www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

25-01-2021

We must make the best of these things that are in our power, and take the rest as nature gives it,” demikian kata Epictetus dalam Discourses seperti dikutip Massimo Pigliucci dalam How To Be A Stoic (2017, hlm. 29). Joe Biden mengangkat salah satu tema kampanye adalah soal the soul of nation. Jika memakai kacamata Stoa, kampanye Trump soal make America great again itu adalah hal yang tidak tergantung dari kita, atau dalam hal ini adalah warga Amerika sono. Yang tergantung kita adalah jiwa kita –tidak jauh dari yang dibidik Biden dalam kampanyenya. Maka tidak mengherankan pula jika pernyataan Biden setelah dilantik jadi presiden soal penanganan wabah adalah based on science. Dalam Stoa meski filsafat adalah lebih soal praktek, tetaplah rasio berperan sentral. Ditambah lagi dengan tekad ikut lagi dalam Perjanjian Paris di saat-saat pertamanya menjabat jadi presiden, Biden semakin lekat dengan Stoa. Memang tidak mestilah bicara soal jiwa, soal science, atau soal lingkungan terus itu kemudian dilekatkan pada filsafat Stoa, tetapi jika kita lihat bagaimana sosok perjalanan Biden, nampaknya tidaklah meleset amat.

Apa yang nampak sebagai pertama-tama diberitakan di televisi adalah ketika Biden menandatangani beberapa keputusan. Keputusan-keputusan dimana ia membalikkan beberapa kebijakan Trump. Mengapa bukan misalnya Biden ikut rasia masker misalnya, atau ikut membungkus makanan bagi si-miskin terdampak wabah, atau ikut memikul kayu bagi si-miskin untuk perapian di rumah, atau mencarikan pekerjaan bagi gelandangan yang ia sendiri ikut merasianya? Dimana contoh-contoh itu sangat seksi di depan kamera? Mungkin karena ia paham power apa yang ada di tangannya ketika ia menjabat sebagai presiden, dan itu pertama-tama adalah membuat kebijakan. Tentu soal eksekusi semestinyalah itu tidak usah diingatkan, buat apa berkeringat membuat kebijakan tetapi hanya berhenti di atas kertas?

Maka memang rasio pertama-tama adalah untuk melihat diri dulu sebagai bagian pula dalam membangun pengendalian diri, termasuk di sini adalah juga untuk menelisik power apa yang melekat pada diri sekarang ini. Tentu ini tidak mudah karena bermacam pengaruh dalam bermacam bentuknya akan ikut terlibat dalam penilaian. Untuk itu tidak ada jalan lain selain latihan, latihan, dan latihan. Bagaimana jika pengaruh paradigma ‘alamiahnya-pasar’ begitu merasuki dataran pemikiran? Bisa-bisa saja ia kemudian berpendapat bahwa power yang ada di tangan, misal sebagai seorang menteri, hanya sebatas melakukan rasia di jalanan, ikut membungkuskan nasi bagi pengungsi, atau ikut memikul kayu. Lupa bahwa itu sebenarnya batas power bagi yang sedang dalam posisi tertentu. Apakah jika itu dilakukan adalah sebuah masalah? Tentu tidak, silahkan saja, hanya saja jika ia terus melupakan apa yang masih ada dalam powernya dengan tidak melakukan praktek terbaiknya, itulah masalah besarnya. Misal, untuk memberikan perintah verifikasi data pihak-pihak yang memang perlu dibantu, misalnya. Atau bermacam lagi.

Tetapi ia sudah terlanjur ‘terkurung’ atau ‘dikurung’ dalam paradigma ‘alamiahnya pasar’, dan untuk itu konsekuensinya adalah ia berada dalam praktek ‘ultra-minimalnya negara’. Maka power-pun kemudian menjadi mungkret habis-habisan. Karena rasio memang pada dasarnya sudah cupet dibanding dengan lebar-luasnya masalah, maka iapun kemudian ho’oh saja tanpa banyak pertanyaan. Yang terjadi, terjadilah. Tanpa beban. Karena di luar power yang sudah dipreteli itu, kemudian adalah take the rest as nature gives it. Dan itu adalah, pasar yang diyakini sebagai self-regulating market. Yang energi utamanya adalah kepentingan diri, self-interest.

Bagaimana dengan national-interest? Akankah kita setuju dengan Adam Smith bahwa the wealth of nations itu ‘hanyalah’ sesuatu yang tidak dituju pada mulanya, sebagai ‘efek samping’ dari sejahteranya individu-individu? Individu-individu yang menjadi sejahtera karena diberi kebebasan dalam mengejar kepentingan dirinya? Bagaimana dengan meraksasanya kesejahteraan sebagian individu yang kemudian bermetamorfosis menjadi power dan tidak kalah kuatnya dengan kekuatan nasional? Atau bahkan kemudian mengkooptasi kekuatan nasional itu? Termasuk tentu, national interest-nya juga. Thomas Hobbes yang hidup sebelum Adam Smith lahir sudah menandaskan bahwa ‘manusia apa adanya’ itu akan selalu berhasrat akan kekuasaan, salah satunya adalah untuk memastikan segala kenikmatan yang sudah diperoleh tetaplah bisa selalu dinikmati.

Itulah angan dari manusia-manusia di belakang big business menjelang 1970-an, dan sekarang kita kenal sebagai neoliberalisme itu. Dan itupun tidaklah tiba-tiba muncul, tetapi seakan menunggu momentumnya sejak menjelang tahun 1950-an. Big business yang merasa bahwa karena paradigma welfare state a la pasca Perang Dunia II itu ia perlahan mengalami stagnasi. Katanya salah satunya, karena ‘beban sosial’-nya. Angan sebuah rejim yang merasa kompatibel dengan model negara yang ‘ultra-minimal’ itu. Sebuah model ‘politik pintu terbuka’ yang bahkan kalau bisa tidak hanya pintu dan jendelanya dipreteli habis-habisan, tetapi juga dindingnya dihancurkan laksana nasib Tembok Berlin itu. Bahkan seorang ‘penjaga rumah’ plonga-plongo bisa-bisa adalah ‘idaman’. Karena cupet-nya rasio ia tidak akan nganèh-anèhi dengan banyak pertanyaan lagi. Puncaknya itu semua diformulasikan pada Washington Consensus (1989) –hampir 10 tahun sebelum ‘agenda’ politik pintu terbuka ke-3 di republik dilaksanakan. Asumsi-asumsi di balik Washington Consensus itulah yang ‘rasional’, di luar itu ‘tidaklah rasional’ –demikian mereka meyakininya. Maka 10 tahun kemudian Milton Friedman di tahun 2000 mengatakan bahwa itulah golden straitjacket yang harus dipakai, suka atau tidak. Sebuah pergeseran dengan jangka waktu katakanlah sekitar 20 tahun, dengan ‘percepatan’-nya di 10 tahun terakhir jika dihitung sejak 1970-an. Kitapun bisa melihat bagaimana dinamika gejolak di 30 tahun terakhir abad 20 itu.

Bagi pengikut-pengikut Adam Smith mestinyalah juga memperhatikan kegelisahan Adam Smith waktu itu, yang mana itu nampak dari masuknya bermacam pemikiran Stoa. Ketika ada pergeseran dari teosentris a la Abad Pertengahan ke antroposentris di Eropa sana maka ada ‘kekosongan’ dari ‘pegangan moral’, untuk itulah kemudian gerakan renaisans bisa kita hayati juga membayangi pergeseran itu. Termasuk juga dalam hal ini perhatian lagi pada filsafat-filsafat Stoa. Neoliberalisme sangat mungkin jatuh pada jalan dengan meminggirkan kegelisahan dari Adam Smith itu. Karena sudah membaptis kepentingan diri sebagai satu-satunya rasionalitas tindakan. Keyakinan itu sudah dikritik dengan jeli oleh Amartya Sen dengan membuktikan bahwa komitmen-pun bisa sama-sama rasionalnya. Dan kita bisa melihat, komitmen adalah juga benteng utama dalam hidup bersama. Latihan-latihan dari kaum Stoa pada dasarnya berurusan dengan komitmen ini. Komitmen dalam ‘olah hasrat’, ‘olah etik-tindakan’, dan ‘olah logika’, yang itu semua bisa berujung pada berkembangnya ‘cardinal virtues’: courage, temperance, justice, dan (practical) wisdom. Bagi Adam Smith, sebagian besar khalayak dalam hidupnya cukuplah dengan moralitas ‘yang sepantasnya’ saja. Dimana itu bisa digunakan untuk memperjuangkan hidupnya, mengejar kepentingan-kepentingan dirinya. Tetapi dalam The Theory of Moral Sentiments Adam Smith menyinggung soal famous sect. Mengapa itu muncul? Atau kita bisa bertanya, mengapa bagi komunitas-komunitas yang berhasil dengan jalan kapitalisme itu kadang pemimpin-pemimpinnya melakukan ‘hal-hal konyol’, seperti mengundurkan diri karena salah ucap damana ucapannya itu telah menyakiti banyak orang, misalnya?

Atau misalnya di satu komunitas, justru seakan ‘dibiasakan’ pemimpin bidang A misalnya, justru asal njeplak soal B dan C? Atau diberi tugas tidak sesuai dengan tanggung jawabnya? Mengapa begitu demen-nya mengaburkan dan bahkan mengubur soal komitmen ini?[*] *** (25-01-2020)

 

[*] Dengan segala hormat, mohon maaf pada ‘Mo Setyo Wibowo SJ. Seluruh tulisan adalah tanggung jawab penulis.

Stoik KW