www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

22-11-2020

When you think of the long and gloomy history of man, you will find more hideous crimes have been committed in the name of obedience than have ever been committed in the name of rebellion.” –C.P. Snow

Judul tulisan memang kebalikan dari film-nya Richard Gere di tahun 1982, An Officer and a Gentleman, karena memang bukan mau membahas film.Tetapi bagaimana jika segala kepatuhan seorang officer itu ada di tangan orang yang sama sekali tidak ‘gentleman’? Seorang pengecut yang hobi-nya pelihara buzzer, misalnya. Atau yang sukanya ‘main belakang’. Suka lempar-lempar kesalahan pada orang lain, terutama bawahan. Atau pemegang kuasa/pimpinan sebelumnya. Suka omong gede tidak hanya kosong isinya saja, tapi bahkan untuk menipu disana-sini. Ngibul habis-habisan. Atau yang masih demen dengan olok-olok. Yang bahkan soal kebocoran (uang) negara-pun jadi bahan olok-olok. Tidak hanya tanpa beban, tapi malah mengolok-olok dengan ‘bangga-gagah berani’-nya. Banyak yang tepuk tangan lagi. Jaman edan.

Kutipan di atas ditulis Snow di sekitar puncak Perang Dingin. Dengan didahului dua Perang Dunia dan holocaust yang sungguh mengerikan. Serta jutaan nyawa meregang di Siberia dan tempat lainnya. Kutipan di atas juga dapat dijumpai dalam laporan percobaan Stanley Milgram, bagian Pendahuluan. Milgram melakukan percobaan untuk ‘menguji’ sekitar ‘kepatuhan’. Sebelumnya, Hannah Arendt dalam laporannya tentang persidangan Adolf Eichmann di Yerusalem sekitar tahun 1961 menyinggung juga soal ‘kepatuhan’ ini. Ujungnya adalah banality of evil. Maka kepatuhan, obedience bukanlah soal biasa, bukanlah soal sederhana lagi. Bahkan jika itu bukan dalam ranah ‘rantai-komando’ yang ketat. Dari sejarah kita bisa belajar soal itu. Belajar bahwa dibalik segala ‘kepatuhan’ itu sebenarnya, tertulis atau tidak, ada code of conduct yang ketat.

Gentleman memang lebih menunjuk pada soal sopan-santun dalam tingkatan tertentu. Tetapi sopan-santun dalam konteks tulisan ini adalah pada soal kuasa, soal otoritas. Maka tidak kemudian menunjuk pada soal gender, katakanlah bisa juga gentlewoman. ‘Sopan-santun’ dalam kuasa adalah soal ‘tahu-batas’. Tentu ini tidaklah se-naif itu, tetapi apapun itu karena ‘sopan-santun’ itu lebih terkait dengan ‘sangsi sosial’ maka justru bisa sangat efisien. Tidak usah mengambil langkah ‘konstitusional’ lebih jauh yang menghabiskan energi misalnya, ia sudah tahu persis harus mengundurkan diri karena ucapannya sudah menyinggung sebagian rakyat yang dipimpinnya, misalnya. Minimal sekali ia minta maaf secara terbuka, dan tentu tidak mengulanginya lagi. Tanpa harus berpanjang-panjang. Seperti halnya ketika Kepala Staf Gabungan Amerika Jenderal Mark Milley minta maaf karena telah foto bareng dengan Donald Trump di depan gereja di tengah-tengah memanasnya masalah atau demonstrasi BLM itu. “Saya seharusnya tidak berada di sana,” demikian penyesalan Jenderal Mark Milley di hari berikutnya.

Dalam beberapa hal Mark Milley bisa dikatakan lebih mudah mengambil sikap seperti itu dibandingkan beberapa negara lain. Mengapa? Sebagai negara adidaya, tentara-tentaranya harus selalu siap perang, dan terus latihan-latihan perang jika perlu. Terus meningkatkan kapasitas perang baik personil, alat-alat perangnya maupun taktik-strategisnya. Artinya, ‘hasrat gelut -berkelahi’ itu ada ‘salurannya’. Ancaman, baik ancaman nyata atau karena ‘ulah-ulahnya-sendiri’ harus dianggap selalu ada. Kalau tidak ada ya ‘di-ada-ada-kan’. Intinya, ‘hasrat gelut’ itu memang harus diarahkan ‘keluar’. Jika ‘manajemen hasrat’ seperti ini tidak dilakukan entah apapun itu sebabnya, mungkin orang seperti dalam posisi Mark Milley itu bisa menjadi tidak mudah untuk minta maaf seperti dicontohkan di atas. Bisa-bisa tidak merasa salah sedikitpun. Bahkan jika disuruh menurunkan baliho-baliho gerakan pro-BLM misalnya, bisa-bisa langsung berangkat lengkap dengan segala atributnya. Jika perlu pakai panser-lah.

Tetapi sebenarnya masihlah ada pilihan. ‘Langsung berangkat’ seperti disebut di atas, apapun itu latar belakang kondisinya, tetaplah hanya salah satu pilihan saja. Masih ada pilihan lain, tidak berangkat misalnya. Karena tahu itu di luar batas kewenangannya. Masalahnya seperti ditunjukkan dalam percobaan Milgram dan juga soal ‘banality of evil’-nya Hannah Arendt, soal otoritas yang ‘lebih tinggi’ bisa menjadi salah satu faktor penjelas penting.

Coba kita bayangkan percobaan Milgram di sekitar dekade 1960-an itu. Ada ‘guru’, ‘murid’ dan ‘pengawas’. Sebenarnya yang diteliti adalah si-‘guru’. Si-murid adalah seorang aktor, dan dia dihubungkan dengan ‘kabel-kabel listrik’. Guru memberikan pertanyaan-pertanyaan, dan jika salah ia harus ‘menyetrum’ si murid (yang diperankan aktor, dan akan pura-pura kesakitan nantinya) melalui tombol-tombol di depannya. ‘Sengatan listrik’ diberikan terus meningkat voltasenya seiring dengan terus-terusan si-murid salah menjawab. Jika guru ragu-ragu karena melihat si-murid kesakitan, maka pengawas yang berdekatan dengan si-guru akan mengingatkan dan meyakinkan si guru. Hasilnya? Sebagian besar si-‘guru’ sampai ‘tega’ mau memberikan ‘sengatan’ (pura-pura, tapi si guru tak tahu) maksimal. Padahal sebagian besar dari para guru-guru itu berlatar belakang ‘orang-orang-baik’. Banyak yang terpelajar juga. Dari sini kita paling tidak bisa meraba tiga hal, pertama: story-telling soal penelitian itu yang dikatakan demi perbaikan sistem pendidikan misalnya, kedua: soal pengawas, pemegang otoritas kongkret saat itu, dan ketiga: ‘ketidak-berpikiran’ dari sang ‘guru’. Bercampur-aduk sehingga ujungnya adalah evil (mau-maunya memberi ‘sengatan listrik’ bahkan sampai maksimal) yang kemudian menjadi banal. Dan, Charles Percy Snow-pun bisa sangat benar, seperti kutipan di awal tulisan. *** (22-11-2020)

A Gentleman and an Officer