www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

20-11-2020

Kata ilmuwan, kepakan kupu-kupu di hutan Amazon sana bisa mengakibatkan badai dahsyat di Texas, atau tempat lainnya. Itu adalah ilustrasi apa yang disebut sebagai butterfly effect. Atau isu suatu perusahaan menemukan tambah emas raksasa di pulau X dan sudah memperoleh hak eksplorasinya, tiba-tiba saja harga sahamnya segera saja meroket di Wall Street sana. Padahal tidak satu-pun alat-alat berat untuk eksplorasi sudah mendarat di pulau itu. Dalam network society tidak hanya keterhubungan yang semakin erat, tetapi juga kesaling-ketergantungan. Di sebagian besar belahan dunia, kesaling-ketergantungan ini semakin nampak jika dilihat dari dampak-dampak pandemi COVID-19.

Sekitar 5 tahun setelah reformasi, Kuntowijoyo dalam salah satu tulisannya di Kompas (23 Desember 2004) seakan mengingatkan tentang ‘bangsa klien’. Yang meski bisa dibedakan dengan ‘bangsa terjajah’ tetapi outcome-nya bisa-bisa tidak jauh berbeda. Atau kalau kita memakai istilah Cardoso, ini soal ‘pakta dominasi’. Mestinya adalah sebuah kesaling-ketergantungan, tetapi sayangnya bahkan secara brutal telah menjadi sebuah ketergantungan. Di balik pakta dominasi itu tenyata ada juga klientelisme yang begitu kuat. Lihat akhir-akhir ini, bagaimana suatu bangsa harus membayar mahal dalam segala aspeknya demi ‘memuaskan’ si patron yang sedang dikunjungi itu.[1]

Mengelola kesaling-ketergantungan itu tidaklah semata soal keinginan saja. Karena suka-tidak-suka, ada relasi kuasa di situ. Kuasa yang dalam hal ini bisa dibedakan antara hard power dan soft power. Hard power dalam hal ini adalah kemampuan gelut, berkelahi, terlebih pada para serdadu. Berkelahi menghadapi sesama serdadu-nya –serdadu pihak lain tentunya, dan bukannya melawan ‘orang biasa’. Apalagi ‘orang biasa’ si-pembayar pajak dalam segala bentuknya. Tentu jika bicara soft power akan tidak dilupakan soal ranah pengetahuan dan budaya. Tetapi suka-tidak-suka dalam perkembangan kapitalisme seperti sekarang ini, daya beli harus menjadi perhatian utama. Kapitalisme sebagai yang sebenarnya si-pemegang pakta dominasi itu ranah utamanya sebenarnya adalah soal daya beli. Tidak yang lainnya. Imperialisme dan sejenisnya itu adalah soal ‘rebutan’ daya beli ini. Dengan meningkatnya kemampuan daya beli maka kekuatan pengetahuan-pun akan semakin berkembang dan terdukung. Demikian juga secara potensial soal budaya.

Kemampuan mengelola kesaling-ketergantungan yang ada dalam bayang-bayang relasi kuasa itu semakin tertekan ketika ada pembonceng-pembonceng yang sungguh ugal-ugalan. Bagai main tinju tetapi kaki diikat, makan seadanya, bahkan satu mata ditutup. Pembonceng-pembonceng yang sungguh setia terhadap sang patron dan bahkan siap mengawal segala kepentingannya, tetapi sekaligus ingin memperkaya diri sepertihalnya sang patron. Jadilah sang patron tutup mata ketika kliennya ugal-ugalan selama kepentingan dan sekaligus ‘upeti’-nya tetap terjaga. Itulah sebenarnya awal dari segala mbah-nya pemburu rente. Mbah-nya segala mafia. Mbah-nya segala mengapa daya beli sebagian besar khalayak tidak juga meningkat signifikan. Dan mbah-nya segala seretnya pengetahuan menjadi pengetahuan terdukung. Atau budaya yang terus tertekan potensi berkembangnya. Ketika si-klien yang ada di ranah ‘pakta dominasi sekunder’ itu sudah menjadi begitu ugal-ugalannya. Dan mengubah secara brutal kesaling-ketergantungan menjadi ketergantungan. Karena daya beli di sebagian besar warganya meski terus-terus berkembang juga, tetapi hanya ala kadarnya saja. Tidak cukup untuk modal ‘menggertak’. *** (20-11-2020)

 

[1] https://www.pergerakankebangsaan.

com/635-Serangan-Oemoem-1/03/49/

Nasib Di Ketiak Kupu-kupu