www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

21-11-2020

An emotion can only be controlled or destroyed by another emotion contrary thereto, and with more power for controlling emotion,” demikian ditulis Spinoza dalam Ethics, hampir 150 tahun setelah Sang Penguasa-nya Machiavelli terbit. Dan itulah salah satu ‘traktat’ hasrat vs hasrat yang tanpa tedeng aling-aling lagi. Dan sebelumnya ditegaskan pula oleh Spinoza bahwa hasrat adalah merupakan hal esensial dari seorang manusia, desire is the very essence of man. Mengandaikan hasrat akan terkendali dengan hadirnya ‘orang baik’, atau juga kemampuan dalam mengendalikan diri sudah dirasa jauh dari cukup. Makanya kemudian dikenal salah satunya istilah negara berdasarkan hukum. Bayang-bayang akan runtuhnya nama baik atau apalah mau dikata, surutnya keinginan melihat keindahan alam-melanglang buana, atau lainnya, karena hukum memerintahkan itu misalnya melalui pengadilan, adalah untuk mengontrol gejolak hasrat yang sangat bisa sewenang-wenang. Hasrat penggunaan kekuasaan semau-maunya akan dikontrol oleh adanya hasrat untuk berkuasa dari jurusan lain: oposisi, contoh lain. Kemalasan kemudian dibenturkan dengan hasrat akan kekayaan, atau cepat lulus dengan tepuk tangan karena menjadi terbaik.

Arnold J. Toynbee yang berpendapat bahwa peradaban berkembang salah satunya adalah soal respon dan tantangan kiranya bisa untuk membantu imajinasi kita. Dan tantangan terbesar apa bisa dijumpai manusia? Kita bisa menyebut dari gempa bumi, tsunami, tanah tandus, meteor, atau yang lainnya. Bagaimana jika disebut juga hasrat dari manusia lain? Karena faktanya kita tidak hidup di Galapagos yang binatang-binatang di situ dapat secara ‘tenang’ menjalani evolusi demi bertahannya hidup. Karena selain terisolir, tidak ada predator dominannya. Toynbee menambahkan faktor penting dalam soal respon-tantangan itu, si-minoritas kreatif. Dan bagaimana si-minoritas kreatif ini membangun respon terkait dengan adanya ‘tantangan’ yang berasal dari tersebar dan bergejolaknya hasrat manusia-manusia yang ada di komunitas itu? Atau di komunitas lainnya?

Sering kita dengar tantangan terbesar adalah diri kita sendiri. Tantangan diri dalam menghadapi gejolak hasrat. Agere contra adalah bagaimana hasrat diri itu ‘dikelola’ dengan jalan hasrat vs hasrat. Selain tentu diri juga dilatih, dilatih, dan dilatih dalam mengendalikan hasrat. Dan juga ‘cita-cita’ menjadi ‘orang baik’ yang tidak pernah padam, misalnya. Bagaimana dengan hasrat orang lain, kumpulan manusia lain, yang juga bergejolak? Tentu kita bisa menghimbau, mengajari tanpa henti: ayo jadilah ‘orang baik’, jadilah orang bermoral. Atau kita bisa tanpa henti juga mengajari teknik-teknik pengendalian diri. Atau juga dan jangan pernah dilupakan misalnya, lihat komisi ini, the sky is the limit! Maka, temuilah calon klien sebanyak-banyaknya! Keengganan-kemalasan yang dilawankan dengan adanya komisi yang sungguh tidak terbatas, misalnya. Dan sah karena sistem reward melalui komisi diatur dalam kontrak kerjanya.

Bagaimana ‘menghadapi’ gejolak hasrat diri adalah juga keinginan supaya ‘tata-hidup-diri’ membuat paling tidak hidup bisa dijalani dengan nyaman. Baik dunia dan akherat, misalnya. Bagaimana dengan ‘tata-hidup-bersama’? Dimana gejolak hasrat berseliweran dari manusia-manusia yang secara esensial adalah ‘kumpulan’ dari hasrat-hasrat juga? Padahal kata Machiavelli, manusia tidaklah secara kodrati terarah pada keutamaan, terarah pada baiknya hidup bersama. Bahkan menurut Albert Camus, kita tidak hanya dihadapkan pada ‘kejahatan hasrat’ tetapi juga ‘kejahatan logika’. There are crimes of passion and crimes of logic’, demikian Camus dalam Introduction bukunya, The Rebel. Pada bagian lain Camus menulis: “Tetapi apabila manusia kehilangan wataknya dan mulai berlindung di balik doktrin-doktrin, kejahatan pun mulai mencari alasan-alasan pembenarannya, dan semakin berlipat ganda seperti alasan pembenarannya, dengan segala aspek silogismenya.[i] Albert Camus adalah seorang pemikir kelahiran Aljazair (Perancis), tumbuh sebagai seorang balita ditengah-tengah berkecamuknya Perang Dunia I. Ketika Perang Dunia II meletus, Camus berusia 26 tahun, termasuk juga ketika kekejaman Nazi kemudian merebak, ia-pun menyaksikannya dengan mata dewasa.

Kalau dulu di penghujung Orba dan awal-awal reformasi kita sering mendengar istilah ‘pamswakarsa’, maka situasi sekarang kiranya mendesak untuk meluaskan ‘tak-swakarsa’, otak-swakarsa. Ketika semakin nampak bagaimana ‘kejahatan hasrat’ itu banyak mulai membungkuskan diri dalam ‘kejahatan logika’. Dan bagaimanapun juga, meski hasrat merupakan hal esensial bagi manusia, salah satu yang membedakan manusia dengan binatang adalah kemampuan otaknya. Tak-swakarsa yang tidak dilahirkan dari lorong-lorong garnisun dan sebenarnya hanya sebagai pelengkap saja, tetapi dari kegundahan akan sekaratnya akal sehat. Sekarat diterkam gelapnya hasrat. *** (21-11-2020)

 

[i] Albert Camus, Krisis Kebebasan, YOI, 1990, hlm. 33

Tak-Swakarsa