www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

22-04-2021

 

Jamané jaman édan, sing ora édan ora bakal keduman,” demikian Joyoboyo sering diulik-ulik lagi ketika situasi menjadi begitu morat-maritnya. Apapun itu kita bisa menghayatinya sebagai masalah ‘publik’, yaitu ketika ‘kewarasan publik’ seakan semakin terganggu. Terutama ketika si-pemegang kebijakan, dimana keputusan dan perilaku-nya makin menjauh dari kewarasan. Entry point ‘ke-waras-an-publik’ terutama dari pemegang kebijakan publik adalah sikap prudence.[1] Abad-20 memberikan contoh dan pelajaran banyak sekali ketika kewarasan menjauh dari si-pemegang kebijakan.

 

Sikap prudence si-pemegang kebijakan memang pertama-tama diharapkan dari kualitas diri. Tetapi dari perjalanan sejarah kita bisa melihat bahwa mengandalkan semata kualitas diri dari seorang pemimpin misalnya, adalah terlalu riskan. Arnold J. Toynbee dalam A Study of History (1934-1961) salah satunya menyoroti bagaimana peradaban itu berkembang, yaitu terkait dengan tantangan dan respon. Dan dalam dinamika tantangan-respon muncullah si-minoritas kreatif itu. Bagaimana peradaban mundur bahkan hancur-melenyap juga disinggung. Bisa karena tantangan terlalu besar, misal peradaban menghilang karena bencana alam yang sungguh besar. Atau dalam perjalanan, ternyata si-minoritas kreatif itu berubah menjadi minoritas dominan. Lihat misalnya ketika si-mono(arki) berubah menjadi si-tiran(i), atau si-aristokrat berubah menjadi si-oligark. Ketika telah menjadi dominan maka hampir semua akan juga tanpa sungkan lagi berperilaku semau-maunya. Contoh, menjadi tanpa sungkan lagi kudeta partai-nya orang lain, misalnya. Intinya, ketika menjadi minoritas-dominan, ke-prudence-an kemudian ditinggalkan, apalagi soal self-control itu. Ugal-ugalan. Ke-tidak-waras-anpun akhirnya banyak terhayati oleh khalayak di sana-sini. Check and balances yang dilakukan oleh oposisi, pers, masyarakat sipil adalah bagian tak terpisahkan dalam merawat-mengembangkan peradaban, yaitu mencegah hadirnya si-minoritas dominan itu.

 

Maka kita harus prihatin, negara dan lingkungan sekitar harus berupaya mengatasi ini. Itu keadaannya,” demikian Didik J. Rachbani.[2] Hal tersebut dikatakan Didik J. Rachbani terkait dengan tingginya angka pengangguran terbuka dan terselubung. Pengambil kebijakan yang waras, yang prudence semestinya akan mendengarkan data-data dari Didik J. Rachbani ini. Karena itulah tantangan besar yang mesti direspon oleh pengambil kebijakan, atau katakanlah si-minoritas kreatif itu. Jelas juga itu tidak mudah, dan tidak ada yang akan mengatakan itu mudah. Maka diperlukan tidak hanya upaya langsung untuk mengatasi soal pengangguran terbuka dan terselubung yang jumlahnya sekitar 35 juta itu, tetapi juga bagaimana hasrat ‘si-model’ terkait hal itu (mengatasi pengangguran) juga akan menggerakkan komponen bangsa lain untuk ikut terlibat. Itulah ngototnya berwacana soal pindahnya IKN saat ini sungguh satu hal yang menjauh dari kewarasan. Lihat bagaimana netizen bereaksi misalnya: gegayaan pindah IKN tetapi terberitakan ada bantuan bagi korban bencana NTT, 1 kg beras, 1 bungkus mie instan, dan sebutir telur. *** (22-04-2021)

 

[1] https://www.pergerakankebangsaan.com/712-Saat-Pemimpin-Miskin-Keutamaan/

[2] https://politik.rmol.id/read/2021/04/21/484667/didik-j-rachbini-pengangguran-terbuka-dan-terselubung-sudah-hampir-30-juta-negara-harus-prihatin


 

Saat Kewarasan Dipertanyakan

gallery/bokassa

Kewarasan yang terganggu di Abad-20, Jean Bedel Bokassa