www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

26-11-2020

Adanya minoritas kreatif dalam terminologi Arnold J. Toynbee tidak bisa dilepaskan dari tantangan. Tantangan dalam bermacam bentuknya, termasuk juga salah satunya jika mau dideskripsikan sebagai heboh-sana-heboh-sini.[1] Bahkan sering kita dengar, kepemimpinan itu akan teruji dalam situasi abnormalitas, dalam situasi krisis. Tantangan sebenarnya tidak hanya sudah merupakah fakta faktual dengan segala kehebohannya itu misalnya, tetapi juga fakta potensialnya. “Gouverner, c’est prévoir, to govern is to foresee,” demikian kata-kata pelopor jurnalisme modern Émile de Girardin, puluhan tahun sebelum Bung Karno (BK) dan Mohammad Hatta (MH) lahir. Dibalik ungkapan itu tidak hanya soal melihat ke depan, menguak tantangan, tetapi juga soal antisipasi. Lihat misalnya, apa yang dikatakan si Bung dengan gaya khas-nya  soal segala kehebohan Perang Pasifik.[2]

Lapar rèsèk, kenyang bégo,’ demikian rangkaian kata jengkel dari netizen melihat jumpalitannya banyak ‘elit’. Itulah mungkin yang disebut Toynbee peradaban bisa hancur ketika minoritas kreatif berubah menjadi minoritas dominan. Kekuasaan yang mengenyangkan itu merubahnya menjadi bego, ikut-ikutan plonga-plongo. Maka bermacam kehebohan-pun kemudian lebih diratapi saja. ‘Anomali’ yang lebih dirasakan sebagai ‘hal aneh’. Persis gambaran kondisi ‘hipokognitif’ dari masyarakat Haiti yang diteliti Robert I. Levy di sekitar tahun 1960-1970-an.[3] Bukan sebagai penampakan dari sesuatu yang mestinya digali lebih dalam lagi. Atau bukan sebagai ‘tempat-pembuktian’ dimana ia masih-lah sebagai si-minoritas kreatif yang memang layak ‘ditiru’ oleh khalayak. Maka tak mengherankan, ‘penjara-hipokognitif’ itu bisa berujung (juga) pada ‘bunuh-diri-ideologis’. Yang pastilah kebanyakan tidak disadarinya.

Apa yang ditulis oleh Albert Camus-pun bisa menjadi kenyataan. Dalam The Rebel Camus mengingatkan, “yesterday it was put on trial; today it determines the law” –kemarin (kejahatan) diadili, hari ini mendikte hukum. Ungkapan yang tidak jauh dari: “lapar rèsèk, kenyang bégo” itu dalam berbagai tingkatannya. Maka merebaklah ‘kejahatan logika’ itu. Kejahatan yang dibedakan oleh Camus dengan ‘kejahatan hasrat’. “There are crimes of passion and crimes of logic. The boundary between them is not clearly defined,” demikian Camus di awal-awal The Rebel. ‘Kejahatan logika’ yang sarat dengan bangunan pembenaran-pembenaran. Lihat bagaimana jungkir-baliknya sebagian ‘cerdik-pandai’ untuk memberikan ‘bobot-logis’ dari bermacam laku ‘mbèlgèdès’. Dulu teriak kencang supaya serdadu profesional, tahu batas. Tetapi ketika berdiri di pihak kuasa, tiba-tiba saja batas itu menjadi kabur. Maka ‘akrobat-logika’-pun terus bermain tanpa henti. Tidak malu-malu lagi.

Si-minoritas kreatif pastilah akan berusaha keras menguak lapis-demi-lapis demi pemahaman yang mendasar apa sebenarnya tantangan-tantangan di depan. Pelurusan sejarah misalnya, jelas itu juga sebuah tantangan tersendiri. Tetapi si-minoritas kreatif juga harus paham dimana ia berdiri. Cerdik-pandai di ranah pengetahuan pastilah ia tidak akan lepas dari kredibilitas, baik soal sumber-sumber ‘pelurusan sejarah’ maupun juga kualitas diri. Demikian juga bagi yang di ranah power, kuasa. Selain ia membutuhkan sumber-sumber yang sungguh bisa dipercaya, ia sendiri juga haruslah kredibel. Kredibilitas selalu terkait dengan ‘bisa dipercaya’. Apa syarat utama kuasa itu menjadi kredibel, bisa dipercaya?

Kuasa ada tidak akan pernah lepas dari upaya melangsungkan hidup. Katakanlah uang adalah alat utama dalam melangsungkan hidup sekarang ini, maka kuasa menjadi kredibel jika ia mampu mensejahterakan warganya dan mampu melindungi kesejahteraan yang sudah dikumpulkan atau dinikmati warganya. Jadi soal ‘keberesan rejeki’ dan ‘keberesan hukum’. Selama soal ‘keberesan rejeki’ dan ‘keberesan hukum’ itu compang-camping dalam bermacam bentuknya, maka power sebenarnya tidak cukup kredibel untuk melakukan upaya-upaya ‘pelurusan sejarah’. Tentu di luar power negara, upaya-upaya ‘pelurusan sejarah’ itu tidak boleh dilarang. Bahkan harus. Publik akan menyeleksi sendiri mana yang kredibel atau tidak.

Dan bukan berarti pula bahwa power bisa melakukan ‘pelurusan sejarah’ ketika rakyatnya sudah ‘adil-makmur-sejahtera’. Bisa-bisa tidak ‘lurus-lurus’ nantinya. Soal keadilan, terlebih ketidak-adilan itu pertama-tama soal rasa-merasa, soal ‘cita’. Soal ‘suasana-kebatinan’. Rekonsiliasi di Afrika Selatan sana tidak akan pernah terjadi jika power yang ada di sosok Mandela tidaklah kredibel. Demikian juga ‘pelurusan sejarah’ di Jerman, misalnya. ‘Pelurusan sejarah’ oleh power yang tidak kredibel hanya akan melahirkan ‘pelurusan’ yang akan ‘diluruskan’ lagi di kemudian hari. Merepotkan saja. *** (26-11-2020)

 

[1] https://www.gelora.co/2020/11/

megawati-politik-hari-ini-hebah-heboh.html

[2] https://www.pergerakankebangsaan.

com/019-Gouverner-cest-pr%C3%A9voir/

[3] Mengapa tingkat bunuh diri di Tahiti waktu itu tinggi? Demikian masalah yang mengusik penelitian Levy saat itu.

BK-MH dkk Di Tengah-tengah 'Kehebohan'