www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

28-10-2020

Bayangkan semua penemuan teknologi komunikasi, dari mesin cetak, telegram, telepon, radio, televisi, internet maju 1 abad dari sekarang. Di akhir abad 19 internet sudah mulai berkembang. Dan di awal-awal abad 20 media sosial yang seperti sekarang ini juga merebak. Maka Hitler beserta pengikutnya-pun masing-masing juga sudah pegang smart-phone. Hitler akan tidak hanya dikelilingi oleh pasukan rahasianya yang sungguh menakutkan itu, atau Joseph Goebbels di samping kanannya, tetapi ia pasti akan ‘membina’ para boezzerDM juga. Tak mengherankan jika respon di luar Hitler dan pengikut-pengikutnyapun salah satunya akan saling memperingatkan pada sesama temannya dalam ber-medsos: “Awas .... oempan lamboeng!” Karena mereka tahu, meski mulai dari hanya sebuah jempol, jika pas tidak beruntung, itu bisa berujung penangkapan seluruh bagian tubuh sisanya. Berdasarkan undang-undang ‘pokrol bamboe’.

***

Bahasa merupakan rumah bagi manusia, demikian Heidegger menegaskan. Bahasa lebih dari sekedar alat, tetapi dengannya kita membangun sedikit-demi-sedikit keberakaran kita juga. Kedalaman hidup yang dengan bahasa kita kuak lapis demi lapis. Tetapi perjalanan sejarah manusia menunjukkan pula bahasa sebagai alat bisa sangat menggoda. Namun ini bukan berarti bahasa sebagai alat adalah ‘bahasa kelas dua’. Tidak ada urusannya dengan kelas-kelasan. Bahkan dalam sebagian besar hidup kita, bahasa memang sebagai alat. Godaan semakin besar untuk secara brutal ‘memperalat’ bahasa adalah ketika hadir sebuah daya ungkit untuk pelipat-gandaan getaran dalam berbahasa. Demikian juga perang, godaan untuk ‘nantang-nantang perang’ misalnya, akan membesar pula ketika menemukan daya-ungkit kemampuan untuk membunuh musuh dalam bermacam alat perangnya. Yang sekaligus meminimalkan korban di pihaknya. Seperti kita tahu, mesiu telah juga merubah jalan sejarah manusia.

Ketika bahasa tubuh dilengkapi dengan bahasa oral, bahasa tiba-tiba saja mendapatkan daya ungkitnya. Demikian juga ketika manuskrip dikenal. Dan kita lihat bagaimana dahsyatnya ketika mesin cetak massal itu ditemukan. Juga ketika telegram, telepon, radio, film, dan televisi. Juga pengeras suara! Dan terakhir yang serba digital itu.

Bahasa merupakan rumah bagi manusia, manusia dengan segala hasratnya. Hasrat yang di dalamnya menyimpan potensi kegilaan, madness. Ketika kegilaan hasrat semakin membayang, bahasa sebagai alat-pun bisa ikut-ikutan menggila. Dan ketika daya-ungkit dalam berbahasa itu ditemukan, kegilaanpun bisa-bisa mendapatkan ‘jalan gampang’-nya. Kegilaan seorang Hitlerpun serasa mendapat ‘jalan-gampang’-nya ketika bermacam penemuan pengungkit berbahasa itu merebak. Ada pengeras suara yang ditemukan. Ada jutaan pamflet dicetak. Ada radio. Ada film, dan bahkan televisipun sudah mulai merangkak merebak. Kegilaan yang sadar atau tidak, dengan semena-mena menutup kemampuan bahasa dalam hal menguak keberakaran manusia. Taken for granted yang sebenarnya adalah ‘modus biasa’ dimana hidup dijalani, tiba-tiba saja berubah menjadi kediktatoran sendiri. Otentitas diripun semakin dalam terbelah karena seakan tidak mampu untuk berhenti sejenak untuk mengorek lapis-demi-lapis bermacam pengalaman yang telah dijalaninya. Ketidak-berpikiran pun semakin me-massa. Massifikasi, kata Paulo Freire. Atau kata Hannah Arendt, evil-pun kemudian menjadi banal.

Maka sebenarnya kata kuncinya adalah soal waktu. Waktu yang seakan habis oleh bombardir kegilaan-kegilaan. Waktu yang dipepet dari kanan-kiri sehingga penghayatan akan pengalaman seakan menjauh dari indahnya khasanah kata. Pemimpin komunitas pada dasarnya adalah ‘penjaga waktu’ ini. Seniman dan sekitarnya, ia menjaga dan mengembangkan luas dan indahnya khasanah kata. Maka ketika seniman dan sekitarnya ‘berhenti’ –karena bermacam sebabnya, dalam merawat luas dan indahnya kata, kegilaan kata sebagai alat-pun akan semakin menjadi-jadi.

Sebagai ‘penjaga waktu’ maka dalam ranah kepemimpinan komunitas ia bisa terhayati oleh komunitas yang dipimpinnya dalam keutamaan prudence (phronesis). Yang itu tidak akan mewujud jika keutamaan lain tidak ada, yaitu soal ‘tahu batas’, sophrosyne. Dalam sikap prudence, waktu yang begitu sempitnya dalam modus taken for granted itu ia ‘ulur’ demi kesempatan untuk meraba kedalaman dan keluasannya. Kedalaman dan keluasan yang tidak hanya merupakan keasyikan diri, tetapi penuh dengan dinamika inter-subyektifitas dalam sebuah dialog. Inilah mungkin mengapa Driyarkara lebih merasa pas memakai istilah ‘menegara’, dimana dialog merupakan ranah sentralnya. Dalam dialog, tidak mungkinlah ‘jempol lebih cepat dari otak’.

Louise Glṻck adalah seorang penyair, pemenang Nobel bidang sastra 2020.  Kita tidak tahu persis apa alasan pemilihannya, tetapi kita bisa berandai-andai. Puisi bisa dikatakan salah satu bentuk karya yang tidak hanya mengandaikan indahnya kata dan rangkaiannya, tetapi membutuhkan waktu untuk menikmatinya. Untuk memahaminya. Kita ‘dipaksa’ untuk berhenti sejenak untuk berusaha memahami lapis-demi-lapis apa yang ingin disampaikan si-penulis dengan rangkaian kata-katanya. Dalam puisi mungkin kita bisa menghayati sesuatu yang mungkin saja belum tersedia kata yang ‘mewakilinya’. Dalam puisi tersembunyi beribu kemungkinan. Dalam menghayati sebuah puisi tidak mungkinlah, sekali lagi, dengan modus ‘jempol lebih cepat dari otak’.

Maka, terutama bagi pemimpin komunitas, gunakanlah ‘waktu’ untuk membuka kemungkinan ‘memperdalam’ keberakaran hidup bersama. Bukan malah untuk menelikung. Atau semata ‘ikut arus’. Terutama ‘arus hasrat’ yang penuh dengan potensi kegilaan itu. *** (28-10-2020)

Oempan Lamboeng