www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

13-02-2021

Salah satu istilah yang muncul dalam sidang impeachment Donald Trump di Senat AS sono adalah inciter-in-chief. Donald Trump saat jadi presiden adalah juga commader-in-chief, tetapi di tengah memanasnya situasi pasca pilpres, ia kemudian menjadi inciter-in-chief, dan itu membahayakan kehidupan demokrasi, demikian salah satu argumen. Tentu apa yang diomongkan oleh Trump sebenarnya juga bertebaran di sana-sini, tetapi mengapa ketika itu keluar dari mulut seorang presiden kemudian menjadi masalah besar? Jika mengikuti alur pikiran di atas, karena yang lainnya itu bukanlah seorang commander-in-chief. Jadi tidak hanya secara sosial dihayati bahwa seorang pemimpin tertinggi itu semestinya bisa di-’gugu’ dan ditiru, tetapi dalam ranah negara, de jure ia juga mempunyai kemampuan menggerakkan bermacam senjata, lengkap dengan personelnya. Tidak main-main.

Mengambil inspirasi dari pembedaan Kant soal perfect duty dan imperfect duty, Amartya Sen mengajukan sebuah peristiwa sebagai bahan perenungan. Ketika seorang pekerja perempuan pulang ke apartemennya pada dini hari sepulang kerja (peristiwa nyata di sekitar tahun 1960-an), tiba-tiba saja ia dirampok persis ketika hampir sampai di apartemennya. Beberapa tetangga sempat melihat keributan itu dari masing-masing jendela apartemennya, apakah para tetangga itu wajib melakukan sesuatu? Lapor polisi, misalnya. Tetapi jika ia lapor polisi, bukankah ia akan juga kerepotan nantinya? Dan seterusnya, maka kembali pada pertanyaan, apakah para saksi kejadian itu wajib melakukan sesuatu? Atau lihat apa yang terjadi pada Yoshiro Mori, pimpinan komite olimpiade Jepang yang mengundurkan diri baru-baru ini, karena komentar yang merendahkan kaum perempuan. “If we increase the number of female board members, we have to make sure their speaking time is restricted somewhat, they have difficulty finishing, which is annoying,” demikian kata Mori di awal Februari lalu. Maka segeralah digelar ‘sidang impeachment’ publik terhadap dirinya, buah dari komentarnya itu. Hasilnya, Mori-pun mengundurkan diri.

Jika kita boleh membayangkan, perfect duty seperti dimaksud oleh Kant di atas akan secara langsung berurusan dengan ‘tertib-tatanan’, sedangkan imperdect duty akan lebih terlibat dalam meningkatkan dinamika-kemajuan kualitas dari ‘tertib-tatanan’ itu. Bagi Kant, imperfect duty mempunyai dua nuansa, pertama terkait dengan duty (akan) self-improvement, dan kedua soal bagaimana menolong yang lain. Tentang perfect duty kita akan lebih mudah membayangkan, jangan bohong misalnya. Beberapa berpendapat bahwa perfect duty lebih prioritas daripada imperfect duty, terlebih jika ada situasi ‘ketegangan’ di antara keduanya. Tetapi coba kita bayangkan saat menikmati sebuah film. Sering keindahan film justru terbangun dari hal-hal ‘kecil’ yang seakan bukan merupakan perhatian utama kita. Misal beberapa gerakan-kecil di wajah akibat satu-dua otot wajah ditegangkan oleh sang aktor. Atau latar-belakang tertentu yang membuat keseluruhan tampilan menjadi tidak hanya ‘masuk akal’ tetapi juga memberikan keindahan tersendiri. Atau lontaran-lontaran kecil dari dialog yang membangun kesegaran. Atau aktor kurang terlatih dalam menahan kedipan mata, terlalu banyak berkedip saat dialog kemudian menjadi gangguan tersendiri.

Lalu bagaimana jika reformasi mau dibuat filmnya? Reformasi yang (dulu) maunya mengikis KKN yang sudah ugal-ugalan bertahun itu? Reformasi yang (dulu) maunya membangun demokrasi dimana ia sudah banyak dilipat-lipat di sana-sini selama bertahun-tahun di bagian akhir abad lalu itu? Bagaimana jika bahasa tubuh si-commander-in-chief justru secara vulgar-tanpa beban ketika menampakkan anak-mantu maju pilkada masuk dalam salah satu scene filmnya, dan sangat jauh dari paradigma meritokrasi itu? Ketika pemilu serentak yang mengakibatkan ratusan nyawa petugas pemilihan meregang nyawa itu ditampakkan dengan entengnya –sekali lagi, tanpa beban, dan tanpa beban juga kemudian sama sekali tidak masuk pertimbangan dalam bangunan demokrasinya? Dan bagaimana scene jungkir-baliknya argumen itu sudah seperti berkubang dalam lumpur saja. Keluar got, masuk got lagi. Juga ketika scene korupsi justru dinampakkan merebak gila-gilaan? Seakan sudah menjadi semacam privilege bagi kaum ‘bangsawan’ di lapaknya masing-masing. Tidak hanya telanjang, tetapi juga kasar dan kejam, khas si-robber baron dalam bentuk primitifnya.

BuzzerRp-buzzerRp itu memang amat-sangat-sungguh-menjengkelkan, tetapi bagaimana ketika sebenarnya ada inciter-in-chief yang terus saja menelusup diam-diam dalam bermacam bentuknya, dan bahkan dengan, sekali lagi: tanpa beban itu? Bermacam ‘hasutan’ demi bangunan ala ‘mono-arki’ yang sedang diidam-idamkan? Maka sebenarnya filmnya bukanlah soal reformasi lagi, tetapi adalah soal Empire. Mungkin itulah kesimpulan jika Antonio Negri dan Michael Hardt memberikan resensinya: Little Empire sebagai kliennya sang patron, Empire. *** (13-02-2021)

Inciter-in-chief