www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

20-01-2021

Apakah melihat orang lain ‘lebih itu’ misalnya, harus dengan modus iri? Bagaimana dengan lebih menderita? Atau lebih kaya? Atau kemudian sebaiknya ber-sama-rata-sama-rasa-ria saja? Mungkin akan lebih mudah mendekati soal ‘yang lebih’ ini dalam paradigma proses, dari pada berkutat soal hasil akhirnya. Bagi penggemar sepakbola, hasil akhir sebagai juara liga mestinya akan menjadi perhatian utamanya. Tetapi sebelum sampai ke ujung, bukankah selama satu musim itu sudah penuh dengan panas-dingin? Mulai dari ketika pasar transfer di awal musim, dan juga di pertengahan musim. Dari pertandingan-ke-pertandingan, naik-turunnya di papan klasemen. Debat soal VAR yang kadang menguntungkan, kadang merugikan tim kesayangan. Atau tiba-tiba saja banyak yang menjadi ahli strategi sebelum atau sesudah pertandingan. Ngobrol ngalor-ngidul sambil mengisi waktu. Dan banyak lagi.

Tetapi kalau ngobrol-ngalor-ngidul itu dari waktu ke waktu ternyata bisa dicek kebenarannya, bisa dicek informasinya juga benar, maka bisa-bisa ia akan dihayati sebagai profesional. Profesi memang tidak jauh dari ketepatan dalam keberulangannya. Dalam perkembangannya memang kemudian ada ‘peer group’nya. Kelompok se-profesi yang kemudian salah satunya untuk menjamin bahwa keberulangan itu tidak hanya ‘tepat’ tetapi juga berkembang sesuai dengan perkembangan jaman. Ketepatan dalam keberulangan itu tidak lepas dari ‘janji awal’ yang dilempar bagi ‘pengguna’ profesi tersebut. Ketika seorang masuk dalam ruang praktek dokter, ‘janji’ untuk ‘disembuhkan’ sudah membayang sejak di ruang tunggu, misalnya. Tentu masing-masing profesi akan mempunyai ‘standar’ tertentu dalam bermacam bentuknya untuk membedakan dengan ‘yang di luar profesi’.

Hidup bersama kemudian akan melahirkan bermacam profesi, entah itu yang ‘bersertifikat’ maupun yang tidak. Yang tidak bisa dihindari, kedua-duanya tetaplah menempatkan ‘prakondisi sosial’ sebagai hal pertama. Karena tidak hanya si-profesional membutuhkan pengakuan sosial atas keunikannya, tetapi hidup bersama juga semakin membutuhkan adanya bermacam profesi. Dasar dari ‘saling membutuhkan’ itu adalah soal kepercayaan, trust, yang juga merupakan hal utama dari apa yang disebut sebagai modal sosial itu. Percaya bahwa ‘janji awal’ mesin mobil atau sepeda motor yang diservis akan kembali mak-nyus begitu keluar dari bengkel, misalnya. Dan itu ternyata memang terpenuhi, sebagian besarnya.

Maka membangun profesionalisme dalam banyak bidang sebenarnya merupakan bagian penting dari membangun hidup bersama itu sendiri, atau katakanlah bagian dari nation building. Sekaligus juga akan memperbesar modal sosial karena ranah ‘permainannya’ adalah lebih soal kepercayaan. Tidak mengherankan jika Sartono Kartodirjo kemudian memaknai juga soal nasionalisme dikaitkan dengan prestasi, lebih dari 20 tahun lalu. Prestasi yang akan lebih dicapai melalui penghayatan akan sikap-sikap profesional. Tetapi bagaimanapun, profesi sendiri tidak akan lepas dengan soal nature dan nurture. Adalah fakta seorang dilahirkan dengan keunikan sendiri-sendiri, dengan kemampuan yang berbeda-beda, dengan bakat-potensi masing-masing. Maka sangat pentinglah dalam pendidikan dasar kita tidak bicara lagi soal kompetensi. Soal potensilah yang paling mendasar di pendidikan dasar, sampai dengan usia setingkat SMP. Kita yang di usia dewasa saja ketika bicara kompetensi hanya dalam satu-dua bidang, sedang anak-anak kita disuruh kompeten di semua mata pelajaran!

Salah satu yang membuat pendidikan di Jerman maju kelihatannya adalah diterima dulu fakta bahwa hanya 30% komunitas yang akan mempunyai potensi melanjutkan pendidikan model universitas. Maka tidak mengherankan pendidikan politeknik kemudian dikembangkan dengan sungguh serius di sana. Karena katakanlah, itu harus dipertanggung-jawabkan terhadap 70% komunitas. Untuk supaya bisa mencapai sukses dengan ‘nature’ yang berbeda-beda maka nurture-pun harus diperhatikan dengan kualitas-proses yang sama. Jika mengambil pendapat Adam Smith soal the wealth of nations sebagai ‘hasil samping’ dari sejahteranya individu-individu, maka katakanlah Jerman secara sadar melalui pendidikannya melepas individu-individu dalam pasar dengan tidak hanya membawa ‘cek-kosong’. Tetapi dengan keahlian dalam bermacam bentuk-tingkatannya melalui proses-proses tanpa melupakan hal nature serta nurture.

Tentu pada akhirnya kita akan bicara juga soal out-put. Katakanlah bagi petani yang sudah puluhan tahun bertani dan rajin ikut penyuluhan-penyuluhan, sering masih membutuhkan insentif dalam hal ini harga tertentu produk pertaniannya ketika masuk dalam pasar, misalnya. Bagaimana Jepang membangun pertaniannya terutama soal perberasannya kita dapat belajar. Pasar semestinyalah merupakan bagian dari hidup bersama. Dan bukan sebaliknya. *** (20-01-2020)

Yang Lebih