www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

20-04-2021

Deng Xiao Ping saat memimpin ‘terbuka’-nya China menggambarkan kepada rakyatnya bahwa itu seperti menyeberangi sungai dengan banyak batu-batu licin di dasar sungai, maka perlulah hati-hati saat kaki menapak batu. Bermacam keutamaan (virtue) berkembang dalam hidup manusia, tetapi ada yang mengatakan bahwa keutamaan prudence-lah ‘ibu’ dari bermacam keutamaan itu. Prudence (phronesis) bukan berarti ragu-ragu. Tetapi kalau toh ia nampak seperti ragu-ragu, itu karena tahu persis apa yang sedang dipertaruhkan. Tetapi bagaimanapun juga, ketika bicara soal prudence memang sebaiknya tidak usah disinggungkan dengan soal ragu-ragu ini. Karena dalam praktek, prudence akan lebih berhadapan bukan dengan keraguan, tetapi dengan gejolak hasrat. Bermacam krisis keuangan misalnya, banyak yang sebenarnya adalah dikesampingkannya soal prudence ini.

Dalam Fenomenologi, prudence ini mungkin bisa dibayangkan ketika saat bracketing dimulai. Saat ketika kita ‘menunda’ bermacam prasangka yang sudah lama ngendon dalam kesadaran kita dan kita mulai sebagai ‘pemula’. Kita kemudian mendekati dari berbagai sudutnya, bermacam aspeknya, bermacam profilnya. Dengan itu pula maka imajinasi kemudian lebih berkembang. Supaya imajinasi tidak liar berkembang maka kadang perlu dikomunikasikan dengan yang lain. Atau dilakukan cek-ricek lagi dengan realitas yang ada. Bermacam prasangka yang tadi ditunda dulu itupun perlahan dibuka lagi. Dengan pemahaman yang terbangun dari bermacam ‘langkah’ tersebut maka perlahan pula semakin jelas apa yang mesti diperbuat, apa yang mesti diantisipasi. Dalam praktek keseharian, memang saat seperti di atas akan jarang kita lalui. Sebagian besar hidup kita taken for granted saja. Hidup akan sangat merepotkan jika bermacam prasangka yang sedikit-demi-sedikit ngendon dalam kesadaran kita itu harus ditunda dulu dan kemudian kita ‘berperan’ seperti layaknya seorang ‘pemula’. Tetapi tentu dalam perjalanan hidup kita mestinya banyak juga moment di mana kita sebaiknya melibatinya sebagai ‘pemula’ seperti digambarkan di atas. Seorang pemimpin menjadi berbeda dengan yang dipimpinnya, salah satunya karena ia mestinya akan lebih sering melibati moment-moment yang mana sebaiknya ia hadir sebagai ‘pemula’ itu.

Maka orang-orang sekitar pemimpin menjadi penting, salah satunya adalah sebagai bagian terdekat ketika bermacam imajinasi harus dikomunikasikan. Jika di sekitar kebanyakan adalah penjilat maka liarnya imajinasi bisa tidak terkontrol lagi. Akan lebih parah lagi jika kemampuan melihat berbagai sudut, berbagai aspek, berbagai profil-nyapun juga terbatas. Dan jika ditambah dengan gejolak hasrat yang tak terkendali, maka pemimpin bisa-bisa terjerumus dan bahkan melanjut juga pada menjerumuskan yang dipimpinnya dalam situasi serba tidak jelas. Hasrat yang tidak terkendali itu bisa-bisa mengaburkan pandangan terhadap realitas kongkret yang ada di depan mata. Maka selain prudence, keutamaan temperance, sophrosyne juga sangat penting. Kemampuan dalam pengendalian diri, self-control. Jika kembali pada contoh Fenomenologi di atas, self-control memang tidak mudah karena sebagian besar hidup kita akan menapak jalan taken for granted itu. Atau jika kita membuka-buka soal psikologi massa, psikologi kerumunan dan sekitarnya, bagaimana self-control itu bisa dengan mudah runtuh dalam sekejap, misalnya. Dalam banyak hal, kemampuan untuk menghayati apa-apa yang tergantung pada kita dan yang tidak tergantung pada kita akan berpengaruh besar dalam ‘melatih’ self-control ini. ‘Melatih’ karena tidak ada jalan lain dalam hal self-control ini, hanya latihan dan latihan-lah ia akan semakin berkembang. Termasuk juga misalnya, melatih diri melalui jalan 'hasrat vs hasrat' -agere contra, itu.

Prudence dan temperance adalah keutamaan atau virtue yang termasuk dalam cardinal virtues. Dua lainnya adalah keadilan (justice) dan keberanian (fortitude). Tentu masih banyak keutamaan lainnya, misal kesalehan (piety), atau keramahan, kerendahan hati, dan banyak lagi. Keutamaan akan menunjuk pada kualitas diri, maka kualitas diri seorang pemimpin seperti apa ketika situasi kongkret semakin tidak bisa diprediksi? Ketika bermacam hasrat tidak dikurung dan seliweran dalam kesehariannya. Ketika republik misalnya, ada di tengah-tengah poros-poros kekuatan dunia. Ketika ketimpangan sosial masih begitu lebarnya. Ketika bermacam ‘mafia’ dan kong-ka-li-kong pat-gu-li-pat begitu kuatnya. Ketika korupsi seakan sudah seperti wabah tak berujung. Macam-macam. Dari bermacam tantangan yang ada itu sebenarnya semakin menegaskan pentingnya keutamaan dalam diri pemimpin, terutama keutamaan yang ada dalam cardinal virtues itu.

 Mimpikah itu? Atau kita sudah terlanjur akrab bahkan seakan ‘terkurung’ dengan mimpi buruk, yaitu ketika pemimpin miskin keutamaan prudence pada tahun-tahun terakhir ini? Pemimpin yang miskin self-controlnya? Yang bahkan menghayati nuansa keadilan saja begitu gagapnya? Yang begitu pengecutnya saat berhadapan dengan bermacam laku kong-ka-li-kong pat-gu-li-pat dari bermacam mafia itu? Jika manusia adalah makhluk pembelajar terbaik di antara bermacam spesies, tahun-tahun terakhir adalah tahun-tahun terbaik untuk pembelajaran bersama. Pembelajaran ketika pemimpin hadir dengan segala kemiskinan keutamaan yang sudah kronis itu. Jika kita gagal dalam pembelajaran terutama untuk bertahun terakhir ini, perkembangan civic virtue bisa menjadi pertaruhan serius. Rusak-rusakan. *** (20-04-2021)


 

Saat Pemimpin Miskin Keutamaan