www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

22-12-2020

Anehkah ketika sebagian orang menempatkan Pablo Escobar tidak hanya sebagai orang baik, tetapi bahkan sebagai orang suci? Santo Pablo Escobar! Pablo Escobar adalah gembong narkoba asal Kolombia yang menjadi sangat kaya karena mengguyur AS dengan bermacam produk berbasis daun koka. Di tempat asalnya ia bagi sebagian orang bak pahlawan, bahkan orang suci seperti disebut di atas. Terutama bagi yang ‘dihidupi’-nya. Atau menjadi survive dalam bayang-bayang perlindungan Pablo Escobar. Tidak hanya Pablo Escobar, bahkan manusia juga bisa menciptakan yang suci bak dewa-dewi, dan diyakini ia misalnya, akan melindungi panen dari serangan wabah atau cuaca yang tidak bersahabat. Bahkan dibuat patungnya lagi. Maka pendapat Feuerbach tentang manusia si-pencipta agama dan Tuhan-pun sebaiknya jangan langsung dibuang di tempat sampah. Asal saja jika Feuerbach dan pengagumnya itu tidak terus mengeluarkan pistol memaksa supaya orang lain harus percaya padanya, maka suka-suka Feuerbach-lah. Gitu saja kok repot, mungkin demikian Gus Dur akan berkilah.

Dari Feuerbach itu Marx kemudian lebih yakin bahwa bagaimana orang itu hidup, atau bagaimana hidup yang ditopang dengan relasi-relasi produksi itu akan membangun pula ‘bangunan atas’-nya. Relasi-relasi produksi yang kemudian lebih terhayati sebagai jalan bagaimana kesejahteraan dicapai melalui modus creative destruction itu akan terusik misalnya, ketika Donald Trump ngèyèl seakan tidak mau diganti meski tanda-tanda kekalahan sudah jelas. Bagaimana jika jalan menuju kesejahteraan itu bagi sebagian pihak lekat dengan pemburuan-rente, dan juga maunya ngunthet permanen? Maka jangan kaget jika si Jé misalnya meski bagi sementara pihak adalah simbol segala kemediokeran, tetapi bagi pihak lain seakan layak diangkat sebagai santo! Santo Jé! Yang ‘suci’ dan perlu selalu dilantunkan segala puja-pujinya. Persis Pablo Escobar bagi AS adalah si-setan-merah, tetapi bagi sementara pihak lain, Santo Pablo Escobar!

Atau lihat cuitan dari Sudjiwo Tedjo sekitar dua tahun lalu: “Jika aku mati2an mendukung seseorang jadi pemimpin padahal aku tahu bahwa dia gak mampu jadi pemimpin, maka patut kau duga bahwa aku akan mengeruk keuntungan besar2an dari kepemimpinan dia.” Salahkah itu? Tidaklah. Anehkah itu? Tidaklah. Bukan soal salah-tidak salah, atau aneh-tidak aneh, tetapi paling tidak kita bisa meraba apa sejatinya ketika seseorang bahkan secara terbuka penuh semangat teriak 3 periode misalnya, sementara soal pemberantasan korupsi jelas mémblé besar. Soal mafia ini mafia itu, tetap saja bertahan, bahkan semakin membiak. Soal kong-ka-li-kong, soal pat-gu-li-pat, soal pemburuan-rente seakan justru menjadi permanen. Apalagi ngunthet-annya itu. Mau ditutupi, disamarkan dengan teriak ‘pro rakyat’? Entut-lah. ‘Pro wong cilik’? Entut-lah. Marhaeeeeen Jayaaaaa? Entuuuut-lah.

Sungguh kasihan Kang Marhaen, bukannya ia tak tahu soal itu, tetapi ketika feodalisme selalu ‘terjaga dan dipelihara’, angan-pun akan menjadi lebih mudah terdorong pada imajinasi ‘satrio-piningit’. Sayangnya, ‘satrio piningit’ yang ini selalu membaca Machiavelli berulang-ulang, terutama bagian: “Anda harus menjadi pembohong dan hipokrit besar. Manusia berpikiran begitu sederhana, dan begitu dikuasai oleh kebutuhan mendesaknya, sehingga orang dengan penuh tipu daya akan selalu menemukan banyak orang yang siap untuk ditipu.” Sudah jatuh (dikuasai oleh kebutuhan mendesaknya), tertimpa tangga pula (ditipu terus). Mengharukan, kata jenderalnya sekretaris itu.

Bagi Alvin Toffler dalam Power Shift –satu dekade sebelum internet merebak, revolusi informasi akan mendorong demokrasi pada satu bentuk ‘mozaic democracy’. Banyak puzzle yang harus disambung-sambung. Atau diajak bicara. Puzzle-puzzle dimana terbentuk dari bermacam ‘komunitas’ (dengan fasilitasi revolusi informasi) yang masing-masing mempunyai daya tawar tersendiri. Tidak jauh dari gambaran Negri dan Hardt soal multitude, sekitar sepuluh tahun kemudian setelah Power Shift-nya Toffler tersebut. Di republik bisa dibayangkan paling tidak ada tiga ‘mozaik’ besar, satu lebih nyaman pada ranah creative destruction dimana meritokrasi menjadi pintu masuknya, mosaik lainnya lebih senang pada kong-ka-li-kong, pat-gu-li-pat, memburu rente, ngunthet permanen, dan mosaik ketiga –dan sayangnya masih banyak juga, ‘nyaman’ di ranah feodal. Tentu yang dibayangkan Toffler soal mozaic democracy bukanlah seperti itu ke-mosaik-annya. Tetapi lain ladang lain belalang. Dan sayangnya, ladang republik sedang terlalu kuat belalangnya. Belalang para pemburu rente itu. *** (22-12-2020)

Anehkah Itu?