www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

21-04-2021

Di bulan puasa ini saya sendiri tidaklah puasa karena Katolik, tetapi setiap bulan puasa ikut juga merasakan ‘kegembiraan’ menjelang buka puasa. Paling tidak itu yang saya rasakan. Bahkan sejak kecil kami yang besar berdampingan dengan Kauman-pun saat di Muntilan sana, ikut juga merasakan ‘kegembiraan’ itu. Kegembiraan memang ditulis dalam tanda kutip hanya menegaskan bahwa itu yang saya rasakan secara ‘sosial’. Bagi yang menjalankan ibadah puasa jelas lebih dari sekedar penghayatan ‘sosial’. Ikut dalam ‘kegembiraan’ karena ketika menjelang buka puasa bermacam jajanan, bermacam hidangan, bermacam minuman segar banyak ditawarkan. Di dekat rumah pagi hari antara jam 06.00-10.00 biasa ada pasar tiban, dan jika masuk bulan puasa, sore-nya antara jam 16.00-18.00 menjadi ramai dengan pasar tiban juga. Tetapi yang ditawarkan adalah itu tadi, jajanan, bermacam hidangan-lauk-pauk, sampai minuman segar. Dan kita yang tidak puasa-pun ikut juga bisa menikmatinya.

Tidak hanya ke-bhineka-an yang ditawarkan, atau pembelinya, tetapi juga yang jual. Ada yang satu gereja dengan saya juga ikut jualan, dan bermacam etnis pula yang jualan di situ. Ada mbok ..., mbak ..., teh ..., cik ..., koh ..., kang ..., mas ... Tidak ada masalah rasisme di situ, apalagi radikal-radikul. Hanya ada kegembiraan dan transaksi, paling tidak dari kacamata saya. Lihat misalnya, ada juga yang mengajak anaknya ikut jualan. Masih sekitar kelas 6 SD atau kelas 1 SMP paling tua. Dan sudah wasis sekali membantu jualannya. Menawarkan ini dan itu. Ada yang pagi jual ikan, cumi, udang dan sekitarnya, sore jualnya degan, kelapa muda. Ada yang pagi jualan buah, sore jualnya gorengan. Macam-macam.

Doux commerce, mungkin ada benarnya. Meski dimungkinkan ada sedikit ‘kelicikan’ di situ, tetapi itu menjadi tidak berarti ketika lebih banyak ‘perdamaian’ yang berkembang. Terlebih dalam skala ‘mikro’-nya, seperti pasar tiban menjelang buka puasa di dekat rumah itu. ‘Kegembiraan’ bukan hanya karena apa-apa yang dibutuhkan tiba-tiba saja banyak tersedia, tetapi juga bisa ada tambahan tabungan untuk bermacam kebutuhan nantinya bagi si-penjual. Ada ‘pembagian kekayaan’ pula di situ. Maka bagi pembuat kebijakan, jika ‘mekanisme pasar’ dalam bermacam tingkatannya itu diterima sebagai bagian dari hidup keseharian, perlulah itu ‘dijaga’ tidak hanya soal transaksinya, tetapi juga katakanlah, ‘kegembiraan’-nya. Bagaimana misalnya, petani-petani dalam musim panen padi ketika ia masuk dalam transaksi pasar, ia tetap datang dengan semangatnya. Bukannya gundah karena harga anjlok ketika mafia impor itu menjadi begitu ugal-ugalan misalnya. Atau yang bekerja di konveksi tidak menjadi patah arang karena serbuan impor pakaian bekas ilegal. Juga supaya kegembiraan itu terus meluas, perlulah dikembangkan pasar secara fisik-nya yang bersih, nyaman, baik bagi pengunjung dan penjual. Dan tentu saja aman. Termasuk aman dari kebakaran tentunya.

Tetapi kegembiraan di pasar (‘original’) bukanlah semata karena masing-masing ‘kepentingan-diri’-nya terpenuhi, tetapi yang sering dilupakan karena saking biasanya, adalah tatap-mukanya. Relasi face-to-face itu. Wajah dengan beribu kemungkinan tarikan otot-ototnya. Selain itu, diam-diam wajah yang hadir di depan itu juga menghadirkan pula sebuah tanggung jawab –bahkan ‘menuntut’ sebuah tanggung jawab, demikian Emmanuel Levinas menegaskan. Maka meski ‘kelicikan’ dalam pasar hadir juga di sana-sini, relasi tatap-muka itu sendiri adalah sebagian pengendalinya. Semakin pasar menipis relasi tatap-mukanya, maka potensi ‘kelicikan’ itupun akan semakin membesar pula. Bandingkan antara pasar ‘original’, pasar komoditas, dan pasar keuangan. Terlebih ketika siklus uang-barang-uang itu menjadi ‘terputus’ hanya menjadi uang-uang seperti dalam pasar keuangan itu.

Maka jika kita boleh berandai-andai, dengan memakai pendapat Prof. Soemitro Djojohadikusumo soal bagaimana menyikapi perkembangan teknologi yang dibedakannya menjadi advanced, adaptive, dan protective technology[1] itu kita bisa membayangkan 3 ‘jenis pasar’, katakanlah pasar keuangan, pasar komoditas, dan pasar ‘original’-nya. Yang pertama lebih pada ‘siklus’ uang-uang, kedua terakhir: uang-barang-uang, yang membedakan adalah skalanya.

Pasar dalam bentuk ‘original’-nya tetaplah perlu dipertahankan bahkan di tengah-tengah bermacam gempuran dari ‘pasar on-line’. Bukan masalah romantisme atau apalah mau disebut, tetapi soal interaksi tatap-muka yang tak tergantikan itu. Saat bertemu dengan bermacam wajah yang tidak hanya sekedar robot tanpa nyawa, tetapi kongkret itu adalah wajah-wajah sosok bermacam manusia. Selain itu tentu adalah soal bagaimana kekayaan itu dapat didistribusikan pada segmen-segmen tertentu, atau katakanlah yang mempunyai modal ‘cekak’ tetap bisa ikut dalam dinamika distribusi kesejahteraan tersebut. Mengembangkan pasar ‘original’, pasar ‘komunitas’ dengan tetap mempertahankan relasi tatap-mukanya adalah seperti katakanlah, mengembangkan teknologi protektif seperti telah disinggung Prof. Soemitro sekitar 50 tahun lalu itu. Lihat misalnya salah satu tayangan TV DW (Jerman) soal bagaimana beberapa pemilik perusahaan yang mengubah status kepemilikan perusahaannya menjadi steward-ownership. Bahkan kemudian ada yang menetapkan 80% keuntungan didedikasikan untuk menanam pohon di tempat-tempat tertentu di seluruh dunia. Utopia? Sejarah yang akan membuktikan. Tetapi lepas dari itu, siapapun yang hadir dan menghidupi pasar ‘original’ itu bagaimanapun juga adalah si-pembayar pajak dalam bermacam bentuknya. Maka sudah sewajarnya jika mereka juga perlu perhatian bahkan perhatian lebih dari pengelola-pajak dalam pengembangan pasar ‘komunitas’-nya itu. *** (21-04-2021)

 

[1] Lihat, https://www.pergerakankebang

saan.com/431-Belajar-Dari-Prof-Sumitro-Djojohadikusumo/


 

Saat Puasa Tiba