www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

15-04-2021

Today’s killing of unarmed civilians, including children, marks a new low,”[1] demikian cuitan Menteri Luar Negeri Inggris, Dominic Raab terkait dengan meningkatnya kekerasan militer terhadap rakyat Myanmar, 27 Maret 2021. Dari Myanmar beberapa bulan terakhir kita bisa mengambil banyak pelajaran. Tentu dari sejarah panjang republik banyak pelajaran juga terkait dengan ‘tema-Myanmar’ ini. Kata seorang teman, tidak usah jauh-jauh ke Myanmar. Tetapi saat ini tetap saja Myanmar penuh pelajaran yang tidak boleh dilewatkan. Pelajaran bagaimana kekuatan kekerasan itu ketika sampai pada titik kebrutalannya, ia akan terus menunjuk ‘new low’ yang semakin dalam. Atau dalam bahasa Uskup Dom Helder Camara, spiral kekerasan itu bisa-bisa terus melingkar menuju dasar kegelapannya.

Tetapi apabila manusia kehilangan wataknya dan mulai berlindung di balik doktrin-doktrin, kejahatan pun mulai mencari alasan-alasan pembenarannya, dan semakin berlipat ganda seperti alasan pembenarannya, dengan segala aspek silogismenya,” demikian Albert Camus dalam Krisis Kebebasan.[2] Albert Camus sedang menjelaskan apa yang dibedakannya soal kejahatan hasrat dan kejahatan logika. “There are crimes of passion and crimes of logic,” demikian Camus membuka Introduction-nya dalam The Rebel. Bagi Camus, kejahatan-kejahatan itu, dan terutama kejahatan logika akan mendorong sebuah ‘situasi jungkir balik’: “Yesterday it was put on trial; today it determines the law” –“kemarin (kejahatan) diadili, hari ini ia mendikte hukum.”

Jika kita lihat di banyak peristiwa sejarah, apa yang namanya kejahatan hasrat dan kejahatan logika ini meski bisa dibedakan, tetapi faktanya ada tali-temali yang erat. Segala doktrin, segala mitos, segala ‘atas-nama’ itu sering hadir sebagai tirai asap tebal bagi hadirnya kejahatan hasrat yang sebenarnya sudah sangat brutal. Masalahnya dalam perjalanan manusia memang tidak lepas dari bermacam yang dekat-dekat dengan doktrin, mitos, atau segala ‘atas nama’ itu. Bahkan dalam keseharian kita sangat dipengaruhi oleh bermacam ‘doktrin’ yang diam-diam terus-menerus bekerja dalam kegiatan sehari-hari kita. “Man is essentially a story-telling animal,” demikian tegas Alasdair MacIntyre. ‘Doktrin’ kalau warna hijau jalan misalnya, seakan menjadi ‘hukum tertinggi yang tidak perlu dipertanyakan lagi’ ketika kita ada di perempatan jalan yang ada lampu lalu-lintasnya. ‘Doktrin-doktrin’ itu dalam banyak hal memang memudahkan hidup kita. Lalu dimana letaknya sebuah ‘doktrin’ atau segala pembenaran-atas-nama atau legitimasi itu bisa terlibat dalam sebuah kejahatan logika seperti disinggung oleh Camus di atas? Jika kata ‘doktrin’ sendiri dipakai maka memang sebagai seolah ‘kebenaran tertinggi’ sebuah doktrin akan sangat rentan jatuh atau terlibat dalam bermacam kejahatan logika itu.

Hari-hari ini dalam berita nampak ada peringatan kekejaman holocaust di beberapa tempat di Eropa sana. Holocaust adalah contoh paling brutal bagaimana kejahatan hasrat itu mendapatkan ‘dukungan’ erat dari sebuah kejahatan logika. Dari Hannah Arendt kita bisa melihat peristiwa tersebut dengan lebih jernih: sebuah banality of evil yang terprovokasi terus-menerus dengan ke-tidak-berpikiran. Sebuah doktrin atau yang ‘di bawahnya’, ketika ia meminggirkan potensi berpikir yang bisa saja itu merupakan upaya ‘koreksi’, maka bisa dikatakan menguatlah itu potensi kejahatan logika. Bahkan iman-pun akan semakin ‘kaya’ jika didampingi oleh keberpikiran, fides et ratio. Dan ketika keberpikiran itu dimiskinkan, bisa juga ada kemungkinan agama menjadi pembenaran dari bermacam polah yang sebenarnya justru berlawanan dengan kemanusiaan itu.

Mimesis, atau meniru adalah salah satu modus yang lumrah dalam menjalani hidup. Arnold J. Toynbee ketika bicara soal peran penting dari si-minoritas kreatif-pun tidak lepas dari soal tiru-meniru ini karena ia akan ditiru oleh khalayak, demikian juga dalam ‘segitiga hasrat’-nya Rene Girard, tidak lepas dari soal meniru ini. Model yang akan ditiru oleh khalayak. Maka menjadi seorang pemimpin ia bukanlah sekedar memimpin, tetapi ia akan menjadi ‘model’ juga, dan akan ditiru oleh kebanyakan khalayak. Kontribusi seorang pemimpin dalam membangun –katakanlah, ‘suasana kebatinan’ dinamika yang dipimpinnya tidaklah kecil. Lihat misalnya ketika negara sebesar AS itu mempunyai seorang pemimpin dengan kualitas seperti Donald Trump, misalnya. Bagaimana seringnya penampakan yang bahkan serasa ‘anti-sains’ itu akhirnya berujung pada sejarah kelam ketika pendukungnya merengsek secara kasar ke dalam gedung DPR-nya. Maka ketika bermacam penampakan glécénan tanpa beban dari seorang pemimpin, dan pada satu titik mengatakan bahwa selama 3 tahun terakhir tidak impor beras demi ‘legitimasi’ keputusan impor beras tahun ini, yang bahkan tidak usah seorang ahli-pun bisa membuktikan bahwa klaim itu sama sekali tidak benar, itulah adalah sebuah new low. Berulang-dan-berulang, kemampuan berpikir seakan juga sedang dijalani secara glécénan tanpa beban. Lihat misalnya glécénan soal ‘sillicon valley’ yang berulang-dan-berulang sejak tahun 2015 itu. Dan seperti ditunjukkan di atas, ketika keberpikiran itu seakan sedang dipermainkan maka kejahatan logika itu-pun seakan mendapat pupuk subsidinya. Maka tak heran pula, “Yesterday it was put on trial; today it determines the law” –“kemarin (kejahatan) diadili, hari ini ia mendikte hukum.” Wahai .... wahai...., hati-hati ... *** (15-04-2021)

 

[1] https://twitter.com/DominicRaab

/status/1375817565180731396

[2] Albert Camus, Krisis Kebebasan, YOI, 1990, hlm. 33

New Low

gallery/silicon valley indon

https://twitter.com/panca66/status/1381724977125187584