www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

09-12-2020

Apa tugas-kewajiban utama seorang pemimpin? Ya, memimpin tentulah. Keseluruhan jiwa-raganya adalah untuk memimpin. Karena tugas-kewajibannya adalah memimpin maka itu bukanlah hal ringan-ringan saja. Sarat dengan beban, dari segala penjuru. Jika seorang ‘pemimpin’ sampai terucap bahwa sekarang ia sudah tanpa beban lagi, apapun konteks bicaranya, ia jelas tidak masuk dalam kategori pemimpin. Karena ia sebenarnya tidak tahu persis apa yang ada di kedua pundaknya. Bahkan beban terdekat yang ‘nangkring’ di pundaknya saja bisa-bisa ia tidak melihatnya. Karena ia bukan pemimpin.

Apalagi jika ia memimpin dimana segala hasrat, terutama hasrat untuk berkuasa itu maju paling depan. Beban sungguh berat karena hasrat untuk berkuasa itu akan selalu mengintip setiap saat. Kehendak berkuasa bisa dikatakan sebagai satu hasrat mendasar karena jika ia dikaitkan dengan hasrat untuk melangsungkan hidup, seakan itu terkait erat. Tak beda jauh dari hasrat akan seks. Maka tidak mungkinlah hasrat untuk berkuasa ini kemudian dihilangkan, atau diingkari keberadaannya. Masalahnya adalah bagaimana itu dikelola sehingga hidup bersama bisa dimajukan.

Semakin kompleks hidup bersama maka bermacam ranah kemudian dilahirkan. Dalam perkembangannya, hasrat untuk berkuasa ini kemudian tidak hanya terhayati dalam ranah seorang pribadi dan keturunannya saja, atau urusan sedikit orang saja, tetapi si-demos, rakyat sudah diterima luas bahwa ia juga ada dalam ranah bagaimana hasrat untuk berkuasa itu dikelola. Tentu dalam masing-masing ranah hasrat untuk berkuasa tetaplah ada –katakanlah, siapa tidak ingin memegang ‘kapital’ tertinggi dalam suatu ranah tertentu? Yang dimaksud di sini adalah hasrat untuk berkuasa dalam tingkat pembuat kebijakan, negara.

Ketika hasrat berkuasa untuk ikut menentukan kebijakan di khalayak mulai diakui maka tantangannya adalah bagaimana itu dikelola sehingga outcome-nya betul-betul adalah memajukan hidup bersama. Dari perjalanan sejarah dan pengalaman macam-macam komunitas, pengelolaan pertama-tama adalah ditujukan pada kekerasan yang digendong oleh hasrat, termasuk di sini hasrat untuk berkuasa. Kekerasan yang dominan dan menghitamkan imajinasi state of nature itu. Demokrasi menjadi ada karena kekerasan dikeluarkan dari ranah pengelolaan hasrat berkuasa ini. Serdadu atau siapapun yang memegang senjata tugas utamanya adalah menjaga batas arena, bukan masuk arena. Karena begitu yang pegang senjata masuk arena maka jelas ‘permainan’ dalam pengelolaan hasrat berkuasa inipun akan berubah total. Bisa-bisa homo ludens berubah total menjadi homo homini lupus.

Ketika komunitas semakin maju maka penghayatannya akan kekerasanpun tidak hanya berhenti pada soal darah, atau nyawa melayang. Bermacam hal kemudian dihayati bahwa ada kekerasan disitu, baik langsung maupun tidak. Jika bicara soal potensi, darah mengucur atau nyawa melayang jelas potensi bahkan bisa-bisa dihilangkan. Kekerasan dalam bentuk paling vulgar, bentuk ‘primordial’-nya. Tetapi menurut Galtung, bahkan ketika potensi itu terhambat untuk berkembang, kekerasan sebenarnya sudah hadir disitu. Potensi adalah serapan dari bahasa asing, potential, lawan katanya adalah actual. Maka bicara soal potensi adalah bicara soal kemungkinan. Kemungkinan apa jika saya memilih si A, misalnya. Maka kemudian saya melihat apa-apa yang diperjanjikan oleh si A itu. Apa yang terjadi ketika ketika si A terpilih ia mengingkari bermacam janji yang ditebar saat kampanye? Dongkol dan tunggu 5 tahun lagi? Kedongkolan, kecewa, bahkan marah mungkin itu yang muncul. Karena, dirasakan atau tidak, ia telah menjadi korban kekerasan juga. Fakta potensial yang dibayangkan saat memilih si A misalnya, tidak hanya terhambat tetapi justru terkubur dalam-dalam.

Dalam demokrasi yang semakin dewasa, orang akan hati-hati dalam berjanji saat kampanye. Bukan karena tipu-tipu itu dilarang dalam politik, tetapi karena ia paham betul kebrutalan pengingkaran akan janji adalah juga satu bentuk kekerasan. Menjadi brutal ketika pengingkaran atau tipu-tipu datangnya bertubi-tubi laksana gempuran si Mike Tyson itu. Menjadi brutal ketika buzzer-buzzer bayaran itu memang betul-betul telah dibutakan oleh uang. Ketika itu terus berulang laksana sebuah ‘senjata’ andalan, sadar atau tidak, proses-proses molekuler soal kekerasan sebenarnya sudah dimulai. Ibarat memasak air, api sudah dinyalakan. Dan ketika kekerasan kemudian menjadi hal biasa dalam demokrasi dan pada suatu saat sampailah pada titik tertentu dimana ‘kuantitas berubah menjadi kualitas’, sebenarnya tinggal tunggu waktu saja ‘wajah primordial’ dari kekerasan itu akhirnya akan muncul juga. Tipu-tipu, pengingkaran janji, klam-klaim, gaya ini, gaya itu, foto sini, foto sana, masuk got, keluar got, itu semua ibarat garamnya politik, tetapi bagaimana jika garam ditambahkan secara ugal-ugalan dalam masakan?

Maka bayangkan jika yang pegang senjata itu, dalam bermacam rutenya akhirnya masuk ke dalam arena ‘permainan’. Dengan segala pembenaran dan akrobat logikanya. Termasuk juga jumpalitan para pembenar-pembenarnya. Karena sudah sampai pada titik ketika air berubah menjadi uap air. Dan sejarah menunjukkan, ‘katalis’ utamanya adalah ketika ke-tidak-berpikir-an itu telah menjadi ‘masif-sistematis-terstruktur’. Pepatah bilang, siapa menebar angin akan menuai badai. Maka menjadi pemimpin, selain tugas utamanya adalah memimpin, ia sungguh harus paham angin apa yang ia tebar. Karena jika ia tidak paham akan batas-batasnya, angin itupun akan menjadi badai. “But men always commit the error of not knowing where to limit their hope ...,” demikian Machiavelli pernah mengingatkan dalam The Discourses. *** (09-12-2020)

Memimpin