www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

05-12-2020

Dari kata-katanya, revolusi dan mental adalah serapan dari bahasa asing. Jika ditelusuri dari asal katanya, revolusi mental dapat diartikan pula sebagai kembali kepada (kekuatan) pikiran. Tentu penggunaan kata-kata tersebut dari abad ke abad mengalami penambahan atau perluasan arti sesuai dengan perkembangan situasi. Juga dalam konteksnya. Koentjaraningrat sekitar 50 tahun lalu misalnya, mempersoalkan mentalitas-mentalitas yang tidak sesuai dengan pembangunan. Atau Thatcher 40 tahun lalu ketika menggerakkan survival the fittest sebagai satu-satunya pondasi tertib sosial ia merasa perlu menandaskan pentingnya ‘jiwa yang mesti juga berubah’. Dan kita bisa melihat bersama, suka atau tidak pada Thatcher, dengan segala sumber daya di tangan ia bisa dikatakan berhasil melaksanakan keyakinannya itu.

Dalam pergaulan internasional ada pergeseran-pergeseran yang patut dicermati bersama sekarang ini, salah satunya adalah istilah dari ‘perubahan iklim’ menjadi ‘kedaruratan iklim’. Kita bisa belajar dari istilah ‘globalisasi’ misalnya. Bagaimana itu dari ‘sekedar wacana’ tetapi baik bagi yang anti-atau-tidak anti, globalisasi itu akhirnya mampu mengubah wajah dunia. Seakan berjalan dengan sungguh tidak tergantung pada mau-maunya kita. Apapun kepentingan yang membonceng atau bersembunyi di belakangnya. Atau jika kita mundur di awal-awal abad 20 bagaimana ‘self-determination’ itu bisa-bisa menjadi salah satu ‘semangat jaman’. Sehingga abad 20 itu kemudian ada yang menyebut sebagai ‘abad nasionalisme’. “Self-determination” keluar dari salah satu pidato Woodrow Wilson presiden AS saat itu, di tahun 1918, setengah tahun setelah Revolusi Bolshevik dan di tengah-tengah puncak Perang Dunia I.

Sedikit ‘tanda-tanda jaman’ bahwa soal ‘kedaruratan iklim’ ini sangat potensial akan terlibat intens dalam mengubah wajah dunia, paling tidak bisa kita lihat bagaimana Trump kalah dalam pemilihan. Selain Biden yang langsung menyatakan akan terlibat lagi di Perjanjian Paris, dapat kita lihat bagaimana pasukan horé di belakang Trump yang banyak meyakini bahwa ‘jaman batu tidak berhenti karena habisnya batu’ –seperti kata Sheik Yamani lebih dari 50 tahun lalu. Atau yang sungguh telanjang, presiden Brasil Bolsanaro sekarang ini dengan begitu ringannya memandang soal kerusakan hutan Amazon. Bolsonaro yang ikut-ikutan Trump ‘junjungannya’, menuduh kekalahan Trump karena dicurangi. Bolsonaro yang bahkan ‘mendukung’ rusaknya Amazon dimana secara ugal-ugalan banyak dirubah menjadi lahan-lahan peternakan dan ladang-ladang kedelai, misalnya. Atau soal kayunya. Atau lihat bagaimana mbèlgèdès-nya soal Omnibus Law di satu republik dengan hutan tropis raksasanya. “Greed is good”, demikian sila pertama selalu dikumandangkan –meminjam cengiran Michael Douglas dalam film Wall Street. ‘Tanda-tanda jaman’ lainnya bisa kita lihat bagaimana korporasi raksasa Tesla menjadi sungguh meraksasa. Tidak hanya sebagai perusahaan swasta pertama yang merambah luar angkasa, tetapi juga karena produk-produk otomotif berbasis listriknya itu.

Seorang patriot tidak hanya ‘anak’ komunitasnya, tetapi juga sekaligus anak jamannya. Kecintaannya pada komunitas dimana ia hidup membuat ia tidak ingin komunitasnya itu terisolasi dari pergaulan lebih luas. Terlebih ia tidak mau komunitasnya itu justru ‘ditelan’ jaman. Ia bisa saja mengatasnamakan segala macam ‘kecintaan’ dengan mengambil keputusan mengisolasi komunitas, tetapi sejarah menunjukkan, kecintaan komunitas pada dirinyalah yang akhirnya kemudian ‘dipaksa’-kan. Itulah jika meminjam istilah si-Bung, patriotisme itu selalu akan ada dalam romantika, dinamika, dan dialektikanya. Ia mencintai komunitasnya tidaklah di ruang-ruang kosong. Patriot bukan saja berurusan dengan yang ‘lokal-lokal’ saja, tetapi sekaligus juga dengan yang universal.

Masalah pertama adalah ‘orang-orang sekitar’, dan sayangnya selalu saja begitu. Hal sudah berlangsung berabad-abad. Masalah berasal dari sebagian orang-orang sekitar yang oportunistik sifatnya, dan selalu akan melihat soal romantika misalnya, adalah ladang subur bagi ‘dinamika dan dialektika’ dirinya sendiri. Atau kelompoknya. Romantika yang ‘terbajak’. Silent take-over atau bahkan secara terang benderang. Tanpa sungkan, tanpa beban. Maka orang-orang oportunistik ini akan sangat demen pada orang sok-sok-an, gegayaan abis. ‘Ahli’ dalam hal sok-sok-an. Karena mereka tahu bahwa orang semacam ini sebenarnya sungguh pengecut ketika pada waktunya harus berdinamika-berdialektika. Ia akan begitu saja mengkerut ketika ada di ‘ruang-ruang-ketegangan’ antara perkembangan semangat jaman dengan apa-apa yang terjadi dengan komunitas yang diklaimnya sebagai ‘cinta-pertama’nya itu. Atau bahkan konyolnya, ia tidak paham bahwa ia sedang ada di ruang antara itu. Tipologi karakter sok-sok-an.

Maka ketika orang-orang sok-sok-an itu sedang teriak-teriak pro-rakyat, pro-wong-cilik, ngoceh soal: ‘sila’-ini-‘sila’-itu, [....] harga mati, aku [....], atau bahkan revolusi-mentaaal, hanya ada satu kata pantas untuk menyambutnya: ... Entut! Tidak jauh dengan Wiji Thukul ketika menghadapi bermacam tekanan. Katanya: ... Lawan! “Entutologi” sebagai lawan dari tidak habis-habisnya gegayaan ‘sok-bangsawan’ mereka. Feodalisme yang maunya dipertahankan terus demi privilege tanpa batas. Kalau perlu dibantu dengan ‘macak ratu’ seperti mau main ketoprak itu. Privilege tanpa batas termasuk dalam hal untuk ngibal-ngibul-tipa-tipu-klam-klaim tanpa sungkan tanpa beban dan terus-terusan seakan di sekitar sudah tidak ada cermin lagi. Sebuah kekerasan verbal dimana sebenarnya tidak kalah dahsyatnya dengan kekerasan laras panjang. Sama-sama meretakkan bermacam potensi yang sebenarnya sangat siap untuk dikembangkan.

Sehabis perang di awal-awal abad 20 dulu, Belanda mengalami kekurangan pangan kronis, dan itu kemudian mempengaruhi dinamika genetika mereka yang terpapar malnutrisi itu. Dan penyakit-penyakit yang muncul akibat kelaparan kronis itupun kemudian menjadi dimungkinkan untuk diturunkan. Itulah ranah studi soal epigenetik. Bagaimana faktor-faktor lingkungan itu dapat mempengaruhi dinamika genetik. Maka tidak ada yang aneh ketika kegelisahan semakin muncul saat lingkungan hidup sekitar terlalu banyak diwarnai tingkah polah petinggi-petinggi kelas medioker yang keahlian utamanya adalah sok-sok-an itu. Kegelisahan yang normal-normal saja ketika ‘kelaparan akan kualitas dan komitmen’ menjadi semakin kronis-mengakar-menyebar. If children live with mediocrity, they learn to ....[1] *** (05-12-2020)

 

[1] Lihat puisi Dorothy Law Nolte

Revolusi Mentaaal