www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

25-10-2020

Awal bulan depan adalah 40 hari bapak meninggal. Di usia 91 tahun dan dengan penyakit tuanya semestinya akan dengan ‘mudah’ bagi yang hidup akan merelakan ‘keberangkatan’-nya. Tapi apapun itu, kematian tetaplah akan mengusik. Tidak ada yang bisa diperbuat selain ‘terusik’ apapun itu bentuknya. Atau ‘skala’-nya. Bahkan jika ada keinginan untuk ‘menemani’-nya. Kematian selalu bersifat ‘privat’, harus dihadapi sendiri. Tidak bisa diwakilkan.

Apapun prosesnya, hidup bersama-pun pada akhirnya juga bisa dihayati ‘dilahirkan’. Paling tidak ketika hidup bersama itu di-deklarasikan. Hidup bersama jelas mempunyai sejarah lebih panjang dari hitungan ketika deklarasi itu disepakati. Tetapi meski begitu deklarasi itu tetaplah bermakna, terlebih jika dihayati dalam konteks sejarah panjangnya. Atau juga harapan-harapan yang mengikat kelahirannya. Bahkan bisa dikatakan sebenarnya, apapun entitas yang dideklarasikan itu, tetaplah ia merupakan hal yang tidak bisa dihayati lepas dari dinamika komunitas yang melahirkannya. Maka komunitas menjadi ‘lebih penting’ dibandingkan dengan apa yang dideklarasikan itu. Makanya ada kesepakatan umum, demokrasi adalah sistem ‘terbaik’ diantara yang ‘terburuk’. Artinya, diantara segala keburukan yang melekat dari bermacam sistem, demokrasi masihlah yang terbaik. Paling tidak karena ia menempatkan komunitas pada tempat semestinya, yang mana dinamikanya akan merawat hidup bersama.

Dalam beberapa hal kaum anarkis memberikan satu provokasi pembanding. Bukankah dalam sejarah adanya orang atau kelompok orang mempunyai kuasa lebih dari yang lain telah membuat banyak catatan kelam sejarah manusia? Kaum anarkispun berpendapat, an-arche-lah sistem yang semestinya. Tetapi mungkinkah hidup bersama itu hadir tanpa ada perspektif kuasa? Apapun bentuk deklarasi suatu hidup bersama, ia lahir dalam perpsektif kuasa. Masalahnya adalah bukan kuasa itu semestinya ada atau tidak, tetapi bagaimana kuasa itu dapat ‘dikendalikan’. Atau juga mendapat legitimasinya.

Masalahnya adalah, berbeda dengan monarki atau oligarki/tirani, dalam demokrasi diandaikan semua anggota komunitas mempunyai kapabilitas untuk menghayatinya. Tidak hanya mempunyai kapabilitas dalam memilih tetapi juga dalam ‘pengendalian’ kuasa. Suatu yang tidak mudah apalagi dikaitkan dengan kapabilitas dalam melangsungkan dan mengembangkan hidup. Inilah juga kesulitan utama ketika pendidikan pemilih digelar, misalnya. Apalagi dalam komunitas yang mempunyai kecenderungan power distance tinggi.

Bagi rejim monarki atau oligarki/tirani, demokrasi secara substansial adalah lawan utamanya. Demokrasi secara prosedural mungkin bukan ancaman, tetapi secara esensial jelas merupakan ancaman. Dan itu kemudian salah satu hal utamanya adalah soal kapabilitas. Maka tidak mengherankan jika ‘otak-atik’ soal kapabilitas ini bisa menjadi alat utama dalam melanggengkan pakta dominasi yang berbasis monarki atau oligarki/tirani. Dari ‘bangunan atas’-nya dengan cakupan sangat luas, sampai dengan disibukkan terus soal kapabilitas dalam melangsungkan dan mengembangkan hidup. Kemiskinan dan kesulitan hidup yang terus ‘dipelihara’.

Sebenarnya ada ‘shortcut’ bagi khalayak untuk lebih mendekat pada penghayatan substansial akan demokrasi, yaitu penghayatan akan keadilan, atau tegasnya situasi negatifnya, ketidak-adilan. Masalahnya insting utama rejim monarki dan oligarki/tirani dalam menghadapi penghayatan akan ketidak-adilan ini adalah kekuatan kekerasan. Itulah mengapa peringatan Dom Helder Camara soal spiral kekerasan perlu diperhatikan lebih. Ketidak-adilan akan mengakibatkan respon perlawanan dari khalayak, dan ketika kekerasan dipakai sebagai solusi maka akan menumbuhkan perlawanan yang lebih besar lagi, dan kekerasan-pun merangkak semakin intens. Maka tidak mengherankan jika muncul ‘perlawanan’ akan ketidak-adilan itu dari yang sangat paham soal ‘dunia kekerasan’: mendadak siaga satu.

Judul tulisan adalah soal kematian yang sebenarnya akan mendorong otentisitas. Karena kematian tidak bisa diwakilkan maka situasi itu mau-tidak-mau harus dihadapi sendiri. Bagaimana kita menghadapi kematian diri sendiri, disitulah otentisitas akan bisa menumbuh. Demikian juga soal demokrasi yang sebenarnya melekat dalam sebuah deklarasi, misalnya. Selama ‘klientelisme’ masih kental dalam dinamika diri, maka ‘kematian’-pun seakan bukan urusan diri sendiri lagi, dan otentisitas dalam hidup bersama-pun akan tak kunjung menumbuh. Orang bilang itu tidak lepas dari soal kedaulatan. *** (25-10-2020)

Ketika Kematian Mendekat