www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

09-06-2021

Membayangkan sosok raja dalam rejim monarki akan lebih mudah dilakukan. Termasuk juga merawat kewibawaannya. Juga tidak terlalu sulit jika itu pada para aristokratnya. Tetapi bagaimana membayangkan rakyat-yang-berkuasa dalam rejim demokrasi? Rakyat yang musti dijaga kewibawaannya itu? Jauh lebih sulit dibanding soal ‘jaga wibawa’ di rejim monarki maupun aristokrasi. Si-mono maupun si-aristo jelas sosoknya, pakaiannya, dan katakanlah, gaya bicaranya juga. Bagaimana dengan sosok demos? Karena tidak mudah maka memang si-terpilih itu sebaiknya mempunyai kualitas tertentu dimana dengan kualitasnya itu ia mampu membayangkan si-demos, yang tidak hanya dijaga kewibawaannya tetapi juga ia sebagai yang dipilh mampu menjaga kewibawaan dirinya sendiri. Itulah dua hal yang sebenarnya ada dalam kendali diri, menjaga kewibawaan rakyat dan menjaga kewibawaan diri sebagai yang dipilih rakyat. Kewibawaan diri sebagai ‘kepanjangan wibawa’ dari si-demos.

Di balik soal apa yang ada dalam kendali dan yang bukan dalam kendali selain soal bagaimana hidup mengakrabi ‘kebijaksanaan’ semesta, ia adalah soal batas. Dalam banyak hal rejim mengalami pembusukannya adalah juga soal batas ini. Ketika monarki tidak tahu batas, ia akan menjadi tirani, demikian juga ketika aristokrasi tidak tahu batas, ia akan menjadi oligarki. Demokrasi menjadi mob-rule jika ia tidak tahu batas juga. Contoh apa yang ditunjukkan oleh pendukung die hard-nya Trump ketika merengsek gedung Capitol Hill itu. Maka ketika banyak buzzer bayaran secara terus-menerus bertubi-tubi mengacak-acak ruang publik dengan ujaran semau-maunya, sebaiknya tetap dihadapi dengan kepala dingin. Termasuk juga ketika secara bertubi-tubi ‘orang dengan gangguan jiwa’ mengusik ketenteraman kerukunan beragama. Apapun itu, berkembangnya mob-rule itu akan memberikan semacam ‘legitimasi’ untuk naiknya si-mono-arki, menggantikan demokrasi jika demos-arki sudah mengalami pembusukan.

Apalagi jauh hari sudah banyak ‘dipersiapkan’ –entah dimana itu terjadi, bagaimana si-calon-si-mono itu kadang di-dandani ala raja-raja jaman dulu. Atau misalnya, bagaimana wibawa rakyat si pemegang kedaulatan itu terlalu sering diberi ‘tekanan psikologisnya’, dengan lempar-lempar bingkisan dari mobil yang sedang berjalan layaknya memberi makan pada binatang piaraan itu, sampai dengan laku asal njeplak tak peduli perasaan rakyatnya. Pala loe peyang! Dan banyak lagi. Dan bahkan juga dipersiapkan pasal-pasal hukuman bagi siapa saja yang menghina si-calon-si-mono itu beserta para ‘bangsawannya’! Maka kalau bukan monarki yang sedang dipersiapkan, apa lagi? *** (09-06-2021)

Rejim dan Hinaannya (2)