www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

15-06-2021

Kita bayangkan sedang mencoba menjaga jarak dengan ‘sikap alamiah’ (natural attitude), dan perlahan mencoba ‘sikap fenomenologis’ (phenomenological attitude) dalam konteks gerakan fenomenologi yang diinisiasi oleh Husserl itu. Maka hal pertama yang akan dilakukan adalah ‘bracketing’ atau epoché. Bermacam asumsi, konsep, pra-anggapan, atau sekitarnya kita tunda dulu, kita suspend dulu, kita beri ‘tanda kurung’ dulu, dan kemudian kita kembali pada sesuatu itu sebagai sebuah pengalaman dan lebih dari itu, juga ‘mengalami’-nya sebagai seorang ‘pemula’. Sebagai pemula dalam pengalamannya akan sesuatu itu maka kita akan lihat lagi dari bermacam sisinya, aspeknya, profilnya dari sesuatu itu, dan jika perlu imajinasi yang berkembang dari bermacam langkah itu kita komunikasikan dengan yang lain. Dari langkah-langkah tersebut siapa tahu kita semakin mendekat dari hal mendasar dari sesuatu itu. Asumsi, konsep, atau bahkan juga endapan-endapan masa lalu yang kita beri ‘tanda kurung’ itu bukan dimaksudkan untuk dihilangkan atau dihapus. Pada saatnya itupun bisa kita buka lagi dan ikut terlibat dalam ‘dialog’ bersama.

Entah saat itu memang dimaksudkan untuk melupakan total atau tidak, Pact of Forgetting pasca Franco di Spanyol itu memberikan kesempatan untuk mulai melihat masalah hidup bersama sebagai ‘pemula’ dan bersama mencari apa sebenarnya hal paling mendasar yang mendorong hidup bersama itu. Bagi pimpinan politik Spanyol saat itu mungkin hal mendasar adalah kesempatan yang sama bagi semua pihak untuk duduk dalam kuasa. Dan mungkin yang ada dalam pikiran Deng Xiao Ping pasca kematian Ketua Mao agak berbeda: bagaimana semua pihak dapat mendapatkan rejeki yang sepantasnya. Tetapi jika dilihat lebih jauh sebenarnya bisa diraba beberapa persamaan antara keduanya. Paling tidak ‘langgam hidup’ yang lama dijalani sebelumnya sama-sama adalah lekat dengan nuansa rejim tirani. Dan kita bisa melihat dengan jelas bagaimana ‘perjalanan rejim’ dalam konteks ‘siklus rejim’ itu mendapat kelola yang tepat.

Bagaimanapun juga pimpinan-pimpinan politik di Spanyol saat itu bisalah dilihat sebagai bagian atau mewujud sebagai ‘rejim aristokrasi’ yang menggantikan rejim tirani. Atau kalau mau ‘melebar’ sedikit: merekalah kaum teknokrat-nya bidang politik saat itu, dan kesepakatan ‘teknokratik’-nya adalah membangun demokrasi yang akan memberikan kesempatan sama bagi semua pihak untuk berkuasa. Sebuah tilikan bersama setelah kelam-nya sejarah masa lalu itu diberi ‘tanda kurung’ lebih dahulu. Deng Xiao Ping salah satu kakinya memang masih dalam bayang-bayang rejim tirani, tetapi jika kita lihat perjalanan panjang China dari pasca Mao sampai sekarang ini, jelas satu kakinya ada di rejim aristokrasi, aristo=terpilih karena terbaik. Maka hati-hati memakai term otoritarianisme untuk China yang kemudian dikaitkan dengan keberhasilan mengurangi secara drastis angka kemiskinan. Jangan pernah dilupakan peran sentral dari ‘orang-orang terbaik’ dalam hal tersebut. Maka dari ‘dua kasus’ di atas, sadar atau tidak, ada satu ‘rejim busuk’ yang maunya dihindarkan: rejim oligarki. Rejim aristokrasi yang membusuk akan berubah menjadi rejim oligarki. Yaitu ketika ‘orang-orang terbaik’ atau katakanlah si-minoritas kreatif dalam rejim aristokrasi itu berubah menjadi si-minoritas dominan.

Pasca 1998 tuntutan yang paling nyaring adalah demokrasi dan pemberantasan KKN. Tentu ada tuntutan lain terkait dengan masa lalu, tetapi faktanya yang paling nyaring dan bertahan lebih lama adalah dua hal tersebut. Apa esensi dibalik kedua tuntutan itu? Kembali memakai istilah si-Bung: keberesan politik dan keberesan rejeki. Apa konsekuensi jika soal pengembangan demokrasi dan atau soal pemberantasan KKN ini ternyata berjalan jauh dari kredibilitasnya? Mudah ditebak, masa lalu akan kembali menghantui hidup bersama. Atau curhat-curhatkan, dulu bapakku dilengserkan, digini-digitu. Atau perintah sana-sini untuk meluruskan sejarah supaya lempeng 100%. Jelas masa lalu bukan untuk di-delete atau di-distorsi, atau dikubur, atau diputar-balik, dibengkok-bengkok-kan, atau apapun namanya itu. Bukan hanya tidak boleh, tetapi bahkan pada akhirnya tidak mungkinlah kegelapan masa lalu itu dikubur dalam-dalam. Yang paling mungkin adalah ‘ditunda’ dulu, berilah ‘tanda kurung’ dulu, dan fokus pada hal mendasar dalam hidup bersama paling tidak untuk sekarang ini, dan dalam hal ini sudah ditunjukkan dengan biaya yang sangat besar di tahun 1998 itu: demokrasi dan pemberantasan KKN. Tentu di luar ranah negara adalah bebas untuk, katakanlah mengumpulkan bukti-bukti kekelaman masa lalu, atau diskusi akademik soal itu, atau bahkan diskusi publik secara terbuka. Bahkan mendesak pada negara untuk mengambil langkah-langkah penyelesaian kekelaman masa lalu-pun tidaklah bisa dilarang. Maka masalahnya adalah fokus utama di ranah negara, dan itu kalau bicara soal republik sekarang ini sejak awal tahun 2000-an itu adalah soal demokrasi dan pemberantasan KKN. Semakin pendek waktu untuk membangun demokrasi dan atau pemberantasan KKN yang sungguh kredibel, maka sebenarnya semakin cepat pula hidup bersama akan lebih mampu membangun ‘tata kelola’ penghayatan akan masa lalu yang lebih ‘produktif’ bagi hidup bersama ke depannya. *** (15-06-2021)

Lupa Sebagai Tindakan (2)