www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

27-05-2021

Ni yao caifu ni xian zuo lu,” jika ingin makmur, buatlah jalan demikian pepatah China mengatakan. Tetapi membangun jalan bukanlah semata soal kemakmuran saja, ia bisa juga menjadi hal tak terpisahkan dari keberakaran (dwelling) manusia-manusia yang hidup di sekitarnya. Jalan tol misalnya, ia tidak lebih berguna dibanding memperbaiki jalan-jalan kampung yang sehari-hari dilalui oleh orang-orang yang hidup di sekitarnya dalam hal ‘membangun dunia’ tempat ia berakar itu. Tentu jalan tol akan lebih dibicarakan dari sisi ‘kemakmuran’, meski masih banyak aspek yang harus diperdebatkan. Atau jika kita mengikuti berita soal penggusuran misalnya, maka akan kita temui peringatan-peringatan bahwa itu tidaklah semata menggusur orang atau bangunan, tetapi juga keberakaran dari manusia-manusia yang hidup di tempat itu.

Dalam bahasa Inggris dibedakan soal house dan home, tidak setiap house itu akan terhayati sebagai home. Demikian juga tidak setiap bangunan itu, atau jalan, atau lainnya, akan terlibat intens dalam keberakaran manusia. Di belakang masalah bermacam hak dari masyarakat adat misalnya, bagian terbesarnya adalah soal keberakaran, jauh melebihi soal-soal terkait dengan mata pencaharian. Bicara soal ‘akar’ ini bisa sangat jauh konsekuensinya. Misal soal pasar, bagaimana jika pasar kemudian dilepas dari ‘akar’-nya, yaitu masyarakat itu? Mekanisme pasar yang terhayati sebagai yang mampu mengatur diri sendiri -swatata, lepas dari masyarakat yang melahirkannya?

Manusia tidak hanya berhenti terlempar, atau tiba-tiba saja ia tergeletak di sana dan berhenti, kemudian mati tergeletak di sana juga. Tetapi ia akan membangun dunianya, dunia sehari-hari tempat ia akan berakar. Kongkretnya bahwa ia ‘tergeletak saja’ di sana itu juga akan berarti kongkretnya dunia yang akan dibangunnya. Rumah, jalan, tetangga, warung di seberang jalan, polisi tidur di jalan kampungnya, poskamling di sudut jalan, dan bermacam lagi. Tetapi jelas juga dunia-nya tidak hanya berhenti sampai disitu saja. Ia juga ingin hidupnya ber-makna. Bermakna dalam relasinya dengan sahabatnya, saudara, anak, istri, suami. Atau bagi anak didik, tempat ia bekerja, bagi orang lain. Dan banyak lagi. Dari bermacam ‘lapis makna’ tersebut, Manuel Castells di penghujung abad lalu mengingatkan bahwa di dunia digital yang serba cepat dan ringkas ini identitas bisa menjadi sumber utama dalam pencarian makna. Tidak ada yang aneh ketika identitas terlibat dalam upaya pencarian makna itu, hanya saja lekatnya nuansa ‘ke-tribal-an’ manusia haruslah selalu diingat wajah lainnya, an instinct to exclude-nya itu, demikian Amy Chua dalam Political Tribalism (2019).

Di dalam dunia yang serba cepat dan ringkas ini, tidak hanya soal identitas bisa lebih mengemuka, tetapi terutama bagi media massa, ia sangat terdampak dengan berkembangnya ‘logika waktu pendek’. Tetapi bukan saja media massa yang sungguh tertantang dengan ‘logika waktu pendek’ ini, sebenarnya hampir semua segi hidup bersama akan terdampak. Media massa bagaimanapun urusan utama adalah soal informasi, dan siapa yang tidak terdampak dari bermacam ‘olah-informasi’ ini? Jika dikaitkan dengan upaya pencarian makna, maka itu juga tidak akan lepas dari in-formasi ini. Dan jika identitas kemudian menjadi sumber utama dalam pencarian makna, jangan-jangan dalam waktu bersamaan an instinct to exclude itu juga akan tereksploitasi sedemikian rupa sehingga ‘logika waktu pendek’ itu juga melahirkan bermacam ‘pendek pikir’-nya. Karena bagaimanapun juga ‘logika waktu pendek’ itu tidak hanya memprovokasi ke-ringkasan, tetapi kedalaman juga akan mudah terkikis. Kedalaman yang bagaimanapun juga ia akan membutuhkan cukup waktu dalam penggaliannya.

Tetapi bagaimana jika manusia adalah makluk immortal, tidak akan pernah mati? Yang jika dipenggal kepalanyapun tidak akan mati? Akankah ia repot-repot membangun tempat berakarnya itu? Kita tidak pernah tahu akan itu sebab faktanya manusia akan mati. Pepatah gajah mati meninggalkan gading manusia mati meninggalkan nama sedikit banyak sedang mengatakan bahwa mati tanpa makna itu bisa menjadi masalah besar. Atau, mungkinkah kita akan bisa menjelaskan soal keberakaran manusia jika tidak ada kematian manusia? Kematian kemudian seakan menjadi ‘batas’ antara yang ‘misteri’ dan yang ‘tidak misteri’. Dan kita akan banyak menghayati soal misteri ini dengan kata-kata, dengan bahasa. Jika tidak ada kata yang bisa dikomunikasikan, bisa-bisa kita akan bunuh diri massal. Hipokognisi, demikian salah satu penelitian tentang tingginya angka bunuh diri di Haiti sana, penelitian di tahun sekitar 1970-an.

Maka ada baiknya kita ‘melatih’ bahasa kita, paling tidak untuk semakin bisa mengakrabi misteri, jika memang masih jauh dari menguaknya. Untuk itulah mengapa puisi ada, misalnya. Karena dengan puisi, bahasa bisa menjadi sangat lentur untuk menembus batas-batasnya sendiri. Kemampuan menghayati puisi nampaknya akan juga mendorong kemampuan menghayati apa yang ada di balik kematian itu. Tetapi bagaimana jika kematian itu sendiri seakan diingkari? Diingkarinya kemungkinan ‘kematian rejim’, misalnya. Karena merasa sudah mengantongi ‘kunci segala kecurangan’ yang nyaris sempurna itu. Akankah bahasa juga akan menjadi begitu ‘kasarnya’? Ugal-ugalannya. Kosong dan jauh dari maknanya, dan bahkan sudah dipermainkan semau-maunya! Rusak-rusakan. *** (27-05-2021)

'Logika Waktu Pendek' dan Keberakaran