www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

30-11-2020

Stabil-nya rejim semestinya ditopang oleh ‘keberesan rejeki’ dan ‘keberesan politik’, meminjam istilah si Bung. Soal ‘keberesan rejeki’ sudah jelas, tetapi bagaimana menghayati soal ‘keberesan politik’? Jika diyakini negara adalah negara berdasarkan hukum maka ‘keberesan politik’ itu akan terhayati khalayak lebih sebagai soal ‘keberesan hukum’ –baik dalam input, proses, maupun outputnya. Sebab godaan terbesar dalam upaya membangun ‘keberesan politik’ adalah melompatnya pada sebuah paradigma bahwa hukum, atau keadilan, adalah masalah siapa yang berkuasa. Begitu bahkan baru satu kaki saja sudah ada dalam paradigma itu, itulah indikasi bahwa ‘keberesan politik’ sangat bisa sedang bermasalah. Contoh misalnya cuitan di bawah ini: “Saya belum bisa paham saat mengejar "musuh" mereka gunakan UU Karantina padahal seingat saya pengendalian Covid-19 tdk gunakan UU tersebut, tapi gunakan Perpres krn takut tanggung jawab anggaran. Janganlah mengelola negara ini secara sembrono.”[1]

Dalam suatu komunitas dengan power distance tinggi, dan masih banyaknya relasi patron-klien, maka godaan terbesar meletakkan ‘kestabilan-rejim’-nya pada si patron akan lebih besar. Maka ‘keberesan rejeki’ dan ‘keberesan hukum’ pertama-tama adalah untuk si-patron, dalam bermacam tingkatannya, dalam bermacam ‘jalur’-nya. Maka mungkin sekali bagi sementara pihak ‘bangunan-rejim’ yang kompatibel dengan ‘alur’ tersebut adalah monarki-aristokrasi, dengan hirarki patron yang jelas. Si-mono dengan sekitarnya para ‘aristokrat’ yang mempunyai ‘modal sosial’ di ranah kekuatan kekerasan, uang, atau pengetahuan. Yang dalam dunia ‘keberesan rejeki’ dan ‘keberesan hukum’ akan ada dalam perlindungan si-mono. Jaman old, kekuatan kekerasan-lah yang ‘memimpin’ dan banyak digunakan si-mono. Jaman now ’kekuatan uang’. Tetapi apapun itu, yang punya ‘modal-sosial’ lebih itupun perlu ‘biaya-hidup’, untuk dirinya supaya semakin bersinar sebagai patron, atau untuk klien-kliennya yang juga minta dihidupi. Ranah pengetahuan bukanlah terus hanya urusan cerdik-pandai, tetapi siapa saja yang berurusan dengan ‘bangunan-atas’. Macam-macamlah, termasuk juga bermacam ‘imajinasi duniawi’ yang akan ditawarkan oleh partai-partai politik itu. Dan pemburuan rente adalah ‘jalan-gampang’ untuk memenuhi ‘biaya-hidup’ di atas. Siapa tidak tergoda akan jalan gampang?

Power distance yang tinggi dan masih banyaknya relasi patron-klien jelas merupakan ‘berkah-kondisi-sosial’ tersendiri bagi para pemburu rente. Tetapi tetaplah perlu upaya lebih sehingga ‘habitat’ tempat hidup para pemburu rente itu dapat semakin lebih memberikan ‘kenyamanan’. Sebab bukan pada ‘penerimaan’ atas adanya perburuan rente itu, tetapi ‘potensi usil’-nya yang perlu diperhatikan. Habitat nir-usil adalah idaman. Di jaman old kekuatan kekerasan adalah andalan dalam mengendalikan ke-usil-an itu. Jaman now kombinasi antara ‘hadiah’ dan ‘hukuman/an-caman’. Hadiah utama adalah direkrutnya sebagai bagian dari ‘kaum bangsawan’ dengan segala ‘keistimewaan’-nya. Sedangkan ancaman pertama-tama adalah soal olah-skandal. Kata Manuel Castells, dalam era revolusi informasi ini, scandalous politics akan lebih ‘menggigit’. Jelasnya, sandera kasus. Sandera kasus dalam bayang-bayang betapa berkuasanya si-mono. Maunya. Maka informasi telik sandi dan beroperasinya para infiltrat menjadi bagian penting. Juga tentu, media partisan yang akan menggorengnya.

Pada titik-titik tertentu, khalayak tentu akan melahirkan minoritas-minoritas kreatif sendiri yang melihat rejim monarki-aristokrasi/oligarki ini sebagai tantangan. Maka bagi para pemburu rente ini, yang seperti ini perlu segera ‘ditangani’.[2] Kalau perlu mainkan ‘angkat-banting’. Seseorang diangkat setinggi langit –entah ia sadar atau tidak, kemudian dibanting dan dihina-hinakan sampai lapis paling bawah kalau perlu. Supaya kepercayaan khalayak terhadap minoritas-minoritas kreatifnya semakin terkikis. Aneh memang, ‘perang psikologis’ justru melawan khalayaknya sendiri. Tapi memang tidak mengherankan, ketika monarki-aristokrasi/oligarki ‘merajalela’, khalayak kebanyakan di luar mereka hanyalah diperlukan jika memang sedang diperlukan. Di luar itu, demos-kratos adalah gangguan yang perlu dijinakkan. Apapun caranya.

Dan dimata kaum monarki-aristokrasi/oligarki, tidak ada itu yang namanya demos. Maka segala ‘pelecahan’, penghinaan terhadap si-demos-pun bisa-bisa mengalir silih-berganti. Tanpa beban. Dalam bermacam bentuknya. Di luar mereka paradigmanya adalah ‘pendisiplinan warga negara’, bukan ‘pendidikan warga negara’, misalnya. Bukan nation building, tetapi nation co-optation.[3] *** (30-11-2020)

 

[1] https://twitter.com/msaid_didu/

status/1333056606771183619

[2] Lihat juga, https://www.pergerakankebangsaan.

com/621-Para-Pembunuh-Karakter/

[3] Yang menurut asal katanya, dalam arti ‘take-over’ mulai nampak di tahun 1953 (https://www.etymonline.com/word/co-opt#:~:text=co%2Dopt%20(v.),)).

Pemburu Rente Yang Terdukung (2)