www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

18-03-2021

Pandemi di tengah pasar, atau pasar di tengah pandemi? Pertanyaan yang jawabannya bisa tidak sederhana lagi. Jika paradigmanya adalah hidup bersama itu merupakan bagian dari pasar, maka pernyataannya akan: pandemi di tengah pasar. Tetapi bagaimana pasar merespon pandemi? Ternyata sangat minim kalau tidak mau dikatakan ada di pinggiran. Jika ada yang membedakan antara negara-pasar-masyarakat sipil, negara dan masyarakat sipil-lah yang ternyata ada di ujung tombak dalam menghadapi pandemi. Bukan pasar. Justru pasar ‘minta stimulus’.

Maka cukup beralasan juga jika ada yang membedakan negara dan masyarakat sipil saja, dengan pasar adalah bagian dari masyarakat sipil itu sendiri. Masyarakat ada dulu, dan perlahan ia ‘menciptakan’ pasar sebagai salah satu instrumen penting, bahkan di sebagian besar tempat: utama, dalam ‘pembagian kekayaan’. Masalahnya adalah, bahkan kemudian ada yang bersikap layaknya pengikut deisme. Manusia layaknya Tuhan, dan menciptakan pasar dimana pasar kemudian dihayati sebagai sebuah jam yang berjalan otomatis tanpa butuh campur tangan manusia lagi. Tidak hanya self-regulating market, tetapi bahkan ‘sang-pencipta’-nya sendiri dalam seluruh dinamika hidup bersamanya justru dihayati sebagai bagian dari pasar, seperti permasalahan di awal tulisan. Pandemi secara telak memporak-porandakan klaim ‘kaum deisme’ itu.

Ha Joon Chang dalam Kicking Away the Ladder (2002) menggambarkan dengan jelas bagaimana dua ‘pertanyaan’ di awal tulisan. AS misalnya, ketika ia sedang merangkak menjadi negara maju dan kuat secara ekonomi, pasar adalah bagian dari hidup bersama (warga AS). Maka dengan logika infant-industry dalam negeri, bermacam tarif dikenakan terhadap barang-barang dari luar, terutama dari Inggris yang produksinya sudah mencapai tingkat efisiensi tinggi saat itu. Tangga ‘proteksi-tarif’ itu kemudian ditendang setelah berhasil menapak di puncak, dan berkhotbahlah soal pasar bebas yang intinya adalah, hidup bersama memang bagian dari pasar. Konsekuensi  lanjutannya adalah apa-apa yang ada dalam Kesepakatan Washington (1989) itu. Yang secara tidak langsung memandang negara ideal adalah yang ‘ultra-minimal’. Dan sekali lagi, pandemi mengobrak-abrik klaim tersebut.

Jika pandemi secara telanjang telah menunjukkan bahwa pasar adalah bagian dari hidup bersama maka bisa dikatakan bahwa ada ‘keprimeran politikal’ di situ. Bagaimana politik ikut terlibat dalam dinamika ‘pembagian kekayaan’ –distribution of wealth, bagi seluruh warga yang ada dalam ‘polis’ itu. Mungkin bukan peran minimal atau maksimal, tetapi optimal. Atau kalau kita menggunakan nuansa kata optimal pada ranah biologi, ia menunjuk ‘to conditions most favorable’ (for growth, metabolic processes, etc.). Politik yang akan melahirkan kebijakan-kebijakan dan perilaku politik yang akan memberikan kondisi-kondisi terbaik, salah satunya untuk berkembangnya pasar. Karena pasar merupakan instrumen penting ‘pembagi kekayaan’ maka politik-pun akan berusaha supaya semua warga negara, terutama yang kesulitan ‘masuk’ dalam dinamika pasar, tetap dapat menikmati terbaginya kekayaan itu melalui pasar. Kalau kita lihat pemenang Nobel di bidang ekonomi, paling tidak yang terakhir (trio) dan Amartya Sen telah memperkaya perspektif pasar dari sisi ‘yang tidak beruntung’ ini.

Apa yang mau disampaikan di sini adalah, pandemi semakin meneguhkan bahwa keprimeran politikal itu adalah sangat penting. Maka sungguh pertaruhan yang tidak kecil ketika ‘bermain-main’ soal input di ranah politik ini. Kita sudah merasakan bertahun terakhir ketika input di ranah politik ini seolah sekedar permainan ‘elektabilitas’ saja. Itupun banyak dipengaruhi oleh ‘tukang-tukang survei’ yang banyak lebih bernafsu pada soal bayaran saja. Sudah sangat benar jika Reformasi 20 tahun lalu mengangkat soal Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme sebagai sentral dari gerakan, selain juga tentu kembalinya militer –atau yang pegang senjata pada umumnya, ke barak. Hal yang memang sungguh erat terkait, karena dengan merebaknya korupsi, kolusi, dan nepotisme ini ujung-ujungnya akan menggunakan kekuatan kekerasan untuk melindungi ugal-ugalannya laku korup itu. Tidak percaya? Lihatlah sejarah, tidak hanya sejarah republik tetapi juga sejarah-sejarah di komunitas lain di planet ini. *** (18-03-2021)

Pandemi Di Tengah Pasar