www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

08-06-2021

Turunnya peringkat Perguruan Tinggi republik dibandingkan negara-negara lain telah memunculkan keprihatinan banyak pihak. Jelas itu bukanlah soal ‘gengsi’ semata. Tetapi dari kacamata power, itu bisa dihayati sebagai turunnya juga soft power. Konsep soft power ini pertama-tama diformulasikan oleh Joseph Nye Jr di bagian akhir abad 20. Dari Wikipedia dapat ditemui kutipan pendapat Joseph Nye di tahun 2012 dimana dikatakan bahwa pada abad informasi ini, “credibility is the scarcest resource.” Kredibilitas akan selalu membayang ketika bicara soal soft power terlebih di abad informasi ini, tidak hanya soal pernak-pernik soft-nya tetapi adalah bagaimana soft power betul-betul dapat menjadi power yang akan diperhitungkan. Power yang membuat banyak orang akan menoleh, tertarik dengan penuh debar, ada apa di situ? Itulah power, yang menurut Joseph Nye adalah ‘the ability to influence the behavior of others to get the outcomes one wants.” Dan kemampuan untuk mempengaruhi itu kredibilitas akan menjadi syarat mutlaknya.

Dari sekian ‘bagian’ yang membentuk soft power, nampaknya soal politik, nilai-nilai yang berkembang dalam politik menempati ‘pusat gravitasi’ dari soft power itu. Tak mengherankan pula jika dulu Mangunwijaya-pun menengarai bahwa kualitas suatu bangsa itu bisa dilihat bagaimana ia mengelola kekuasaan dalam hidup bersamanya. Dan yang paling dekat dengan dinamika kuasa adalah: politik. Kalau dilihat dari permasalahan di awal tulisan, melorotnya ranking Perguruan Tinggi, maka bisa kemudian ditanyakan, apakah politik juga berperan dalam hal ini?

Less than two weeks before Election Day, Donald Trump signed an executive order that threatens to return the U.S. to a spoils system in which a large share of the federal government’s workforce could be fired for little or no reason – including a perceived lack of loyalty to the president,”[1] demikian terberitakan soal ulah Trump itu. Spoils system yang sudah ‘ditidurkan’ 103 tahun lalu melalui kesepakatan hidup bersama di AS sono itu, dibangkit-bangkitkan lagi oleh si Trump. Kucluk, emang. Politik kemudian berjalan seakan tanpa batas lagi, dan pada banyak pos-pos tertentu yang selama satu abad berjalan berdasarkan nuansa meritokrasi itu tiba-tiba saja diruntuhkan dalam sekejap. Untung Trump baru ‘berani’ melaksanakan menjelang pemilihan, coba jika jauh-jauh hari dilakukan maka perlawanan akan berkembang biak tidak kecil. Masalahnya Trump itu presiden-nya Amerika, si-super-power, mau-tidak-mau jelas ia akan jadi ‘kiblat’ bagi banyak tempat di planet ini. Suka atau tidak suka. Dan keputusan nekad menjelang pemilihan dalam hal ‘pemberlakuan’ spoils system ala Andrew Jackson (presiden ke-7 AS, hampir 200 tahun lalu) –idolanya si-Trump, itu pastilah sudah lama dipertimbangkan. Bahkan bisa saja ‘di-uji-coba’-kan dulu pada ‘klien-klien’ mereka di luar AS. Untuk memastikan bahwa ‘sistem’ itu akan memberi harapan ‘langgeng’-nya ‘klien-klien’ mereka di luar AS di puncak kekuasaan masing-masing negaranya.

Ketika Biden naik menggantikan Trump, segeralah spoils system itu dikoreksi di hari-hari pertamanya ia menjabat. Dan bagaimana dengan nasib para ‘klien’-nya Trump itu? Bisa panas dingin pula tentunya, tetapi bisa juga didinginkan dengan cepat pula, hanya saja itu akan memerlukan ‘biaya’ besar. Bermacam konsensi, bermacam potongan kedaulatan, dan macam-macam kemungkinannya. Jelas ‘upeti’ akan lebih besar kalau tidak mau ‘rejim spoils system’ ini diganti. Baik Trump atau Biden jika bicara national interest-nya negera mereka sendiri bisa-bisa tipis perbedaannya. Gayanya saja yang bisa beda. Jika kita kembali pada soft power memang yang dimulai era Andrew Jackson di bagian awal abad 19 itu kemudian diakhiri karena inefisiensi-nya, inkompetensi-nya, dan merebaknya korupsi. Tetapi juga disebut karena negara-negara lain-pun banyak yang tidak melakukan, dan itu memberikan pembelajaran tersendiri bagi AS saat itu.

Maka pemberantasan korupsi-pun menjadi bukan hanya soal KPK, seberapapun pentingnya KPK itu. Model ‘bersih-bersih’ ala TWK ini bisa-bisa menjadi dalih untuk ‘menegakkan’ spoils system itu yang bisa-bisa merebak seakan tanpa batas. TWK akan merambah kemana-mana. Dari pengalaman sejarah seperti sudah disebut di atas, sayangnya bukan saja korupsi-nya, tetapi inkompetensi, dan inefisiensi yang juga akan merebak. Tidak kompeten itu adalah juga pilar dari tidak kredibelnya orang pada satu jabatan tertentu. Dari asal katanya, kredibel itu tidak jauh dari kata credo, I believe. Repotnya, masalahnya, karena soal ‘believe’ ini bisa bertebaran baik di ‘ranah’ mitis, ontologis, dan maupun fungsionil, jika meminjam istilah van Peursen dalam Strategi Kebudayaan. Repot memang. Angèl ... angèl, dab ...[2] *** (08-06-2021)

 

[1] https://theconversation.com/trump-revived-andrew-jacksons-spoils-system-which-would-undo-americas-138-year-old-professional-civil-service-150039

[2] Sulit ... sulit, mas ...

Robohnya 'Soft Power' Kami