www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

07-11-2020

Pada awalnya adalah kepentingan diri,” demikian khotbah harian, mingguan, bulanan, tahunan kaum neolib selalu diawali. “Greed is good,” demikian nyanyian antar bacaan mengambil cengiran Michael Douglas dalam film Wall Street.Yang kuat akan menang,” demikian salah satu tema khotbah mingguan mereka. Ketika privatisasi menjadi memanas, segera diambillah tema khotbah: “Orang tidak akan merawat dengan sepenuh hati jika itu bukan miliknya.” Atau ketika globalisasi menjadi memanas, isi khotbahnyapun menjadi: “Bla ... bla ... bla.” Ujungnya adalah: “Pasar bebas!” Dan seterusnya.

Baru-baru ini TV DW (Jerman) menayangkan (ulang) film dokumenter tentang pertanian tomat di Ghana. Nampaknya itu dibuat sebelum wabah melebar kemana-mana. Tomat tidak hanya termasuk bahan konsumsi utama masyarakat Ghana, pertanian tomat juga mampu memberikan kesejahteraan. Tetapi ketika tomat dalam kemasan, misal dalam bentuk saus, membanjiri Ghana dari luar ditambah berhentinya pabrik pengolahan setempat maka para petani tomat-pun mulai tersingkir. Bahkan kemudian ditengarai banyak yang pergi ke Eropa sebagai tenaga kerja perkebunan di sana. Cerita soal tomat di Ghana-pun tentu bukan monopoli rakyat Ghana. Di beberapa tetangga Afrikanya, industri garmen dalam bermacam tingkatannya menjadi kembang-kempis karena banjir impor pakaian bekas dari negara-negara maju. Bahkan di beberapa negara tidak hanya pakaian bekas, impor sampah-pun telah meminggirkan sebagian rakyat yang menggeluti soal itu.

Tentu tidak ada yang salah jika ada tema khotbah soal ancaman dan peluang. Masalahnya, ancaman dan peluang bagi siapa? Dalam sejarah pertanyaan itu selalu akan dibagi dua, ancaman buat siapa, dan peluang bagi siapa? Karena dalam praktek adalah memaksimalkan peluang dan meminimalkan ancaman. Bagaimana soal ‘hidup bersama’? Ini nampaknya akan dijawab dengan salah satu tema khotbah kaum neolib dengan judul: ‘ultra-minimal state’. Maka tidak mengherankan jika Pierre Bourdieu (1998) menegaskan bahawa esensi dari neoliberalisme itu merupakan ‘a programme for destroying collective structures which may impede pure market logic.’  Atau dalam kata-kata Thatcher 21 tahun sebelumnya (1987): “They are casting their problem at society. And, you know, there’s no such thing as society. There are individual men and woman and there are families. And no government can do anything except through people, and people must look after themselves first. It is our duty to look after ourselves and then, to look after our neigbours.

Maka bagi kaum neolib, soal ancaman dan peluang itu pertama-tama adalah urusan individu-individu, orang-per-orang yang digerakkan oleh kepentingan dirinya. Kedaulatan diri, dan bukan kedaulatan hidup bersama? Benarkah? Coba kita telusuri argumen ‘infant-industry’ yang diajukan Alexander Hamilton di dekade-dekade awal AS merdeka. Saat masih Pax-Britannica. Dan ketika ‘mereka’ telah berkembang meraksasa, tangga argumen itu kemudian ditendang, dan khotbah-khotbah di atas-pun mengalirlah. Cerita selanjutnya adalah digelarnya ‘reka-ulang’ Dialog Melian yang ditulis Thucydides lebih dari 2000 tahun lalu itu.[1] Intinya, ‘lakukan apa yang saya katakan, bukan yang saya lakukan.’ Adilkah? Sayang, di film-film kita sudah terbiasa mendengar: “Hidup memang tidak adil.” Dan bukankah masyarakat adil-makmur-gemah ripah loh jinawi itu hanya ada dalam dongeng? Hanya ada dalam dongeng atau tidak kemudian tidak menjadi penting dalam banyak hal. Karena sering kita lebih mendefinisikan diri dalam ‘situasi-situasi negatif’. Terus melawan dan mengurangi ketidak-adilanlah yang merupakan ‘tugas’ yang tidak akan pernah selesai. Dan ‘selesai’ bukanlah kata keramat. Bukankah setiap bangsa adalah juga bangsa yang tidak (belum) pernah selesai. Termasuk kita juga, kata Max Lane. *** (07-11-2020)

 

[1] https://www.pergerakankebangsaan.

com/024-The-Melian-Dialogue/

Khotbah-khotbah Kaum Neolib