was karena wabah. Makanya kedua hal lainnya menjadi terasa ‘serba tanggung’. Hasrat akan nalar-pun terasa setengah hati bahkan kalau perlu main konyol-konyolan abis, termasuk juga soal ranah ‘kebanggaan diri’. Terasa ‘tanggung’ karena semua di-abdi-kan sebagai tirai asap bagi (suksesnya) proses accumulation by dispossession yang sedang berlangsung atau sedang dipersiapkan. Maunya 'mereka' khalayak supaya tidak menaruh perhatian pada proses-proses accumulatin by dispossession ini. Entah dibawa pada khayal 2024, atau lainnya. Atau asal njeplak sana-sini seakan sudah tidak punya martabat lagi.

Dalam Alegori Kereta Perang-nya Platon, hasrat perut ke bawah itu digambarkan sebagai si-kuda hitam. Dan salah satu karakternya adalah ia maunya meluncur ke bawah saja. Jika ia menjadi dominan, dan si-kudah putih (hasrat akan kebanggaan) dan sais (nalar-rasio) kemudian ‘kalah-pengaruh’ maka hidup bersama bisa-bisa serasa meluncur ke bawah. Sama sekali jauh dari ranah nation-building. Rusak-rusakan. Bahkan jika perlu, kedaulatan-pun akan digadaikan. Tanpa beban lagi. *** (10-08-2020)

Victoria Outbreak

gallery/plato wings