www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

16-12-2020

Banyak tantangan di bagian akhir abad 19 dan bagian awal abad 20 yang harus dihadapi oleh seorang Paus -pemimpin Gereja Katolik, saat itu. Paus berkedudukan di Vatikan dimana gejolak ada di depan mata. Ketika Revolusi Industri juga berdampak pada masalah-masalah sosial, gereja mulai banyak ditinggalkan karena dirasa tidak terlalu signifikan dalam antisipasi bermacam ‘kegelapan sosial’ yang merebak. Meski bisa dikatakan terlambat, Paus Leo XIII akhirnya mengeluarkan ensiklik Rerum Novarum yang banyak bicara soal kelas pekerja itu, di penghujung abad 19. Dan kemudian beberapa ensiklik ‘peringatan’-nya dilanjutkan oleh paus-paus sesudahnya.

Ketika Revolusi Bolshevik merebak dan agama kemudian ditempatkan sebagai yang harus dikendalikan, bahkan ditekan, gereja-pun dihadapkan pada situasi baru. Terlebih ketika fasisme baik di Jerman dan Itali kemudian juga berkembang. Bagaimana harus bersikap? Minus malum-kah? Kegagapan yang nyata ketika awal-awal holocaust itu mulai merebak berdasarkan bermacam dokumen yang ditemukan di kemudian hari. Meski di tahun-tahun akhir Perang Dunia II sikap Gereja Katolik terhadap holocaust itu semakin jelas penolakannya, kontroversi tetaplah menjadi catatan tersendiri.

Fasisme dalam praktek tidak jauh dari sebuah monarki, dimana ‘kemuliaan sang raja’ digantikan dengan ‘kemuliaan komunitas’, dengan kaum bangsawannya digantikan oleh para kapitalis-kapitalis besar. Fasisme dimata kepentingan profit-making dari sang kapitalis adalah ‘jalan gampang’ untuk menjinakkan di-demos yang merasa dengan jalan demokrasi ia bisa memperbaiki nasibnya. Hal yang dengan jelas ditunjukkan oleh Harold J. Laski dalam The State in Theory and Practice (1935). Layaknya monarki Abad Pertengahan dimana kaum klerik memegang peran penting dalam bangunan ke-monarki-an, fasisme-pun bisa-bisa juga akan menggoda kaum klerus juga. Maka sejarah menjadi penting di sini, bukan untuk sekedar dihapalkan tetapi lebih dari itu, supaya kegelapan tidaklah berulang.

Dalam merebaknya era digital ini ada satu radikalisme yang semakin mendapat perhatian di banyak komunitas, dan sayangnya itu tidak jauh dari apa yang terjadi di bagian awal abad 20 lalu: radikalisme berbasis komunitas, salah satunya yang mulai mendapat perhatian lebih dalam hal ini: ‘supremasi kulit putih’. Fenomena pernak-pernik di sekitar Donald Trump sedikit banyak memberikan gambaran mengapa radikalisme ini perlu juga diperhatikan. Suka atau tidak, sosial media juga menggendong potensi merebaknya ‘indoktrinasi’ ke arah ‘radikalisme baru’ ini. Lihat bagaimana keterbelahan itu bisa-bisa terjadi karena fasilitasi bombardiran melalui sosial-media. Meski di satu sisi sosial media-pun juga mestinya bisa berbuat banyak dalam melawan proses-proses ‘indoktrinasi’ yang penuh dengan ke-'mbèlgèdès’-an itu. Masalahnya seperti ditunjukkan oleh Manuel Castells, di era seperti sekarang ini identitas bisa-bisa menjadi sumber utama orang dalam menghayati situasi. Dalam menemukan makna dalam perjalanan hidupnya. Masalah bisa lebih berkembang mengingat apa yang ditulis oleh Amy Chua: “Human are tribal. We need belong to groups .... [B]ut the tribal instinct is not just an instincts to belong. It is also an instinct to exclude.”[1] Apalagi 100 tahun lalu ketika fasisme mulai merangkak, populasi dunia baru 2 milyar. Sekarang, hampir 8 milyar. Ditambah dengan situasi ‘kedaruratan iklim’ itu!

Di bagian akhir dari bukunya Political Tribes, Amy Chua menyitir pendapat Gordon W. Allport dari buku karangannya di tahun 1954, The Nature of Prejudice yang menekankan pentingnya kontak face-to-face antara bermacam anggota dari kelompok-kelompok berbeda untuk mengurangi bermacam prasangka. Padahal kita sering melihat, bahkan ketika makan bersama-pun masing-masing bisa asik sendiri dengan smart-phonenya. Apa yang mau dikatakan di sini adalah, meski tidak mudah ‘mendefinisikan’ apa itu fasisme tetapi bermacam pra-kondisi untuk tumbuh-kembangnya praktek fasisme lagi, sayangnya, ada.

Bagi Aristoteles, persahabatan bisa melalui beberapa rute. ‘Argumen pihak ketiga’ yang diajukan Platon adalah salah satu rute. Meminjam pembicaraan soal persahabatan ini kitapun kemudian bisa membayangkan, apa yang kemudian dimaksud dengan ‘kesatuan harga mati’ itu? Entah apapun entitas lain yang akan dilekatkan. Jika sampai ada satu entitas ‘dihargai mati’ maka itu memang mengkonfirmasi bahwa bagi sementara pihak, kematian bukanlah sebuah tragedi terbesar. Tragedi terbesar bagi mereka adalah ketika hidup serasa tanpa tujuan apapun. Maka pada titik inilah, bahkan ada atau tidak soal ‘harga mati’, ‘argumen pihak ketiga’ dalam ‘kesatuan’ menjadi penting. Dan bagi republik, itu ada di keseluruhan Pembukaan UUD 1945. Dan karena jarak antara Pembukaan itu ditulis di tahun 1945 dan sekarang, atau nanti saat kita baca, tidak mudahlah menghayatinya jika tanpa sungguh-sungguh ada keinginan untuk ber-ro-din-da, romantika, dinamika, dialektika –kata si Bung. *** (16-12-2020)

 

[1] Amy Chua, Political Tribes, Group Instinct and the Fate of Nations, Penguin Books, 2019, hlm. 1

Fasisme Yang Menggoda