www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

11-02-2021

Bahkan artificial inteligence-pun berangkat dari pola. Dan itulah pula yang sebenarnya akan membedakan dengan manusia. Manusia pastilah akan mengambil manfaat besar dari bermacam pola –ilmu titèn (Jw.) misalnya, tetapi sekaligus ia juga punya kemampuan ‘menunda’ dulu bermacam pola yang sudah ‘paten’ sebelumnya. Bahkan ia kemudian bisa meniti bermacam patahan-patahan di luar pola, baik yang potensial maupun aktual. Tetapi meski begitu memang sebagian besar hidupnya akan menapak bermacam pola yang sudah paten, teruji-hasil, paling tidak sejauh ia menghayatinya dalam keseharian. Keseharian yang membangun ‘dunia’-nya dimana ia menempatkan hidup di dalamnya. ‘Dunia’ tempat ia berakar.

Bahkan artificial inteligence-pun bisa membuat puisi ‘rasa Rendra’. Masukkan puisi-puisi Rendra, dan AI-pun akan membaca ‘pola bahasa pola gaya’ puisi-puisi Rendra, dan berdasarkan itu ketika diberikan satu-dua input penggalan kata, ia sudah mampu membuat puisi ‘rasa Rendra’. Khayalan? Tidaklah, sudah ada program-algoritma AI di bidang seni. Bahkan juga seni lukis. Juga seni musik yang sudah dicoba ‘meneruskan’ karya Mozart yang belum selesai. Itulah juga mungkin dasar dari skandal Cambridge Analytica beberapa tahun lalu, yang menyedot perhatian pasca pilpres AS 2016 –saat itu dimenangkan Donald Trump. Cambridge Analytica -disewa tim sukses Trump itu, ternyata setahun sebelum pilpres 2016 sudah mulai ‘menggangsir’ data-data pribadi pengguna facebook di AS sono. Jumlahnya antara 50-80 juta data pemakai berhasil digangsirnya. Dari data-data itu dibuatlah profil psikologis masing-masing, dan kemudian pesan-pesan politik dikirim sesuai dengan profil psikologisnya. Dan pastilah itu sebuah bombardir, bukan cuma sekali-dua kali saja.

Dan keterbelahan-pun seakan tidak bisa dicegah lagi. Jalan politik dalam perebutan kekuasaan itu pada dasarnya memang menyimpan potensi keterbelahan. Paling tidak jika kita mengikuti pemikiran Carl Schmitt soal ‘yang politikal’ itu. Menurut Schmitt, politik menjadi mungkin ada karena adanya ‘yang politikal’, yaitu pembedaan antara lawan dan kawan. Partai politik dalam hidup bersama sebenarnya adalah juga untuk ‘mengkandangi’ rasa lawan-kawan ini sehingga tidak ‘mblèbèr, meluap’ kemana-mana sehingga menjadi begitu merusak tertib-tatanan. Juga supaya ‘pertanggung-jawaban’ publiknya lebih mudah dikelola. Hidup bersama kemudian bisa lebih mudah membayangkan bermacam ranah, dengan masing-masing kemudian bisa melangkahkan kaki masuk dalam bermacam ‘teater kehidupan’ itu dengan mantapnya. Ketika melangkahkan kaki di ‘teater rumah sakit’ misalnya, bayangan-imajinasi adalah profesionalitas tenaga medis, para medis, administrasi, kebersihan, dan lainnya, dan bukan ‘rasa lawan-kawan’ sepertihalnya di ranah politik. Tentu di setiap ranah ada ‘pertarungan’-nya sendiri, tetapi jelas pula (semestinya) ‘permainannya’ akan sangat berbeda.

Impeachment Donald Trump kedua-kalinya adalah buah dari ugal-ugalannya keterbelahan. Sedikit banyak kita bisa menunjuk pula bahwa ini –pada awalnya, adalah akibat polah-tingkahnya si-Cambridge Analytica itu. Dan adalah kewajiban pula bagi Biden, atau tokoh-tokoh Partai Republik lainnya untuk menyerukan persatuan bagi warga AS sono pasca pilpres yang ‘berdarah-darah’ itu. Tetapi jelas juga, antara Partai Demokrat dan Partai Republik sebagai dua partai dominan tidak akan pernah bersatu, atau berkoalisi, atau apalah namanya. Rakyat diminta bersatu pasca gelaran politik dalam pemilihan, tetapi ‘rasa lawan-kawan’ tetap akan diteruskan oleh partai-partai politik.

Sebuah perang tentu akan melibatkan hard-power dan soft-power, dan jika diamati keduanya sangat terlibat dalam pengembangan kecepatan dan luasnya dampak. Tentu juga masalah presisitasnya, termasuk juga –dan terutama malah, jika bersifat stealth. Lihat bagaimana senjata-senjata perang itu berkembang dari waktu ke waktu. Demikian juga soal ‘otak-atik-pikiran’ sebagai bagian dari ranah soft-power. Bagaimana dominannya oralitas dan manuskrip pada jamannya ikut membentuk ‘tertib tatanan’ hidup bersama. Dan bagaimana proses keretakannya ketika mesin cetak massal ditemukan. Juga ketika telegram, telepon, radio, pengeras suara, film, dan televisi ikut mengguncang abad 20 dengan dua perang dunianya, dengan holocaust-nya, dengan dua bom atom-nya. Yang digambarkan George Orwell sekitar pertengahan abad lalu bahwa realitas itu ada di pikiran, dan dengan itu pula penemuan-penemuan media komunikasi itu kemudian memberikan daya ungkitnya untuk suatu upaya menggarap habis-habisan ‘realitas’ yang ada dalam pikiran itu. Euforia kuasa yang sudah dekat dengan kegilaan. Sayangnya, pola tersebut melanjut ketika media-sosial juga dikembangkan di awal-awal abad 21 ini.

Tentu manusia adalah binatang pembelajar yang mak-nyus, sebenarnya. Dia jelas juga tidak hanya mempunyai sisi gelapnya saja. Meski sisi kegelapan hasrat seakan menemukan ‘mainan baru’ –dengan daya ungkit baru pula, dalam perkembangan teknologi komunikasi tidaklah kemudian mengubur potensi lain yang digendong oleh perkembangan teknologi komunikasi tersebut. Tetapi dalam konteks tulisan ini, sisi gelap itu bisa-bisa akan terus dominan jika partai-partai politik gagal mengambil fungsi yang semestinya dalam hidup bersama. Rasa ‘lawan-kawan’ itu bisa-bisa kemudian ndlèwèr, melebar kemana-mana dan membuat pengap hidup bersama di bermacam ranahnya. Kemampuan pas-pas-an yang bisanya teriak ‘pro-rakyat’ itu misalnya, sadar-atau-tidak ikut menjerumuskan hidup bersama berkubang dalam kegelapan. Dan kita tentunya tidak mau juga jika pola-pola yang dimulai sekitar 50 tahun lalu itu dan ‘sukses’ selama 30 tahun, mau diulang lagi. Bukan hanya karena ‘suasana jaman’ yang sudah sedemikian berkembang, tetapi juga karena biaya-biaya sosial-nya yang begitu tinggi. Begitu besar pertaruhannya di tengah 8 milyar populasi dunia. Masalahnya adalah, bahkan fasisme sendiripun banyak penggemarnya. Meski dengan alasan, sentimen, atau dorongan yang berbeda atau bahkan tumpang tindih-bonceng-membonceng-bahkan saling ‘berkoalisi’, tetapi rasa-rasanya polanya tidak jauh-jauh amat dari jaman doeloe sekali. Entah itu karena soal God, glory, atau gold. *** (11-02-2021)

Pola