www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

19-06-2021

Setelah pemilihan, ‘komoditas’ apa yang paling berharga dari si-terpilih? Fokus! Fokus, konsentrasi, adalah komoditas paling berharga setelah pemilihan. Siapa bilang fokus bukan merupakan komoditas? Atau tidak terkait sama sekali dengan komoditas? Bayangkan saja saat kampanye berjanji tidak akan bagi-bagi kekuasaan, berapa yang akan dihasilkan jika ia tidak fokus lagi pada janji tersebut? Lihat saja ketika kehilangan fokus untuk tidak ber-utang sesuai dengan janji kampanye, hasilnya? Utang ribuan triliun rupiah malah yang terjadi. Berapa biaya yang dikeluarkan supaya khalayak tidak fokus untuk menghayati carut-marutnya penanganan wabah COVID-19 ini? Berapa triliun rupiah menyasar tidak jelas karena kurangnya fokus pada perencanaan, pelaksanaan, dan monitoringnya? Berapa biaya yang harus di keluarkan oleh BMUN ketika ia tidak fokus pada bisnis utamanya? Utang ugal-ugalan. Pengangkatan komisaris serampangan. Di tangan pedagang, fokus bisa menjadi ‘anything movable of value that can be bought or sold’. Atau lihat bookseller The Secret misalnya, yang intinya jualan tentang fokus. Belum para motivatornya.

Christian Eriksen yang pingsan dan bahkan mengalami henti jantung saat babak ke dua akan dimulai ketika membela Denmark dalam Piala Eropa baru-baru ini, bisa tidak tertolong jiwanya jika tim medis tidak fokus terhadap tugas-kewajibannya. Termasuk tentu mempersiapkan segala peralatan jika terjadi kasus cardiac arrest tersebut, yang kejadiannya sangatlah jarang pada olahragawan, 1 banding 50.000. Bagi Platon, fokus pada tugas-kewajiban masing-masing bahkan bisa terkait dengan mewujudnya keadilan. Atau kita bisa was-was soal besarnya biaya dalam bermacam bentuknya, yang akan dipertaruhkan ketika KPK tidak lagi fokus lagi pada pemberantasan korupsi, misalnya. Maka kehilangan fokus bisa jadi merupakan kehilangan komoditas terbesar kita. Komoditas paling berharga yang ada di tangan itu sebenarnya juga merupakan salah satu unsur penting dalam bangunan bargaining positition.

Pembedaan antara negara, masyarakat sipil, dan pasar sebenarnya hanya bisa dihayati jika masing-masing mempunyai bargaining position yang cukup kuat. Karena pembedaan itu bukanlah sekedar catatan di atas kertas, tetapi kongkret ada dalam relasi-relasi kuasa. Salah satu pilar penting masyarakat sipil adalah ke-suka-rela-an. Kesukarelaan dalam bermacam ranah-nya. Macam-macam. Dalam politik, relawan-relawanpun dimungkinkan untuk muncul. Masalahnya adalah ketika ada yang kemudian kehilangan fokus, yaitu ke-suka-rela-annya itu. Alexis de Tocqueville dalam Democracy in America menandaskan bahwa, “The health of a democratic society may be measured by the quality of functions performed by private citizens.” Dalam spoils system yang dicoba-coba dibangkitkan oleh Trump setelah ditidurkan lebih dari 100 tahun itu, pada dasarnya dalam banyak halnya itu berlawanan dengan prinsip-prinsip ke-suka-rela-an ini. Jika mengikuti pendapat Alexis de Tocqueville maka spoils system ini tidak hanya soal inkompetensi, inefisiensi, dan korupsinya, tetapi juga akan mengganggu ‘kesehatan’ masyarakat demokratik. Akan membuat keropos ketika salah satu infrastruktur penting masyarakat sipil itu digerogoti. Yaitu ketika energi ke-suka-rela-an itu perlahan terserap ke tubuh negara, state. Bermacam bentuk ‘serapan’-nya, antara lain soal jabatan komisaris itu. Ketika salah satu pilar pentingnya terus menerus digerogoti maka bisa dikatakan bargaining positition masyarakat sipil-pun akan melemah. Bagi yang punya DNA otoriter, situasi seperti ini adalah sebuah idaman. Apalagi jika ia menemukan dengan tepat rekan ‘koalisi’ yang ada di ranah pasar. Bisa tambah ugal-ugalan. *** (19-06-2021)

Kemana 'Komoditas' Paling Berharga Itu?