www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

31-05-2021

Apapun itu, besok 1 Juni adalah hari libur karena ada peringatan Hari Lahir Pancasila. Bagaimana Pancasila akan dihayati oleh para pemimpin republik? Dengan mengejar-ngejar warganya untuk hapal Pancasila? Atau ber-wawasan kebangsaan? Pertama-tama sebaiknya pemimpin menghayati Pancasila itu adalah dengan kebijakan-kebijakannya, keputusan-keputusan politik yang bisa juga mewujud dalam undang-undang, peraturan, dan lain-lainnya. Pancasila adalah sebuah kesepakatan bagaimana republik semestinya dikelola. Pembukaan UUD 1945 jika dibaca perlahan akan menegaskan ini pula. Lalu bagaimana warga negara sebaiknya ber-Pancasila? Dengan tidak kencing di sembarang tempat? Atau tidak mengumpat dan selalu bersikap sopan-santun? Tidaklah, akan sampai pada situasi kelelahan luar biasa jika Pancasila ikut mengurus soal dimana harus kencing, atau juga soal sopan santun. Repot sekali nantinya. Itu soal patut-patutan saja, atau bagaimana norma masyarakat sekitar mengaturnya. Atau juga saat ada warga ingin masuk surga caranya harus gini dan tidak gitu? Kebablasan itu namanya.

Lalu bagaimana warga negara dalam praktek akan menghayati Pancasila? Dengan mengikuti undang-undang dan peraturan yang ada! Karena sudah terbayang undang-undang dan peraturan itu dibuat pastilah akan berdasarkan Pancasila. Mengikuti dan taat akan undang-undang dan peraturan sudah berarti warga negara itu ber-Pancasila di republik, bahkan jika dia tidak hapal Pancasila. Tetapi apakah kemudian pendidikan kewarga-negaraan (civic education) itu kemudian tidak perlu? Tidaklah, pendidikan kewarga-negaraan itu tetaplah perlu. Paling tidak kalau kita lebih bicara soal ‘knowing that’. Tetapi bagaimanapun ‘knowing how’ akan lebih prioritas dari ‘knowing that’, demikian paling tidak menurut Gilbert Ryle. Makanya pendidikan kewarga-negaraan paling efektif terutama jika terkait soal  Pancasila ini, dari sisi warga negara adalah saat ia ikut dalam mengkritisi bermacam kebijakan, perundangan, peraturan yang dibuat di ranah negara itu. Oleh para pemimpin itu. Pancasila di tangan warga-negara kemudian bisa menjadi ‘ideologi-kritis’. Pancasila sebagai ‘ideologi-kritis’ akan mendapat ‘bahan bakar’-nya ketika di sana-sini ketidak-adilan banyak terhayati di kalangan warga. Ketika cita (rasa) ketidak-adilan itu merebak secara ugal-ugalan.

Kritik utama terkait dengan P4 jaman old karena kemudian itu berfungsi sebagai, katakanlah: legitimasi sekunder. Yang akan membuat selain Pancasila menjadi begitu rigid-nya, ia mempunyai potensi besar untuk memberikan legitimasi bagi melayangnya palu godam yang akan memukul siapa saja di luar kelompoknya. Legitimasi adanya Pancasila itu sebenarnya akan berasal dari kondisi politis-nya, kondisi teknis-nya, dan kondisi sosial-nya. Kondisi politis paling tidak bisa kita lihat dari ke lima silanya di Pembukaan UUD 1945, alinea ke-4 itu. Kondisi teknis paling tidak bisa dilihat bagaimana para apparatus negara itu ber-perilaku. Dan kondisi sosial adalah ketika warga negara selain taat hukum, tetapi yang lebih penting lagi adalah ketika ia juga menggunakan Pancasila sebagai ‘ideologi-kritis’-nya. Maka Pancasila adalah juga ‘ideologi terbuka’, terbuka bukan hanya karena ia lebih mengandung soal nilai-nilai saja, tetapi juga untuk sebuah dialog.

Dialog tentu boleh saja diisi soal sopan tidaknya sebuah ujaran, atau bully-bully-an itu, terserah apa saja. Tetapi jika kita kembali kepada konteks Pancasila, dialog sebenarnya akan lebih pada apa-apa yang menjadi keprihatinan utama dalam Pembukaan UUD 1945 itu -di ke-empat alineanya. Sebab bagaimanapun juga sila-sila Pancasila di alinea-4 itu adalah bagian tidak terpisahkan dari keseluruhan Pembukaan UUD 1945. *** (31-05-2021)

Pancasila, Pemimpin, dan Warga