www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

20-02-2021

Saran apa dari kaum Stoa -2000 tahun lalu, jika ada pertanyaan soal seliweran cuitan yang sering ngawur bahkan membuat dongkol-marah itu? Mungkin sarannya sederhana, abaikan! Apa yang akan ditulis orang lain itu tidaklah tergantung pada kita, maka mengapa tidak fokus saja pada apa-apa yang tergantung pada kita sendiri? Apa yang akan kita tulis jelas itu adalah tergantung pada kita sendiri. Tetapi faktanya sangat tidak mudah mengabaikan itu semua, apalagi jika bikin panas, , bikin dongkol, bikin marah. Abaikan? Dibuang? Sekali lagi, sering tidak mudah bahkan ketika apa yang disebut sebagai throw-away society itu masih kuat mencengkeram, meski di sisi lain sekaligus juga kesadaran soal kelestarian lingkungan hidup semakin menguat. Mengapa kita tetap saja sulit membuang, ikut ber-throw-away ria terhadap bermacam ‘sampah’ itu? Mungkinkah sulitnya untuk mengabaikan karena hal-hal itu langsung menusuk jantung identitas? Apapun penampakan identitas itu.

Di jaman serba ringkas-cepat ini, identitas menjadi semakin penting keterlibatannya dalam perjalanan memaknai hidup, demikian menurut Manuel Castells di penghujung abad lalu. Apalagi dari sono-nya memang: “Humans are tribal,” demikian Amy Chua mengawali Political Tribes (2019). Apa yang dikatakan Joe Biden setelah kandasnya impeachment Donald Trump di Senat beberapa waktu lalu kiranya perlu diperhatikan, yaitu soal fragilitas demokrasi. Biden menyampaikan ajakan untuk tiada henti membela demokrasi karena memang dia –demokrasi, rapuh. Identitas -seperti halnya dinamika kuasa dalam ranah demokrasi, memang bisa mendorong sebuah kerapuhan dalam hidup bersama jika kita gagal mengelolanya. Tetapi di satu pihak, jelas itu (dinamika identitas) tidaklah mungkin diingkari, apalagi dihilangkan.

Dalam sejarahnya, berkembangnya negara-bangsa di daratan Eropa sana merupakan bentuk lain dari masa kerajaan-kekaisaran di Abad Pertengahan. Yang Ilahi, dan kemudian juga diyakini memberikan ‘restu’ pada raja-kaisar itu, akan memberikan perlindungan, bahkan juga identitas bersama dalam hidup bersamanya. Sacred canopy itu kemudian mewujud sebagai negara-bangsa, tidak hanya melindungi tetapi juga mulai membangun identitas bersamanya. Mungkinkah dengan perkembangan teknologi komunikasi yang kemudian memprovokasi naiknya intensitas globalisasi membuat negara-bangsa sebagai sacred canopy itu kemudian mengalami keretakan, dan bangunan penghayatan identitas bersama kemudian juga mengalami keretakan? Selain juga memang sebagai dampak naiknya intensitas globalisasi itu sendiri juga menawarkan bermacam bentuk pilihan identitas? Tetapi apapun dinamika identitas itu nampaknya tidak lepas dari rasa aman, sacred canopy itu pertama-tama adalah juga soal rasa aman. Minimal merasa aman dengan berada di tengah-tengah ‘sejenis’-nya.

Humans are tribal. We need to belong to groups. ... But the tribal is not just an instinct to belong. It is also an instinct to exclude,” demikian awal buku Amy Chua Political Tribes (2019). Demokrasi secara prosedural adalah sebuah upaya mengelola ‘insting-hasrat berkuasa’, will to power, sehingga ‘insting berkuasa’ ini tidak kemudian menjadi meretakkan hidup bersama, will to survive. Demokrasi menjadi rapuh karena will to power ini sangat bisa mengalahkan will to survive. Demikian juga adanya bermacam identitas dalam hidup bersama, dimana hidup bersama akan menjadi rapuh jika instinct to exclude itu justru semakin membesar. Inilah mengapa politik identitas sebaiknya dihindari, terlalu banyak yang dipertaruhkan.

Tetapi masalahnya bukan lagi soal kutuk-mengutuk terkait dengan politik identitas ini. Apapun itu, dalam situasi apapun, potensi politik identitas tidak akan pernah hilang –meski sebaiknya memang dihindari tetapi bukannya terus dilarang. Masalah utamanya adalah rasa aman, dan jika ditelisik lebih lanjut itu sangat terkait dengan soal rasa aman yang itu diperlukan pertama-tama untuk mempertahankan hidup, untuk mengembangkan hidup. Bahkan juga untuk menikmati hidup. Dan merawat sacred canopy-pun akan sangat terkait dengan soal mempertahankan hidup ini, sebenarnya. Maka ajakan Marx untuk menaruh perhatian lebih pada proses-relasi produksi memang perlu diperhatikan dengan sungguh-sungguh. Biar tidak jatuh pada ilusi dan tidak berhenti sebagai penikmat bermacam simulasi saja.

Kembali pada awal tulisan, bagaimana jika memang sulit untuk mengabaikan berseliweran bermacam ‘sampah’ yang kadang menohok sampai ulu hati itu? Sesuatu yang mengulik-ngulik ‘identitas’ yang selama ini menjadi jalan ia memaknai hidupnya, misalnya. Mungkin kalau kita bertanya lagi pada kaum Stoa jawabannya ada tiga, yaitu latihan, latihan, dan latihan. Tidak ada jalan lain selain melatih diri. Jika dirasa perlu klarifikasi, tulis klarifikasinya –selesai, tidak usah berpanjang-panjang. Dan kembali pada apa yang memang dalam kendali.

Maka kuncinya adalah, sekali lagi: latihan, latihan, dan latihan. Itulah juga salah satu dimensi mengapa ada pemimpin dalam satu komunitas, dimana ia semestinya sungguh sudah menjalani bermacam latihan dan mungkin saja latihan yang dijalaninya lebih dari kebanyakan lainnya. Atau dalam konteks medsos ini, pemimpin yang ‘baperan’ dalam merespons konten medsos bisa juga kemudian dikatakan sebagai: kurang latihan. Kalau yang ‘baperan’ adalah pengikut-pengikutnya? Tetaplah ia ‘kurang latihan’ sebab mestinya jika benar itu pengikutnya, atau fans-nya, meminta supaya mereka jangan ikut-ikutan ‘baperan’ mestinya adalah hal tergantung pada dia juga. Tetapi semua itu bukanlah berarti kemudian ia lalu menulikan diri, atau membutakan diri terhadap bermacam seliweran di depan matanya, apapun yang sedang berseliweran itu. Jika merasa perlu diperhatikan, perhatikan dengan gaya Mr. Spock dalam Star Trek itu, jauh dari baperan. Siapa tahu di balik semua itu ada hal lebih mendasar yang perlu dikuak juga. *** (20-02-2021)

Medsos, 2000 tahun lalu