www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

03-11-2020

Apakah berita tentang banyak perilaku negatif dari kawanan pengendara moge (motor gede) akan menjadi minimal jika tidak pernah ada berita tentang bagaimana kawanan moge berperilaku di aslinya dari Paman Sam itu? Suka atau tidak, brand-images kawanan moge itu sedikit banyak dipengaruhi oleh tingkah-polah pengendara moge di AS sono. Baik pengaruh itu masuk melalui film, berita, gosip, atau lainnya. Tentu ‘dinamika-internal’ antar anggota kawanan jelas berpengaruh, tetapi tetaplah pengaruh luar patut diperhitungkan. Bagi produsen moge, apapun brand-images kawanan pengendara moge di jalanan itu tetaplah sedikit banyak juga akan ‘merawat’ pasar produk-produknya. Menjadi beda tentu tidak dilarang. Bagi unit pemasaran, menjadi beda bahkan bisa-bisa adalah andalan utama dalam memasarkan produk.

Abad 20, sejak pada awal-awalnya sampai dengan sekitar 2/3 berjalan, dinamika di luar nusantara mencatat bermacam kelamnya sejarah. Kelam yang sungguh menghitam. Dan kakek, orang tua kita, atau bahkan kita sendiri jelas bukannya steril dari pengaruh dinamika ‘eksternal’ pada rentang waktu itu. Bahkan jika kita bicara Proklamasi, mau-tidak-mau kita akan menunjuk bahwa kelamnya sejarah itu seakan justru memberikan kesempatan republik untuk menyatakan kemerdekaannya. Tentu pula jika tidak ada ‘dinamika internal’, kesempatan itu bisa-bisa saja lewat begitu saja.

Maka jika kita kemudian membedakan antara ‘yang tergantung pada kita’ dan ‘yang tidak’, dari fakta-fakta sampai sekarang ini kita harus berani menganggap bahwa ‘dinamika eksternal’ itu adalah hal ‘yang tidak tergantung’ pada mau-maunya kita. Tetapi apakah kemudian bisa dikatakan bahwa ‘dinamika internal’ itu adalah ‘yang tergantung pada kita’? Dalam dunia yang semakin intensif ke-saling-ketergantungannya?

Nampaknya memang lebih mudah untuk mengambil sikap bahwa sesuatu itu tidak tergantung dari kita dari pada suatu hal tergantung pada kita. Tetapi bukan berarti menjadi ‘jalan gampang’ juga untuk bersikap: ‘itu tidak tergantung saya’ juga. Ketika orang disiksa dan ia mengambil sikap bahwa daging dan sejenisnya yang menempel atau ‘membangun’ tubuh adalah hal yang tidak tergantung dari saya, maka itu bukan pilihan mudah. Apalagi jika siksaan begitu kejamnya, misalnya. Ini contoh ekstrem. Tetapi meski sama-sama bukan ‘jalan gampang’, bagaimanapun sebenarnya sama-sama juga berdasarkan kemampuan berpikir. Bahkan jika itu dijalani berdasarkan ‘mata iman’-pun, masih saja jalan berpikir akan membayangi.

Maka kata kuncinya adalah, latihan. Berlatih, berlatih, dan berlatih. Jika dalam hidup bersama ada yang disebut sebagai ‘suasana kebatinan’ maka itulah sebenarnya dimensi dari ‘jiwa hidup bersama’ itu. Dan itulah sebenarnya yang semestinya ‘tergantung pada kita’: jiwa hidup bersama. Dan bagaimana kita bisa ‘merawat jiwa’ hidup bersama ini? Tidak ada jalan lain adalah melalui dialog. Bahkan dalam tataran tertentu binatangpun merawat hidup bersama kelompoknya berangkat dari ‘dialog’ antar mereka juga. Dalam dialog tidak hanya soal pengetahuan, tetapi juga soal hasrat, penilaian-penilaian kita tentang satu hal, tentang ‘tahu batas’, dan bermacam lagi. Katakanlah, hampir keseluruhan diri ikut hadir di dalamnya.

Maka adalah penting kita secara sadar-sesadar-sadarnya berani memberikan ruang dan waktu bagi anak-anak kita untuk pertama-tama berani bicara. Berlatih, berlatih, dan berlatih –bertahun-tahun tanpa putus, mengungkap apa yang ada dalam kepala keluar melalui mulut dengan bicara. Atau melalui gambar. Atau tulisan. Tidak hanya berani bicara –atau menggambar, menulis, tetapi juga ‘berani mendengar’. Berlatih, berlatih, dan berlatih mengapresiasi teman yang sedang bicara. Kurangi beban pelajaran terutama pada pendidikan dasar untuk memberikan ruang dan waktu bagi anak-anak kita melatih keberanian dan kemampuan bicaranya. Dan tentu juga dalam kesehariannya di rumah dan sekitar terdekatnya.

Memberikan ruang dan waktu bagi anak untuk bicara dan mengapresiasi saat temannya bicara adalah juga secara tidak langsung kita sedang menebar ‘kode-kode kultural’ tentang kesetaraan. Dialog dalam upaya ‘merawat jiwa’ hidup bersama jelas tidak akan berkembang jika tidak ada penghayatan akan kesetaraan. Ketika perbedaan kesejahteraan ditemui dalam keseharian, pengetahuanlah sebenarnya yang bisa dikatakan sebagai yang sungguh ‘demokratis’ sifatnya. Pengetahuan yang didukung oleh keberanian dan kemampuan bicara akan banyak ‘mengkompensasi’ kesenjangan dalam hal kesejahteraan ini. Dan bahkan kemudian dapat menjadi modal penting dalam mengupayakan bagaimana kesejahteraan dapat lebih bisa diakses bersama.

Maka kemampuan berpikir menjadi penting. Dalam meningkatkan kemampuan dalam berbahasa di usia-usia lebih besar, anak bisa perlahan sambil diajari soal logika yang akan menjadi dasar dalam menyerap bermacam pengetahuan ini. Selain juga melalui matematika yang tidak perlu ruwet-ruwet, tetapi untuk berlatih, berlatih, dan berlatih soal logika. Luas dan dalamnya kemampuan berpikir akan mempengaruhi bermacam keputusan yang harus diambil pada saatnya, dan lebih dari itu, bagaimana keputusan tersebut dilaksanakan. Kata Marx, “para filsuf hanya memberikan interpretasi yang berbeda kepada dunia, yang penting adalah mengubahnya.”

Rombongan moge bagi sebagian besar khalayak adalah cerita soal kesenjangan. Tetapi sebenarnya bukan pertama-tama soal itu yang akan mengusik khalayak, tetapi adalah karena kadang munculnya perilaku ‘anti-dialog’ orang-orangnya. Dan sering itu nampak dalam bahasa tubuh mereka. Bayangkan jika mereka sambil ngebut di atas moge, mereka lempar-lempar bingkisan sambil cengengesan melihat khalayak memperebutkan. Ini sekedar contoh imajinasi saja. Tentu tidak akan separah itu. Yang terakhir masuk berita: mengeroyok orang. Anti-dialog-pun bahkan juga bisa muncul dalam bahasa verbal mereka. Terbukti. Demikian juga bagi penggemar coge, ‘congor gede’ itu. *** (03-11-2020)

Dari Moge ke Coge