www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

07-01-2021

Menurut Ortega y Gasset, opini publik adalah gravitasinya dinamika politik. Maka tidak mengherankan berkembang pula bermacam teknik dalam mengolah opini publik itu. Paling tidak di awal abad 20 kita bisa melihat bagaimana Committe on Public Information (1917-1919) berhasil mengubah rakyat AS yang apatis terhadap Perang Dunia I saat itu kemudian menjadi tergila-gila untuk terlibat perang, dalam waktu 26 bulan. Tentu dalam bermacam tingkatannya hal tersebut sudah berlangsung juga jauh sebelumnya.

Dalam sebuah penelitian tentang ingatan, beberapa diteliti dengan melihat hasil rekaman dalam sebuah antrian di bandara. Kemudian ada yang mencuri salah satu koper dari penumpang lain. Rekaman itu kemudian diperlihatkan, dan peserta penelitian disuruh mengidentifikasi para tersangka yang dijejerkan dengan orang-orang lainnya. Sebagian besar menunjuk salah satu dari lima orang yang dijejerkan itu. Padahal pelaku aslinya tidak ada yang dalam barisan tersangka itu. Mengapa bisa demikian? Penelitian itu ingin menunjukkan adanya ‘ingatan palsu’. Tetapi jika kita lihat lebih jauh, mungkin ada hal lain. Siapa tahu peserta penelitian itu sering melihat serial Law and Order, atau CSI yang dalam scene seperti itu hampir semua tersangkanya ada di barisan. Atau ia percaya dengan ‘maksud baik’ penelitian yang tidak mungkinlah akan mblondroké, menjerumuskan, atau mlekotho dia. Apapun itu, ‘opini’ dia soal siapa yang jadi tersangka akan dipengaruhi juga bermacam endapan memori terdahulu, tidak hanya memori saat ia melihat rekaman saja. Atau katakanlah jika memilih pemimpin dalam demokrasi itu seperti melempar dadu, bagaimana jika ke-enam sisi dadu perlahan tapi pasti diintrodusir hanya muka itu-itu saja? Berapa sisi dadu yang harus dilempar dalam memilih pemimpin di ranah demokrasi jika itu memang seperti melempar dadu? Dua, tiga, enam, tak-terbatas? Itulah mengapa gugatan Rizal Ramli tentang batas garis patok pemilihan 20% itu sangat-sangat layak didukung.

Di sekitar pertengahan abad lalu, Arnold J. Toynbee menulis tentang pertukaran budaya. Seakan sebagai ‘hukum terbalik’, artinya ketika budaya itu bernilai tinggi maka justru akan sulit diserap, tetapi pada yang nilainya rendah akan mudah diserap. Kadang itu secara mudah dapat kita lihat pada sebagian kaum ‘liberalis’. Perilaku liberal yang ècèk-ècèk begitu kencengnya mereka bersuara, misalnya. Tetapi mungkin memang begitu sifat manusia, siapa yang tidak tergoda dengan jalan gampang? Dari Margaret Thatcher kita bisa belajar bagaimana imajinasi dia soal apa yang kita sebut sekarang ini sebagai neoliberalisme, akan dapat berjalan. Atau dalam banyak hal juga, Deng Xiaoping. Dalam bayang-bayang besar bertahun di ranah welfare-state ala pasca Perang Dunia II, Thatcher merasa ada masalah dalam heart and soul dari rakyat Inggris untuk menghadapi ganasnya kompetisi dalam gambar besar neoliberalisme. Entah kita setuju atau tidak dengan neoliberalisme, tetapi dari Thatcher itu, sekali lagi, kita bisa belajar banyak.

Atau sedikit perbedaan antara pabrik rokok dengan cerutu di Kuba. Sama-sama diperdengarkan sesuatu, di Kuba para pelinting cerutu itu kadang dibacakan bermacam berita. Di pabrik rokok di luar Kuba misalnya, penelitiannya adalah adakah jenis musik tertentu yang mampu meningkatkan produksi? Apa yang mau disampaikan di sini adalah, bagaimana sebuah ‘pakta dominasi’ itu jelas akan mempengaruhi banyak segi kehidupan. Thatcher dan Deng Xiaoping sangat paham akan hal itu. Tentu lain ladang lainlah belalangnya. Tetapi jika kita kembali pada pendapat Ortega y Gasset di atas, dari bagaimana opini publik ‘dikelola’ kita bisa membayangkan politik macam apa yang sedang berlangsung, dan sedikit banyak itu juga akan menggambarkan ‘pakta dominasi’ apa yang sedang berlangsung.

Masalahnya apapun itu opininya, ia muncul bukannya tanpa sebab. Tidak ada itu opinion without cause.  Kalau kita memakai gambaran Platon soal Alegori Kereta Perang-nya, opini bisa muncul dari si-sais, si-kuda putih, mupun kuda hitam. Dengan masing-masing bisa beropini dengan penuh semangat didorong oleh sayap di kanan-kirinya. Meski seharusnya opini dari si-sais lebih berbobot, tetapi dari gambaran Platon itu kita bisa melihat bahwa opini yang muncul dari si-kuda hitam-lah sebenarnya yang bisa lebih penuh gejolak, penuh tenaga. Opini dari hasrat akan segala nafsu ‘perut ke bawah’,  terutama nafsu soal uang. Jika kita minta bantuan dari Marx, maka bisa dikatakan disini bahwa baik si-sais maupun si kuda putih itu tempatnya lebih ada di ‘bangunan atas’, sedang si-kuda hitam ada di ‘bangunan bawah’. Tentu kita tidak harus mengikuti sebagian pengikut Marx yang katakanlah kemudian over-determination dengan berpendapat bahwa ‘bangunan bawah’-lah penentu segalanya. Tidak-lah. Tetapi kita bisa sepakat bahwa tanpa memahami gejolak di ‘bangunan bawah’ maka ‘pakta dominasi’ tidak juga bisa dihayati dengan benar. Termasuk juga opini-opini yang berkembang, atau dikembangkan. Atau juga ‘alternative facts’-nya.

Maka langkah ‘back to the things themselves’ dalam politik adalah langkah yang tidak boleh dilupakan. Sesuatu yang ada dalam gejolak ‘bangunan bawah’ dengan menunda dulu bermacam opini yang seliweran atau yang sudah ngendon di otak kita. *** (07-01-2021)

Kandang Opini