www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

08-04-2021

Di tengah kesulitan keuangan tapi ngotot akan pindah ibu kota, maka kemungkinan yg terjadi adalah kita kahilangan asset ibu kota negara yg lama (Jakarta) krn dijual dan menjadi penyewa asset di Ibu Kota baru yg dimiliki oleh pihak lain krn swasta yg akan membangun,”[1] demikian cuitan M. Said Didu, 26 Maret 2021. Melihat kiprah Said Didu di ranah pemerintahan kiranya cuitan itu bukanlah asal-asalan saja. Dan jika kita refleksikan melalui frase ‘efisiensi berkeadilan’ yang ada dalam UUD 1945 hasil amandemen, hal di atas jelas mengusik baik soal efisiensi maupun rasa keadilan.

Lepas dari kemungkinan sebagai istilah merupakan ‘kompromi’ antara kubu efisiensi (senior-seniornya SMI) dan kubu berkeadilan (Mubyarto dkk) dalam mazhab ekonominya saat amandemen dulu, soal efisiensi dan berkeadilan ini memang tidak mudah. Apalagi jika digabung sebagai ‘satu’ istilah. Dalam beberapa hal, bahkan di AS sono kedua istilah itu terhayati dalam dua kubu kekuatan politik, Partai Republik di ‘kubu’ efisiensi dan Partai Demokrat di ‘kubu’ berkeadilan. Tentu masing-masing mempunyai perspektif baik itu soal efisiensi maupun berkeadilan, yang membedakan adalah ketika sampai pada satu titik harus memilih sebuah kecenderungan dengan satunya ‘ditunda’ lebih dahulu. Dan titik itu sebenarnya bisa dihayati sebagai sebuah moment ‘mawas diri’.

Tetapi apapun itu, sebagai sebuah istilah ketika itu masuk dalam sebuah Undang-undang, bahkan dalam Undang Undang Dasar, maka ia mempunyai konsekuensi besar. Seperti contoh di atas, dalam keseluruhan bangunan ekonomi bersama, memaksakan pembangunan ibukota negara baru dalam situasi seperti sekarang ini, apakah itu tidak melanggar perspekstif efisiensi-berkeadilan ini? Pandemi yang sudah berjalan di tahun ke-dua ini sebenarnya semakin menantang bagaimana soal efisiensi-berkeadilan ini menjadi semakin ‘dekat’ sebagai satu ‘formula’. Terlebih jumlah populasi dunia yang semakin membesar dengan sumber daya semakin tipis sekaligus kita sedang ada dalam satu planet yang sedang ‘kepayahan’, sudah begitu lelahnya. Tetapi bisakah kubu efisiensi dengan ujung tombaknya pasar ‘swatata’ itu akan dengan mudah ‘berdamai’ dengan kubu berkeadilan? Lihat misalnya soal potensi kelangkaan air di dekade-dekade depan, apa solusi dari kubu efisiensi ini? Solusinya adalah air dijadikan komoditas, tak jauh-jauh amat dari paradigmanya selama ini, commodification of everything. Nantinya bisa saja, bagi pak/bu tani yang melihat air jatuh dari langit itu, ia tetap harus bayar untuk irigasinya. Musim hujan bayar sedikit, musim kemarau bayar mahal.

“Greed is good,” demikian Michael Douglas dalam film Wall Street. Kita bisa mengutuk ungkapan itu, tetapi berapapun kuatnya kutukan kita tidaklah akan bisa menghilangkan keserakahan itu. Bahkan di Korea Utara-pun soal keserakahan tidak bisa hilang sama sekali, paling tidak ia akan nampak di sebagian elit-elitnya, kaum ‘bangsawan’-nya itu. Maka ‘state of nature’ yang dibayangkan Thomas Hobbes-pun bukanlah titik berangkat yang ada di ruang vakum belaka. Jika keserakahan itu begitu mewarnai ‘suasana chaos’ hidup bersama, tetapi mengapa tertib-tatanan hidup bersama di sana-sini dapat mewujud? Sebuah pertanyaan yang semakin menguat setelah Newton mengajukan teori tentang ‘tertib-tatanan’ semesta, gravitasi. Adam Smith yang baru berusia 3 tahun saat Newton meninggal adalah salah satu ‘raksasa’ newtonian di ranah hidup bersama manusia itu.

Yang perlu diperhatikan dalam bangunan teori Adam Smith adalah ketika akumulasi dari olah self-interest itu ternyata mempunyai potensi untuk bermetamorfosis menjadi sang-Leviathan Baru. Keserakahan yang begitu lenturnya itu bahkan ketika sang-Leviathan ‘ori’ masih tegap berdiripun akan selalu mencari celah. Apalagi jika ia kemudian menjadi sang-Leviathan Baru. Maka ketika hari-hari ini muncul berita bagaimana pemerintahan Biden terkait dengan pajak minimum bagi korporasi yang beroperasi di luar negeri, kita akan melihat bagaimana keserakahan itu akan diingatkan. Bagaimana dia akan diuber sampai pada tempat-tempat tax haven diselenggarakan, misalnya. Tetapi apakah ugal-ugalannya si-Leviathan Baru, atau ugal-ugalannya self-interest semata karena sifat greedy-nya saja?

Ada tayangan dokumenter di TV DW baru-baru ini soal bagaimana mengatasi ketakutan yang sampai pada tingkat phobia itu. Sebagai dokter saya melihat bahwa pengelolaan itu sendiri cukup menarik karena melibatkan pemberian propanolol –single dose, yang biasanya diberikan sebagai terapi masalah kardio-vaskuler. Pada kesempatan ini bukan soal mengatasi ketakutan, tetapi bagian lain dari tayangan itu, yaitu mengapa ada orang-orang tertentu yang seakan tidak punya rasa takut. Tentu rasa takut itu normal-normal saja dan bahkan perlu dalam mengarungi hidup. Dalam tayangan itu dicontohkan seorang juara asal Kanada dalam akrobat memakai motor trail. Bukan balapan tetapi melompat, berputar, bergaya di atas sepeda motor trail yang melayang itu. Tanpa rasa takut. Setelah melalui bermacam pemeriksaan termasuk pemindaian dengan MRI, nampak bahwa si-juara itu ternyata mampu ‘tidak mengaktifkan’ area emosional yang berurusan dengan rasa takut meski area rasional otaknya melihat bahayanya jumpalitan di atas motor yang melayang itu. Ketika diberi stimulus visual yang menakutkan, dalam pindai MRI area frontal otak menampakkan reaksinya, tetapi ternyata impuls ini tidak menerus ke area otak tempat emosi dikelola. Bagi sementara orang akan melihat ini semacam ‘kecanduan adrenalin’, tetapi dari penelitian di atas kita bisa melihat bahwa ternyata itu lebih dari sekedar soal ‘kecanduan’ saja.

Ketika tayangan aksi si-juara asal Kanada itu ditampilkan, kita bisa menikmati ‘kegilaannya’. Kita bisa juga terhenyak ketika ada aksinya yang gagal dalam percobaan pertamanya. Tetapi bagaimanapun juga, kita tidak pernah merasakan sakitnya terhempas keras dari atas motor trail itu. Si-juara yang merasakannya sendiri, dan untunglah tidak sampai menimbulkan luka serius. Tetapi bayangkan jika ada orang yang tidak pernah takut itu berspekulasi di bermacam pasar keuangan. Ugal-ugalan habis, terobos sana terobos sini dan bermacam ‘taktik-strategi’ yang mungkin bagi kita awam ini tidak bisa membayangkan, dan pada titik tertentu ‘bangunan’ itu runtuh dalam sekejap, dalam semalam. Bubble itupun meletus. Dan reaksi berantai-pun kemudian bergulir. Kita dan banyak orang yang tidak ikut bermain, dan bahkan ‘menonton permainan’-pun tidak, tiba-tiba saja ikut terdampak karena ikut diterjang krisis. Mereka ‘terpuaskan’ kecanduan adrenalin-nya, kita ikut menanggung akibatnya jika mereka terpeleset.

Atau misalnya kita menemui orang yang tahu persis bagaimana krisis pandemi ini mengakibatkan banyak orang menderita lahir batin, tetapi itu ternyata tidak ‘membangkitkan’ keprihatinan yang mendalam bahkan ia justru mau membangun istana baru. Tahu persis bahwa kerumunan-kerumunan itu menjadi klaster penyebaran virus, tetapi itu tidak ‘membangkitkan’ keprihatinan dengan justru malah ‘membuat’ kerumunan atau mendatangi sebuah kerumunan, dengan sumringahnya. Dan banyak lagi contoh lainnya. Atau lain orang, di tengah bencana sebagai pimpinan tanpa malu atau sungkan marah-marah di depan umum. Saat lain, gegayaan nyapu jalan, ikut ngatur-ngatur lalu-lintas, dan macam-macam lagi. Kalau konteksnya adalah seperti si-juara asal Kanada seperti disebut di atas, mungkin itu adalah hiburan semata –hiburan dari seorang yang urat takut-nya sudah ‘putus’, tetapi bagaimana jika ini berdampak luas, sistemik? Jika ia seorang pemimpin tertinggi dari sebuah komunitas? Seorang pemimpin yang urat malu-nya sudah ‘putus’. Urat sungkan-nya sudah ‘putus’. Bagaimana jika ‘rasionalisasi efisiensi’ itu ternyata tidak ‘terhubung’ dengan ‘rasa’ keadilan? Apalagi jika ‘keterhubungan’ melalui jalur ‘oposisi’ itu justru semakin rapat ditutup? Akankah bermacam ‘gelembung’ itu sedang menunggu waktu saja untuk ‘meletus’? Dan jika pada waktunya ‘meletus’, berapa biaya sosial yang harus ditanggung seluruh warga? *** (08-04-2021)

 

[1] twitter.com/msaid_didu/status/

1375270433725898758

Efisiensi Berkeadilan 'Setelah' Pandemi