www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

15-09-2020

Hampir 30 tahun lalu David Elkind menerbitkan buku The Hurried Child. Buku tentang anak yang digegas. Lebih dari 2000 tahun lalu, Platon berkeyakinan bahwa ilmu dialektika (seni berdebat) diberikan pada murid-muridnya pada bagian akhir dari keseluruhan proses pendidikan. Dan itu bisa-bisa setelah umur lebih dari 30 tahun. Pesan dari dua hal di atas adalah, sesuatu perlulah pondasi yang kuat. Tidak bisa main karbitan saja. Apa yang ingin ditunjukkan David Elkind adalah anak-anak yang digegas akan cepat layu pula. Bahkan sebelum ia berkembang.

Anak-anak manusia mendapat pendampingan dari orang tuanya sebelum ia mandiri sendiri lebih lama dibandingkan dengan spesies lainnya. Mungkinkah ini yang juga menyebabkan manusia menjadi lebih unggul dari spesies lainnya? Karena ia mempunyai waktu lebih dalam menyiapkan manusia-manusia dewasanya dibanding spesies lainnya?

Asal kata elit tidak jauh dari asal kata election. Elit selalu mengandung arti yang terpilih, bahkan sebenarnya ia ‘the best’. Maka tidaklah mengherankan jika kita lebih akrab dengan istilah pangeran dan bangsawan, dan bukan elit, dalam ranah feodal. Dalam ranah feodalisme, ia menjadi ‘the best’, menjadi ‘terpilih’ karena pertama-tama soal keturunan. ‘Seleksi’-nya adalah urusan ‘yang atas’ sana. Legitimasinya ada di ‘awan-nun-jauh’ sana. Bahkan kalau perlu, Tuhan atau dewa-lah yang berkehendak, yang menyeleksinya -katanya. Atribut-atribut yang serba ‘besar’ bahkan mungkin juga ‘suci’ akan dilekatkan, karena bukan sesama manusia yang menyeleksi, tetapi ‘di atas’ manusialah penyeleksinya. ‘Elit’ yang digegas sebenarnya hanya akan berkembang dalam ranah feodalisme. Tentu bukan berarti tidak ada yang kemudian berkembang menjadi ‘the best’ dalam ranah feodal ini.

Tetapi feodalisme tidaklah hanya melahirkan ‘elit yang digegas’ saja. Ia juga melahirkan ‘elit yang dipaksa-paksa’. Mungkin ia menapak jalan ini-itu, tetapi karena potensi dan kapasitasnya serba terbatas maka tetaplah ia menjadi ‘elit’ yang dipaksakan. ‘Dipaksakan’ karena sebenarnya ia bukan ‘the best’. Ora iso ngilo githoké dhéwé. Maka kata kunci jika kita bicara soal elit adalah ‘yang terbaik’. Terbaik setelah melalui proses ‘seleksi’ antar manusia yang ‘menghuni’ satu komunitas tertentu.

Maka jika kita bicara soal elit politik, itu berarti juga kita sedang membayangkan hadirnya politisi-politisi terbaik di ranah tersebut. Yang terbaik di sepak bola kita bisa membayangkan. Yang terbaik di bidang sain kita bisa juga membayangkan. Yang terbaik di ranah politik? Jika kita mengambil pembedaan antara negara, masyarakat sipil, dan pasar, maka politik akan lebih banyak di ranah negara. Dan masing-masing sebenarnya diharapkan akan melahirkan yang terbaik juga, selain ranah negara, tentu juga ranah masyarakat sipil dan pasar.

Yang terbaik di ranah negara menjadi semakin penting karena dari ketiga ranah tersebut (negara, masyarakat sipil, pasar) hanya ranah negara-lah yang mempunyai hak ‘monopoli’ atas kekuatan kekerasan. Orang boleh mengatakan ia ‘sudah selesai’ dengan dirinya yang dikaitkan dengan masalah ekonomi, dan kemudian merasa sudah sepantasnya masuk ‘jajaran elit’ untuk terlibat sebagai pengelola di ranah negara. Itu barulah sebagian kecil saja sebab tantangan terbesar yang dihadapi di ranah negara adalah sebenarnya terkait dengan kekerasan. Tentu pertama-tama kekerasan dalam bentuk telanjangnya, tetapi sebenarnya adalah juga dalam bentuk-bentuk lain dari kekerasan. Juga karena konsep negara modern itu pertama-tama sebenarnya adalah soal pengendalian kekerasan. Bagaimana kekerasan tidak terjadi menjadi brutal sehingga kesempatan untuk hidup dan mengembangkan hidup dapat dinikmati oleh warganya. Bagaimana kekerasan dikendalikan sehingga bayang-bayang chaos dalam state of nature bisa diminimalkan.

Demokrasi sebenarnya sulit untuk bisa dihayati lepas dari bayang-bayang ‘kratos’ atau ‘arki’ lainnya, katakanlah mono-arki, olig-arki (olig=sedikit), atau bahkan an-arki. Dari asal katanya saja kita bisa meraba bahwa itu sangat erat dengan kekuasaan, arche, kratein. Bagaimana kekuasaan tertinggi di tangan si-mono, atau si-olig, atau si-demos. Atau bahkan sama sekali tidak ada yang pegang kekuasaan lebih tinggi, an-arki. Kekuasaan dalam arti dinamisnya, bukan hanya soal penggunaan tetapi juga ‘peredaran’-nya. Mono-arki, kekuasaan hanya ‘beredar’ secara tunggal, olig-arki hanya ‘beredar’ pada itu-itu saja, sedang pada demos-kratos, kekuasaan ‘beredar’ di rakyat. Maka kemungkinan pemindahan kekusaan di antara rakyat adalah juga merupakan esensi dari demokrasi. Jika kemungkinan itu dipersempit maka demos-kratos-pun sebenarnya juga dipersempit. Inilah mengapa gugatan Rizal Ramli soal PT 20% itu sangat layak kita dukung. Bahkan harus diperjuangkan bersama-sama. Tidak hanya soal melahirkan ‘yang terbaik’, tetapi juga supaya demos-kratos ini tidak bergeser pada olig-arki, dan bahkan mono-arki.

Elit yang digegas di ranah politik negara –terlebih ranah demokrasi, dari beberapa hal di atas maka dapat dilihat akan berpotensi berdampak besar terkait dengan soal kekerasan dan ‘pemindahan’ kekuasaan. Kualitas diri, kualitas si-aktor jelas merupakan hal utama dalam pembicaraan elit yang digegas ini. Selain seperti sudah disebut, soal kualitas diri, pengendalian diri, juga adalah: agere contra. Hasrat vs hasrat. Kemampuan mengelola agere contra dari sang aktor, sang elit. Hasrat akan kekerasan jelaslah tidak mungkin dihilangkan, sama halnya dengan hasrat akan uang, hasrat akan nama baik, hasrat akan pengetahuan, dan lain-lainnya. Elit di ranah negara jelas mempunyai kewajiban dalam mengendalikan kekerasan, tetapi di satu pihak ia mempunyai hak monopoli penggunaan kekerasan. Sebuah godaan yang maha besar, terlebih jika dikaitkan pada soal ‘pemindahan kekuasaan’. Agere contra jelas berbeda dengan soal ‘mengalirkan kanal energi’ atau semacam ‘teori sublimasi’-nya Freud. Agere contra juga lebih dari sekedar the power of story telling meski ia selalu akan berawal dari itu. Karena kekuatan uang, kekuatan kekerasan dan kekuatan pengetahuan itu adalah nyata senyata-nyatanya. Terlalu banyak ngibul maka akan membuat kekerasan uang dan juga kekuatan kekerasan bisa menjadi ‘tidak tahu diri’ lagi. Ugal-ugalan. Bahkan bersekutu. *** (15-09-2020)

Elit Yang Digegas